Chapter 2

185K 8.9K 83
                                    

Belum lima menit setelah bel istirahat berdering, kelas Vanesa sudah benar-benar kosong. Ke mana lagi penghuninya kalau bukan ke kantin.

Kantin memang menjadi tempat terfavorit bagi semua siswa. Ini mencetuskan sebuah pertanyaan krusial, jangan-jangan ibu kantin adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya?

Vanesa segera mengambil headseat dan ponsel yang ada di laci meja, serta novel karya Shanty Agatha yang selalu menemaninya.

Vanesa sangat mengidolakan penulis novel romansa tersebut karena di setiap karyanya memiliki makna serta tokoh berkarakter unik, membuat gadis itu tidak pernah bosan membacanya meskipun ini sudah ketiga kalinya ia berusaha menamatkan satu judul yang sama.

Berbeda dengan kebanyakan siswa yang lebih memilih kantin sebagai tempat favorit, justru Vanesa lebih memilih taman di samping perpus sebagai tempat terbaik. Suasana yang sepi membuat Vanesa betah lama-lama di sini. Jauh dari hiruk-pikuk melelahkan, serta punya tentram nan damai.

Taman ini sangat jarang dilewati siswa. Kebanyakan siswa lebih memilih berada taman di samping lapangan basket yang bersebelahan dengan koperasi siswa. Pemandangan di sana tentunya lebih menarik—yakni sekumpulan most wanted Cakrawala yang setiap jam istirahat tengah bermain bola basket atau hanya sekedar duduk-duduk saja.

Vanesa duduk di kursi panjang yang terdapat di bawah pohon. Dia memakan roti yang dibelinya tadi bersamaan ketika membeli pulpen.

Vanesa meneguk air mineral yang dibawanya dari rumah, mengambil ponsel di saku, memasang headseat ke telinga, lalu memutar lagu. Lagu kali ini dibawakan oleh satu band ternama di Indonesia, musiknya mengalun merdu.

Vanesa memejamkan mata untuk meresapi kata-kata yang keluar. Tak jarang mulutnya ikut berkamit-kamit mengikuti lirik yang terdengar.

Ketenangan Vanesa terusik saat ada pergerakan bangku di sampingnya, seperti ada seseorang yang baru saja duduk.

Vanesa membuka mata dan menoleh ke kiri, terpampanglah wajah tampan yang sedang tersenyum manis menatapinya. Refleks, Vanesa melepas headseat dan menghentikan sejenak musik yang tengah berdendang. "Kak Ozi," sapanya kikuk.

"Hai, Nes," balas Ozi ramah.

Vanesa yang bingung harus menjawab apa hanya bisa diam dan mencoba untuk tenang.

"Gue gak sengaja lewat sini, terus ngeliat lo."

Vanesa hanya mengangguk.

"Nes, maaf untuk soal yang tadi."

Vanesa seketika menatap Ozi bingung. "Maksudnya, Kak?"

Lelaki bernama lengkap Fauzi itu menghela napas pelan dengan pandangan lurus ke depan. "Soal kelakuan si Veno tadi. Lo tau sendiri, 'kan, tuh anak emang kelakuannya minus kayak gitu. Galak, judes, dingin kayak kulkas."

Vanesa tersenyum sangat tipis. "Iya, Kak."

Fauzi menoleh lagi menghadap Vanesa. "Lo kenapa bisa suka sama Raveno?"

Vanesa yang ditanyai langsung secara blakblakan hanya bisa menggaruk belakang lehernya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali—gugup. "Kak Raveno baik."

Fauzi menatap Vanesa bingung, baik dari mananya? Setiap kali ada orang yang berani mengganggu Raveno saja kini mungkin sudah tinggal nama. Bahkan, cewek yang mengejar-ngejarnya pun cuma dibalas dengan makian.

Namun, sampai saat ini hanya Vanesa yang masih mampu bertahan akan sikap Raveno itu.

"Lo enggak ke kantin?"

Vanesa menggeleng. Ketika kelas sepuluh, Nesa pernah sekali pergi ke kantin. Saat itu hari pertama MOS, tetapi ia justru mendapat tatapan jijik dan cibiran dari para kakak kelas dan teman seangkatannya.

Mungkin itu karena penampilan Vanesa yang kuno serta cupu menyebabkannya dicap tidak lebih tinggi dari kuman oleh seluruh siswa SMA Cakrawala. Bahkan dirinya juga pernah disiram segelas jus oleh seorang senior karena tidak sengaja menabrak bahunya saat akan mengantre membeli makanan di stan kantin.

Sejak saat itu Vanesa tidak pernah lagi menginjakkan kaki di kantin.

"Gue mau ke kantin. Lo jangan lama-lama di sini, nanti diculik sama penunggu sini." Ozi beranjak meninggalkan Vanesa.

Di antara semua sahabat Raveno, Ozi-lah yang memiliki sifat ramah terhadap semua orang, tak terkecuali Vanesa. Namun, lelaki itu juga dikenal punya otak paling gesrek di antara semuanya.

"Sendiri lagi," lirih Vanesa. Kesepian selalu mengelilinginya. Karena sudah terlalu biasa sendiri tanpa teman, dia pelahan berubah menjadi pribadi yang lebih kuat.

***

Sementara itu, di meja pojok Kantin Mba Diaz, sebentuk suara bersahut-sahutan dan membuat suasana makin ramai.

Raveno, Nick, dan Rico sedang asyik memainkan game di ponsel mereka masing-masing. Sebenarnya hanya Nick yang paling heboh karena selalu berteriak dan mengumpat.

Double kill!

Triple kill!

"Maen kagak ngajak-ngajak lu pada." Dengan sengaja Ozi menyenggol lengan Nick dan menutup layar ponsel sahabatnya itu.

Seketika wajah Nick berubah mirip seekor hyena yang tengah kelaparan. "Ozi bangsat, mau savage nih gue."

"Lebay lo."

"Lo goblok."

"Yang penting gue ganteng."

"Halah muka kek pantat sapi aja bangga."

"Lo—"

"Berisik!" bentak Raveno, seketika Ozi dan Nick langsung menutup rapat-rapat mulutnya. "Kalah kan, anjing. Lo berdua kalo mau adu bacot sono di lapangan," maki Raveno.

Ozi dan Nick hanya menaruh tangan di depan muka dengan dua jari terangkat, tak lupa dengan cengiran tanpa rasa bersalah, meminta damai.

"Lo dari mana tadi?" tanya Nick.

"Kepo lo kayak Dora."

Tangan Nick yang semula memegang posel kini menjitak kepala Ozi dengan botol kecap.

"Njir, sakit, woy." Sembari mengelu-selus kepalanya yang setengah berdenyut, Ozi menjawab enggan. "Gue tadi ketemu Nesa dulu."

"Vanesa yang tadi ngasih bekal?" tanya Nick, penasaran ada urusan apa cewek cupu itu dengan Ozi.

Mendengar nama Vanesa disebut, Raveno menatap Ozi dengan pandangan yang sulit ditebak. "Lo ada urusan apa sama cewek cupu itu?"

Ozi yang merasa terintimidasi oleh tatapan Raveno mencoba mengalihkan perhatian. "Enggak penting elah. By the way, ini kagak ada yang mau pesen makan?"

Rico yang sejak tadi hanya diam beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana, Co?" celetuk Nick.

"Makan."

Ozi yang sudah paham maksud perkataan Rico langsung saja menyusul. "Lo pada mau nitip kagak?"

"Tumben," cibir Nick.

"Lah, gue kan baik hati dan tidak sombong."

"Hm ... iyain aja deh. Gue nasgor, bakwannya lima, jangan lupa sama es teh. Esnya yang banyak, gulanya dikit aja, takut dibetes gue soalnya doi gue udah kelewat manis."

"Banyak mau lo, pesen sendiri."

Nick membuka dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribuan. "Nih, kembaliannya ambil."

Ozi yang paling suka dengan yang namanya gratisan segera meraih uang itu dengan mata berbinar. "Oke siap. Lo mau nitip apa, Ven?"

"Terserah," jawab Raveno tak acuh dengan mata yang tak lepas dari layar ponsel.

"Kek cewek lo kalo ditanyain. Pengen gue selepet mulutnya."

Raveno tak menggubris perkataan dari Ozi, pandangannya masih terfokus ke sebuah pesan yang baru saja dikirim dari ayahnnya. "Udah samain aja."

"Iya, iya."

***

Fake Nerd ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang