JASENFA; 13

14 0 0
                                    

Acara ulang tahun Ghina sudah selesai dari sekitar dua puluh menit yang lalu. Namun, Jeje masih berada di sini, di ruang keluarga rumah Ghina. Tadi, mama Ghina memintanya untuk tetap di sini sebentar, ia ingin berkenalan dengan teman baru putrinya yang sering Ghina ceritakan kepadanya. Jeje pun tak keberatan.

"Oiya, Tama mana, Ghin?" tanya mamanya.

"Tama udah pulang, ma. Dia kan sama Faisal, jadi nggak enak kalo di sini lebih lama," jawab Ghina. Sementara itu Jeje hanya memperhatikan obrolan tersebut.

Sedari tadi, mamanya Ghina sudah banyak bertanya dan bercerita kepada Jeje. Mamanya Ghina adalah orang yang sangat baik dan ramah.

"Loh kok mama nggak tau ya?"

"Tadi sebenernya dia mau pamit. Tapi mama sama papa nggak tau kemana. Jadi ya udah aku biarin aja."

"Oh gitu. Ya udah nanti mama aja yang WA dia, ngucapin makasih." Mama nya Ghina mengambil ponselnya yang berada di atas meja.

Sejujurnya, Jeje sedikit bingung. Mamanya Ghina akan berbalas pesan dengan Tama? Apakah itu suatu hal yang biasa? Lalu, jika memang Tama sudah sedekat ini dengan keluarga Ghina, mengapa seolah iya berusaha mendekati Jeje? Atau, ini hanyalah perasaan Jeje saja? Ya Tuhan, sungguh memalukan jika ini memang hanya perasaan Jeje saja.

Jeje berdeham kecil, ia berpamit untuk pulang. "Tante, kayanya ini udah malem banget deh, jadi aku harus pulang. Soalnya, besok juga kan masih sekolah."

Mamanya Ghina menurunkan ponsel yang ada di hadapannya tadi. "Oh iya, hati-hati ya. Dianter aja sama supir ya."

"Eh nggak usah tante, Jeje pulang sendiri aja. Makasih buat semuanya." Jeje tersenyum manis sambil menyalami tangan mamanya Ghina.

"Beneran nggak apa?" tanya mamanya Ghina untuk memastikan.

"Iya nggak apa-apa, tante."

Setelah itu, Ghina akan mengantarkan Jeje ke depan rumahnya.

***


Seno memundurkan motornya, kemudian menyalakan mesinnya. Sementara itu Zenfa bersiap untuk naik ke atas motor Seno sambil memakai helm. Kali ini Seno hanya membawa motor, karena mobil miliknya sedang berada di bengkel. Seno melihat sahabatnya itu dari kaca spion.

"Ira sakit? Kalo ada apa-apa bilang." Seno sedikit memutar tubuhnya.

"Kaga elah. Dari tadi pada nanya mulu, kita sakit apa nggak."

"Muka ira pucet banget." Seno mulai melajukan motornya.

Namun, saat baru keluar dari pintu gerbang rumah Ghina, ia melihat cewek yang pernah ada di hatinya itu sedang berdiri seorang diri sambil memegangi ponselnya. Seno langsung memberhentikan motornya di depan Sabrina.

"Kamu nggak pulang?" tanya Seno dengan mesin motor yang masih menyala.

"Ya mau pulang. Tapi ini aplikasi ojek onlinenya eror," ucap Sabrina sambil cemberut.

Zenfa melihat jam yang melingkar di tangan kirinya sekilas. Kemudian ia turun dari motor Seno. "Dianter Seno aja gih."

Sontak Seno langsung melihat kearah Zenfa yang sedang berdiri tepat di samping Sabrina. Begitu juga dengan Sabrina.

"Anterin lah, Sen. Nggak baik cewe jam segini pulang sendirian. Udah jam 11 malem loh," ucap Zenfa.

"Nggak usah kak," kata Sabrina menolak."Kak Seno anterin Kak Zenfa aja."

"Na, lebih mending kita yang pulang naik ojek online, dari pada ira. Bahaya." Zenfa melepaskan helm dan memberikannya kepada Sabrina. Perempuan itu masih diam di tempat. Ia tidak akan mengambil helm yang diberikan Zenfa, jika Seno tidak menyetujui pendapat Zenfa.

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang