***
Entah hari ini kesialan atau keberuntungan bagi Vanesa, pasalnya Diva tidak masuk ke sekolah karena izin untuk mengunjungi kerabatnya di Bandung selama dua hari. Itu berarti selama dua hari ke depan suasana bisa sedikit lebih tenang—sahabatnya itu selalu merecoki dirinya dengan tingkah yang barbar dan mulut yang tak berehenti mengoceh.
Namun, semenjak hadirnya Diva, hidup Vanesa kini lebih sedikit berwarna. Ada orang yang bisa mendengar keluh kesahnya, menemaninya di saat bersedih, selalu mendukung apa pun keputusannya. Diva satu-satunya orang yang bisa Vanesa percaya.
Vanesa berjalan gontai menuju kelas. Di sepanjang koridor kelas sebelas, suasana entah kenapa terasa mencekam. Semua orang menatap Vanesa dengan pandangan jijik, mencemooh, dan tatapan negatif lainnya.
Vanesa menghembuskan napas perlahan, mencoba menghibur diri sendiri. Ya ... ini juga sering gue alamin sebelum ketemu Diva. Hingga sebuah bisikan dari seseorang benar-benar terdengar oleh telinga Vanesa dan menghentikan langkahnya.
"Gue kira dia orang polos, ternyata murahan juga"
"Iya, enggak nyangka gue. Tampangnya aja sok polos, padahal aslinya kayak pelacur."
Vanesa terpejam sebentar, lalu membuka matanya lagi secara perlahan. Dia lanjut berjalan.
Vanesa sebenarnya agak bingung. Dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan menghina seperti ini, tapi kenapa hatinya merasa ada yang janggal.
Tepat di depan sana, banyak siswa yang mengerubungi mading. Entah apa yang mereka lihat sampai berdesakan seperti itu.
Ketika berada makin dekat, Vanesa bisa omongan-omongan dari gerombolan itu mulai terdegar jelas.
"Malu gue satu sekolah sama Vanesa"
"Gila. Culun-culun gitu jago juga nyari mangsa."
"Tampang sok polosnya cuma kedok tuh, aslinya liar kayak jalang."
"Jalang Kecil Vanesa. Bagus juga julukannya. Hahaha."
Mata Vanesa pun sudah berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar. Matanya menangkap sebuah foto yang menampilkan orang yang menyerupai dirinya tengah duduk di pangkuan seorang laki-laki dewasa.
Vanesa berjalan makin dekat ke arah mading. Dia sangat syok melihat foto tersebut. Orang di dalam foto itu sangat mirip dirinya, tapi dia sendiri tak pernah melakukan hal terkutuk seperti itu. Itu semua pasti rekayasa.
Dengan tangan gemetar Vanesa menarik foto tersebut dan merobeknya, lalu berlari menuju kelas.
Sorakan penuh cacian mengiringi langkah cepat Vanesa.
Ketika sampai di dalam kelas, Vanesa lagi-lagi mendapat pandangan jijik dari seluruh penghuni kelas. Bangku dan mejanya sudah dipenuhi coretan kata-kata kasar dan tak senonoh. Segera saja Vanesa mengambil tisu dan botol air minum dari dalam tas.
Vanesa berusaha menghapus coretan-coretan itu. Air matanya sudah tak mampu lagi dibendung. Dia tak habis pikir, siapa yang tega memfitnah dirinya hingga seperti ini.
Gebrakan seseorang di mejanya membuat Vanesa tersentak kaget. "Halo, Pelacur Kecil."
Bella dan antek-anteknya menatap Vanesa seperti tengah menatap sampah. "Ternyata lo liar ya kalo di luar sekolah."
Shinta memegang dagu Vanesa dan menekan pipi Vanesa dengan kukunya yang runcing. "Hasil ngejalang lo buat apa? Buat bayar sekolah ya?" Shinta terkekeh sinis. "Kalo miskin gak usah sok-sokan sekolah di sini, ngelacur juga, 'kan, lo," tambahnya.
Vanesa mencoba melepaskan cengkeraman Shinta. Pipinya terasa sangat sakit karena kuku Shinta menggores-goresnya beberapa kali.
Isakan di bibir Vanesa membuat siapa pun yang mendengar akan merasa iba. Namun, tak ada yang benar-benar menolong. Semua seolah tuli—selalu seperti itu, ditambah fitnah yang saat ini sedang menimpanya, sehingga mereka makin enggan membantu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Nerd ✔
Novela JuvenilJika kamu berkomitmen mencintai orang yang tak peduli terhadap rasamu, maka konsekuensi yang akan kamu dapatkan adalah sakit hati berkali kali -Anisarumw8- #2 dalam Teenfiction (13/11/2018) #3 dalam Fiksi Remaja (21/10/2018) #1 dalam Fake Nerd (30...