"Maafin kita, Ghin. Kita akuin, sekarang kita emang lagi suka sama–"
"Lo cintanya sama Ghina, Tam. Bukan sama gue," ucap Jeje yang tiba-tiba hadir dan berhasil membuat Ghina dan Tama meneh ke arahnya.
Perempuan itu berjalan mendekati Ghina dan Tama. Tangan Tama masih menggenggam tangan Ghina.
"Je," panggil Ghina. "Nggak akan jadi masalah buat kita, kalo emang Tama sukanya sama ira," lanjutnya.
"Nggak, Ghin," kata Jeje yang kemudian menatap Tama. "Laki-laki tolol ini cuma belum sadar sama perasaannya sendiri. Dan dia terlalu bego karena lebih milih untuk ngikutin perasaanya yang sesaat dari pada perasaan yang sesungguhnya."
Tama dan Ghina menatap Jeje tak percaya."Tam, coba lo pikirin dan rasain lebih dalem apa yang sebenernya lo rasain ke Ghina," ucap Jeje.
Tama menatap ke arah Ghina. Pikirannya mulai bekerja.
"Kalo lo nggak sayang dan cinta sama Ghina, nggak perlu lo cape-cape nungguin dia keluar dari toilet. Bisa aja lo nggak peduli sama dia. Kalo lo nggak sayang sama Ghina, lo nggak akan kepikiran untuk nyupain dia pas di acara ulang tahunya waktu itu. Sadar nggak sadar, lo jauh lebih peduli sama Ghina. Lo sayang sama Ghina, Tam. Lo cinta sama sahabat lo," kata Jeje.
Tama menggenggam kedua tangan Ghina kuat-kuat sambil menatap mata perempuan itu. Sementara itu, Ghina sedikit terharu.
"Perasaan lo ke Ghina itu masih kuat. Semua itu nggak bisa dikalahin sama rasa suka lo ke gue. Bahkan, gue nggak pernah ngerasa kalo lo suka sama gue," kata Jeje lagi.
"Ekhm!!" suara dehaman seseorang terdengar dari arah pintu masuk aula. Jeje, Tama, dan Ghina langsung menoleh ke arah sumber suara.
Entah sejak kapan laki-laki itu berdiri diambang pintu masuk aula. Mereka bertiga tidak ada yang menyadari hal itu."Hmm, ini lagi ada syuting sinetron apa ya?" tanyanya bercanda. Pasalnya ia masih bisa melihat Tama sedang menggenggam tangan Ghina.
Mendengar pertanyaan itu, buru-buru Ghina melepaskan pegangan Tama. Raut wajahnya berubah sedikit panik seolah sedang dipergoki oleh guru.
Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah mereka bertiga. "Rajin bener ira, Ghin. Baru aja kita ngumumin kalo sekarang harus rapat, tapi ura udah di sini aja," ucapnya.
"Hah? Rapat a–apaan?" tanya Ghina lagi.
"Rapat buat besok lah," jawabnya. "Udah mending bantu kita nyiapin kursi-kursi," lanjutnya.
Ghina menatap Tama dan Jeje bergantian.
"Hmm, gue balik ke kelas dulu ya." Jeje berbalik badan, berniat untuk melangkahkan kakinya. Namu hal itu berhasil dibuat gagal oleh orang yang memanggilnya.
"Je," ucap laki-laki tadi. "Nanti pulang sekolah ikut jengung Zenfa nggak?"
Raut wajah Jeje terlihat berubah menjadi gembira. "Iya, ikut!" jaeabnya tanpa ragu.
Laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman. Kemudian ia memerhatikan adik kelas laki-lakinya itu.
"Balik sana ira ke kelas! Kita laporin ni ira bolos di sini!"
"Eh–eh iya ampun bang!" Tama langsung berlari keluar aula.
***
Walau hari sudah mulai sore, namun sinar matahari masih bisa dirasakan oleh Zenfa dari jendal kamar inapnya. Laki-laki itu melihat keluar jendela.
Berbagai pikiran bersarang di otaknya. Hatinya merasa takut. Dan tak henti-henti ia merapalkan doa-doa. berulang kali ia mengusap wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JASENFA
Teen Fiction[On Going] Seseorang pernah berkata pada Jasmine, "Jangan selalu terfokus pada seseorang yang kamu cinta. Lihat. Di sana ada orang yang selalu mencintai, menyayangi, dan melindungi kamu dengan tulus, lebih dari orang yang kamu cinta." Semenjak saat...