Ceklek.
Suara pintu terdengar sesaat setelah Haryo dan Julia memasuki kamar inap Zenfa. Terlihat mereka berdua sedikit murung. Zenfa tak tahu apa penyebabnya. Ia sendiri kini tengah berbaring diatas ranjang sambil memakan buah jeruk.
Julia duduk di kursi saping ranjang Zenfa. Sementara itu, Haryo berdiri di belakangnya. Mereka berdua menatap iba kearah Zenfa yang sedang mengelap tangannya dengan tissue. Zenfa mengambil gelas yang berisi air dan meminumnya.
"Nak," Julia mengelus kepala Zenfa dengan lembut. Kemudian ia menghela napas panjang. "Besok kamu tes sumsum tulang belakang ya."
Zenfa sedikit terkejut. Mengapa ia harus tes sumsum tulang belakang? Apa hasil tes darah tadi belum bisa mendiagnosa apa panyakitnya? Zenfa menjadi bingung.
"Tes lagi? Emang nya hasil tes tadi kenapa?" tanya Zenfa. Ia mengenggam kuat tangan Julia.
Kini Haryo yang buka suara, "Hasil tes darah kamu nunjukin bahwa jumlah sel darah putih yang ada ditubuh kamu melebihi batas normal."
"Itu membuat dokter makin curiga sama dugaannya. Biar pasti, dia minta buat tes sumsum tulang belakang." Jelia mengelus punggung tangan Zenfa.
Zenfa terdiam sejenak. Ia sedang berpikir. Sebenarnya, sudah lama Zenfa mencari tau sendiri aoa penyakitnya dari ciri-ciri yang ia alami selama ini. Dan memang, semua yang terjadi pada dirinya menjurus ke satu penyakit yang tak main-main.
"Leukimia?" tanyanya pelan.
Spontan, Julia dan Haryo langsung menatap Zenfa. "Mau ya nak, kita tes lagi," ucap Julia.Zenfa mengangguk dan tersenyum tipis.
Haryo berjalan menuju sofa berwarna oranye yang ada di ruang itu. Sementara itu, Julia tetap mengenggam tangan Zenfa.Zenfa merenung. Apakah benar, ia mengidap kanker leukimia? Lalu apa yang akan terjadi nanti? Tuhan Zenfa tidak ingin membebani kedua orang tua angkatnya.
Dalam kondisi seperti ini, Zenfa benar-benar membutuhkan ibu nya. Memang, Julia selalu ada di sampingnya, selalu merawatnya. Tetapi, Zenfa ingin memeluk ibu kandungnya. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya.
Laki-laki itu mengusap wajahnya. Zenfa mencoba untuk menangkan hati dan pikirannya. Kini ia merasa tubuhnya sedikit sakit. Rasa sakit ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Seketika Zenfa teringat kepada sahabat dekatnya. Dimana Seno saat ini? Zenfa mirik kearah jam dinding. Ternyata sudah pukul setengah enam sore, tetapi Seno belum ke sini. Tidak biasanya.
Biasanya Seno lah yang paling rajin menemaninya saat Zenfa sakit. Ia tahu, sahabatnya itu sangat peduli dan sangat menyayangi Zenfa."Seno mana, ma?" tanya Zenfa tiba-tiba.
"Oh iyaya? Mama sampai lupa, mas Seno kemana jam segini belum pulang?" Julia malah balik bertanya.
"Mungkin dia pulang ke rumah dulu, Zen. Tungguin aja, paling juga bentar lagi ke sini," ucap Haryo.
"Aku telepon aja deh," ucap Zenfa. "Handphone aku mana, ma?"
Julia mengambil tas nya di dekat nakas, kemudian ia merogoh tas untuk mengambil handphone milik Zenfa. Julia memberikannya kepada Zenfa. Laki-laki itu mencari kontak sahabatnya dan langsung menekan tombol telepon.
"Hallo?" terdengar suara Zenfa sedikit serak.
"Hallo Zen. Kita lagi ribet nyari par– Eh.. Aduh.."
Terdengar suara seperti benda jatuh dari sebrang. Zenfa menyerinyit heran dan menjauhkan ponselnya sesaat, kemudian ia menempelkannya kembali pada telinga.
"Tante bisa tolong nggak ini? Aduh tolongin apa ya? Ban–bantuin aku am–ambil handphone deh."
Zenfa semakin bingung. Apa yang terjadi pada sahabatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
JASENFA
Teen Fiction[On Going] Seseorang pernah berkata pada Jasmine, "Jangan selalu terfokus pada seseorang yang kamu cinta. Lihat. Di sana ada orang yang selalu mencintai, menyayangi, dan melindungi kamu dengan tulus, lebih dari orang yang kamu cinta." Semenjak saat...