JASENFA; 23

18 0 0
                                    

Hari Minggu kemarin, Jeje merasa puas bisa bertemu dengan ayahnya seharian penuh. Rayn mengikuti saja, walau hatinya agak tidak sejalan. Sebenarnya, jika boleh, Rayn pasti lebih memilih menemani Fania di rumah, ketimbang harus muter-muter Kota Cirebon bersama sang ayah.

Entahlah, walau sudah berusaha untuk ikhlas dan menerima, namun Rayn juga hanya manusia biasa. Rasa marah dan kecewa itu masih bersarang di hatinya. Rayn tidak mengerti bagaimana caranya untuk mensapu bersih semua rasa kecewa itu.

Lupakan tentang Rayn sejenak. Lain hal dengan abangnya, justru Jeje merasa amat gembira. Anak perempuan itu merasa lega bisa berjumpa dengan Amran. Merasa puas seharian berasama ayahnya.

Gadis itu rindu dengan kehadiran seorang ayah yang dulu selalu berada di sampingnya. Selalu menjaga dan melindunginya. Anak tetaplah anak. Sebesar apa pun kesalahan orang tua, tak bisa dibohongi kalau anak akan tetap membutuhkan kasih sayang dan cinta dari orang tuanya.

Jeje tegaskan pada dirinya sekali lagi. Amran memang bukan suami yang baik, tetapi Amran adalah ayah yang terbaik.

Namun sayang, waktu senggang yang Amran punya hanyalah satu hari. Kemarin malam, tepat setelah mereka selesai jalan-jalan, Amran harus pamit untuk kembali ke Ibu Kota. Baik Jeje ataupun Rayn tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa tersenyum tipis sambil melambaikan tangan.

Rayn merangkul Jeje, sesekali mengelus pundaknya. Pemuda itu merasa lega, telah menuruti kemauan adik kecil yang sudah besar itu. Permintaan kecil namun cukup sulit mewujudkannya. Dan akhirnya, Jeje tersenyum tulus kembali setelah bertemu Amran. Tanpa memikirkan wanita yang telah merusak keluarganya.

Kini, biarkan Amran kembali menjumpai rutinitasnya dan Jeje bersama Rayn kembali ke dunia sekolah.

Rayn sedang belajar di dalam kelas. Sementara Jeje sedang berada di lapangan untuk pelajaran olahraga.
Perempuan itu sudah memakai seragam olahraganya. Rambutnya diikat menjadi satu, membuat bentuk wajah Jeje terlihat lebih jelas. Keringat membasahi keningnnya. Membuat ia segera mengelapnya dengan tissue yang ia bawa di saku.

"Huft! Udah lama gue nggak lari," ucap Jeje sambil membuang tissue pada tempat sampah.

Ghina yang sedari tadi bersamanya memilih untuk duduk di kursi yang tak jauh dari tempat sampah di lapangan.

"Iya nih kaki kita sakit masa," timpal yang sudah duduk sambil menyelonjorkan kaki nya. Jeje ikut duduk di samping Ghina.

"Lemah kalian," sindir Sabrina yang masih berdiri dengan tegak.

"Bacot!" cibir Ghina setengah kesal.

Ya mereka bertiga meninggalkan gerombolan kelas mereka yang masih berada di lapangan. Sebagian anak laki-laki malah lanjut bermain bola. Memang mereka tidak cape apa? Kan abis lari? Suka heran.

Itu pun karena guru olahraga mereka sudah memberi perintah untuk menyudahi pelajaran olahraga kali ini. Dan mereka boleh beristirahat, juga mengganti pakaian.

"Minum kali yuk!" seru Jeje sambil bangkit dari duduk nya. Ia menarik tangan Ghina dan Sabrina.

"Nggak usah narik-narik!" Sabrina melepas pegangan Jeje.

Tiba-tiba seseorang memanggil nama Jeje. Spontan hal itu membuat ketiganya berhenti melangkah. Seseorang itu mendekat dari arah yang berlawanan, sehingga tidak membuat Jeje repot-repot berbalik badan.

"Nih," Tama menyodorkan sebotol air mineral kepada Jeje. Kemudian laki-laki itu juga memberikan sebotol air mineral lagi kepada Ghina.  Iyalah, Ghina kan pacarnya sekarang ini.

Jeje menerima air minum tersebut dengan heran. Apa-apaan nih Tama? Dalam rangka apa ia membagikan minum seperti ini? Tetapi tunggu, mengapa Sabrina tidak diberi juga?

JASENFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang