JASENFA; 9

20 1 1
                                    

Minggu pagi yang cerah ini dimanfaatkan perempuan berusia 16 tahun itu untuk tidur. Membalas semua dendamnya, karena saat hari-hari sekolah ia tidak punya waktu banyak untuk beristirahat.

Pukul 8 pagi, tubuh mungil Jeje masih berada di atas kasur dengan selimut yang sudah tidak menutupi tubuhnya. Ya, memang begitu. Jeje tidak bisa tidur dengan anggun dan rapih. Pasti saja setiap ia bangun, posisi tubuhnya sudah berbeda jauh dengan saat ia tidur.

Rayn membuka pintu kamar adiknya. Ia menggelengkan kepala saat melihat adik perempuannya itu masih tertidur. Rayn melangkah mendekati adiknya itu. Jika saja Fania sudah datang, maka tak perlu repot-repot ia membangunkan adiknya.

"De bangun!" Rayn mengguncang pelan tubuh Jeje. Perempuan itu hanya merubah posisinya saja.

Rayn menghela napas panjang. Selalu saja adiknya ini tidak bisa dibangunkan dengan cepat. Laki-laki itu memperhatikan wajah adiknya. Teringat kembali masa-masa saat dirinya dan Jeje menghabiskan waktu bersama. Masa saat mereka masih kecil, bermain bersama ditemani oleh ayah mereka–Amran.

Walau memang, adiknya itu sering membuatnya kesal, namun Rayn sangat menyayanginya. Rayn mengusap lembut kepala Jeje. Ia membopong tubuh Jeje, agar adiknya itu bisa tidur dengan posisi yang benar. Rayn meletakan kepala Jeje di atas bantal dengan hati-hati, ia tidak ingin membangunkan adiknya itu.

Setelah posisi tidur Jeje benar, Rayn menyelimutkan tubuh adiknya dan mencium lembut kening Jeje sebelum ia berjalan keluar kamar. Jeje tidak terbangun, hanya bergerak sedikit saat bibir Rayn menyentuh keningnya. Ia memang benar-benar terlelap dalam tidurnya.

***

Zenfa berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Terlihat Seno sedang menyantap setangkap roti yang ia buat sendiri. Laki-laki itu sedang memainkan handphone dengan sepotong roti berada dalam mulutnya.

Zenfa menarik kursi yang berada di hadapan Seno. Sahabatnya itu menurunkan handphone dari pandangannya dan menatap Zenfa seperti sosok orang aneh yang tiba-tiba duduk di hadapannya.

"Ngapain ira ke sini?" tanya Seno.

Zenfa mengambil selembar roti dari tempatnya, ia langsung menggitnya. "Mau sarapan. Nggak boleh?"

Zenfa merasa dirinya sudah lebih sehat dari kemarin. Entahlah, Zenfa juga tidak mengerti mengapa kemarin siang, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing dan darah mengalir dari hidungnya. 
Zenfa juga tidak tau, kalau ia telah menghebohkan satu sekolahan, karena pingsan di atas meja dengan darah dibagian hidung sampai ke kerah baju serta mejanya itu.

"Ya bukan gitu. Kenapa ira nggak nunggu aja di kamer? Abis ini juga kita ke kamer ira kok." Seno mengambil segelas susu sapi yang sudah ia siapkan tadi.

"Kita bisa sarapan sendiri kali," ucap Zenfa.

"Tapi ira kan lagi sakit, kena—"

"Iya tau, diem. Lama-lama kaya emak-emak ira nih." Zenfa mengambil selai coklat dan mengoleskannya pada selembar roti yang baru.

Seno menatap sinis Zenfa. "Terserah ira lah. Capek kita ngomongnya."

"Oya, Mama sama Papa kemana?" tanya Zenfa.

"Biasa. Ini kan hari minggu, ya mereka pacaran lagi."

"Masa ira kalah si Sen sama Mama, Papa?"

Seno menutupi wajahnya dengan handphone yang berada di hadapannya.
"Ya gimana, kita bingung ngedeketinnya."

"Sini-sini!" Zenfa meraih ponsel dari tangan Seno. Ia merasa gemas, tumben sekali Seno tidak gerak cepat dalam urusan seperti ini.

"Eh ini kontaknya deke mana sih?"

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang