Chapter 17

143K 7.4K 333
                                    

Terima kasih telah memberikan banyak pelajaran tentang hidup, salah satunya tentang mendewasakan diri. Dengan cara mengikhlaskan sesuatu yang bukan milik dan menerimanya dengan lapang dada tanpa harus menghakimi dan membenci siapa pun sumbernya.

-Fake Nerd-

***

Memories that already dead. Vanesa mendengkus sinis. Sesuai tulisan itu, lemari ini berisi kenangan yang telah lama mati—barang pemberian orangtuanya, foto dirinya dengan saudar-saudaranya, dan sebagainya.

Vanesa memang sengaja mengumpulkannya di satu tempat. Gadis itu mengambil sebuah album. Vanesa duduk di meja belajarnya dan mulai membuka album tersebut.

Foto pertama adalah foto saat dirinya berulang tahun yang ketiga. Vanesa bisa melihat dirinya yang tengah tersenyum bahagia dan dipeluk kedua orangtuanya bersama saudara kembarnya.

Vanesa kembali membuka lembaran selanjutnya. Kali ini terpampang foto berisi dua anak kembar yang memeluk sebuah boneka teddy berwarna putih-violet besar.

Vanesa mengambil boneka itu yang masih tersimpan rapi dalam balutan sebuah plastik transparan. Boneka tersebut merupakan pemberian dari Viko yang dibelinya di sebuah pasar malam. Ketika itu Viko merengek-rengek ke Edward dan Linda supaya membelikannya untuk Angel dan Vanesa.

Vanesa membuka lembaran selanjutnya yang menampilkan foto Angel yang tengah tidur dan menjadikan lutut Vanesa sebagai bantalan, sedangkan Vanesa sendiri mengelus rambut Angel dengan mata berbinar-binar. Terlihat sangat jelas di foto itu bahwa keduanya saling menyayangi.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu terdengar. Vanesa bergegas menutup album tersebut dan mengembalikannya ke dalam lemari. Gadis itu berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu.

"Non, nanti disuruh ke bawah," ujar Bi Sari.

Vanesa mengerutkan dahinya bingung. "Buat apa, Bi?"

"Bibi juga gak tahu, Non, ini perintah Non Angel."

Vanesa tersenyum tipis. Apa mungkin Angel mau merayakan bareng gue? batin Vanesa berusaha berpikir positif. "Yaudah, Bi, kalo gitu Vanesa siap-siap dulu." Vanesa menutup kembali pintu kamarnya. Dia menuju lemari baju dan mulai membenahi diri.

Vanesa menuju walk in closet dan memilih pakaian yang cocok untuk ia kenakan. Tangannya meraih sebuah dress sepanjang lutut berwarna peach yang bagian pinggulnya sedikit mengembang.

Vanesa bergegas menuju kamar mandi untuk membersihakn diri. Tiga puluh menit kemudian, Vanesa sudah sepenuhnya siap. Dia memoleskan make-up natural favoritnya dan membiarkan rambutnya tergerai.

Vanesa memegangi dadanya yang tiba-tiba berdegup kencang. "Kok gue kayak ngerasa bakal terjadi sesuatu ya?" gumam Vanesa.

Vanesa mencoba menepis jauh-jauh pikirannya tersebut. Dia tak ingin momen ini terlewatkan. Mungkin ini awal baru bagi hubungannya dengan Angel.

Vanesa memantapkan hatinya dan perlahan-lahan berjalan keluar kamar, menuju tangga. Gadis itu bisa melihat di bawah sana ruang tamu sudah disesaki oleh para tamu undangan. Untuk sesaat dia kembali bimbang. Hati kecilnya berkata tidak, tapi sebagian besar dari dirinya mengatakan iya.

Dengan hembusan napas pelan, Vanesa melangkah menuruni tangga. Sekarang dia sudah berada di lantai satu. Orang-orang di sekitar nampak asing. Wajar, kebanyakan yang datang adalah teman-teman Angel dan kolega bisnis papanya.

Tiba tiba ada yang menyenggolnya dari arah samping. Vanesa menoleh.

"Ups, sorry, tolong ambilin gue minum dong. Haus nih, PELAYAN." Orang itu adalah Angel. Gadis itu sengaja menekankan kata-katanya yang terakhir untuk mempermalukan Vanesa.

Tawa cekikikan keluar dari mulut teman-teman Angel. Mereka juga memandang Vanesa jijik.

Vanesa yang diperlakukan seperti itu seketika menatap Angel tidak percaya. Apa maksudnya ini? Sebelum Vanesa menjawab perkataan Angel, sebuah suara mikrofon bergema menyela.

"Cek ... cek .... Terimakasih untuk para hadirin yang sudah berkenan hadir di acara ulang tahun anak saya—Angel Caronez."

Vanesa menatap nanar orang yang berdiri di panggung kecil itu—Edward Caronez. Ingin rasanya dia berteriak kepada semua orang yang hadir dan memberitahu kalau dia juga ulang tahun hari ini.

"Untuk Angel, sini, Sayang, kita tiup lilin sama-sama."

Angel tersenyum sinis ketika melewati Vanesa. Vanesa mencoba untuk tetap tegar melihat pemandangan yang bagi sebagian orang sangatlah harmonis itu. Di depan sana, orangtua; kakak; dan kembarannya tengah bersiap-siap untuk meniup lilin serempak.

Secara tak sengaja mata Vanesa bertemu pandang dengan mata tajam sang kakak. Cepat-cepat Vanesa mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat senyum mengejek yang sebentar lagi akan terpampang di wajah Viko.

Suara tepukan tangan memenuhi ruangan setelah acara tiup lilin usai. Kini saatnya pemotongan kue. Terlihat Angel memberikan potongan pertamanya kepada sang mama, potongan kedua untuk papanya, dan yang ketiga untuk Viko.

"Saya mempunyai satu pengumuman penting." Ruangan berubah hening ketika Edward kembali membuka suara. "Malam ini akan ada acara tunangan anak saya dengan anak sahabat saya," lanjutnya.

Kak Viko mau tunangan? batin Vanesa.

"Ini dia calon mantu saya, Raveno Adi Pratama, yang sebentar lagi akan bertunangan dengan anak saya, Angel Caronez."

Deg!

Seketika jantung Vanesa seperti berhenti berdetak. Apa maksudnya ini?.

Vanesa menatap tajam orang yang saat ini berdiri di samping Angel.

Itu ... Raveno. Itu benar-benar Raveno yang Vanesa kenal.

Mata Vanesa dan Raveno sempat bertemu. Laki-laki itu memberikannya pandangan yang sulit diartikan. Namun, beberapa saat kemudian Raveno lebih dulu membuang muka dan justru menatap Angel yang ada di sampingnya.

Prosesi pertukaran cincin pun dilakukan. Vanesa yang sudah tidak kuat menyaksikan acara tersebut langsung berbalik dan berjalan terburu-buru ke kamar.

Tubuh Vanesa luruh ke lantai. Tangisnya pecah sejadinya. Gadis itu menampar pipinya sendiri, berharap agar bisa bangun dari mimpi buruknya ini. Sakit. Seperti kejadian kemarin, ini kenyataan, tapi lebih buruk, jauh lebih buruk.

Inikah yang dimaksud firasat Vanesa tadi? Apakah ini jalan takdir Vanesa, menjadi orang yang tak pernah bahagia? Inikah 'hadiah' yang harus dia terima di hari yang seharusnya menjadi saat terbaiknya ini?

Vanesa memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak.

Drrt ... drrtt ...

Ponsel Vanesa tiba-tiba bergetar dan berdering. Vanesa mencoba berdiri dan mengambil benda pipih itu. Setelah menggulir layarnya, tertera nama Raveno di sana.

Vanesa segera menolak panggilan tersebut. Dia masih tak kuat untuk menghadapi apa pun penjelasan Raveno saat ini.

Berkali-kali ponsel Vanesa kembali berbunyi dan masih menampilkan nama pemanggil yang sama, jadi terpaksa Vanesa mengangkatnya. Gadis itu menempelkan ponsel tersebut ke telinga kanan

"Aku tunggu di taman belakang rumah kamu."

Tut ... tut ...

Setelah mengucapkan kata itu, Raveno langsung memtuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu balasan apa pun dari Vanesa.

***


Fake Nerd ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang