Pagi ini Vanesa sudah duduk di taman belakang SMA Cakrawala, menyaksikan sang mentari yang memberikan cahaya kehangatan dan menikmati suasana yang tentram.
Nuansa ini benar-benar Vanesa sukai. Ia memang tak pernah suka tempat bising atau ramai.
Sejujurnya Vanesa sangat rindu dengan pembawaannya yang ceria dulu. Dia rindu Nesa Kecil yang banyak disukai orang karena sifat ceria, lucu, ramah dan periangnya.
Namun, waktu-waktu itu telah berlalu dan keadaan telah berubah. Entah sampai kapan Vanesa tak tahu.
"Ehem ...." Suara seseorang menyadarkan Vanesa dari lamunannya.
Dengan kepala menunduk, Vanesa melirik-lirik orang di sampingnya. Dia tahu siapa cowok ini, aroma parfumnya sangat ia kenal. Namun, gadis itu tak berani menatap si cowok secara langsung.
"Kenapa?" ujar si cowok lirih, tapi Vanesa bisa mendengar. Anehnya, ada nada kekhawatiran di sana.
"Kak Veno ngapain ke-ke sini?" Masih dengan kepala tertunduk, Vanesa mencoba bertanya.
"Ck, gue nanya malah lo balik nanya!" sentak Raveno dengan nada tinggi.
Vanesa yang kaget akan bentakan dari Veno makin membenamkan wajahnya ke bawah. Matanya merah menahan tangis.
Raveno mangangkat dagu Vanesa dan mengarahkan wajah gadis itu supaya menghadapnya. "Maaf gue gak bermaksud bentak lo."
Terkejut. Itulah yang Vanesa rasakan. Degup jantungnya makin tidak keruan. Selain karena perlakuan Raveno yang terbilang lembut, Vanesa heran dengan tatapan mata cowok itu yang juga menyiratkan penyesalan.
Tanpa bisa dicegah, air mata Vanesa turun. Raveno kontan memeluk gadis itu. Entah kenapa si cowok merasa deja vu.
Nyaman, hangat, dan tenang. Itulah yang Vanesa rasakan dalam dekapan Raveno.
Namun, berbeda dengan Raveno. Cowok itu merasa degup jantungnya berdetak makin kencang. Veno sendiri juga tidak tahu ada dorongan apa dia tiba-tiba memeluk Vanesa. Hanya saja, ketika melihat Vanesa menangis, seakan-akan ada ribuan jarum mensuk jantungnya, apalagi menangis karena dirinya.
"Maaf," bisik Raveno. Raveno melepaskan pelukan dan meletakan tanganya di kedua bahu Venesa. "Liat gue." Kata itu terdengar bukan seperti permintaan, tapi lebih ke sebuah perintah yang tidak ingin dibantah.
Dengan perlahan Vanesa mengangkat kepala dan menatap manik mata Raveno dalam. Bukan tatapan tajam yang dia temukan di sana, tapi kelembutan juga ... penyesalan?
"Gu-gue mau minta maaf sama lo." Raveno menenguk ludah. Sial, ini kenapa gue jadi gugup begini? Raveno memaki dirinya sendiri.
"Selama ini sifat gue sangat keterlaluan sama lo. Jujur, dulu gue benci banget sama lo. Menurut gue, lo selalu ganggu hidup gue. Tapi, entah kenapa saat lo udah berhenti gangguin gue, gue ngerasa ada yang hilang.
"Gue selalu kepikiran sama lo. Gue memang cowok berengsek yang selalu ngatain lo dengan kata-kata kasar, tapi lo gak pernah marah sama gue. Gue ... gue menyesal udah ngasarin lo dan memperlakukan lo semena-mena. Selama ini gue udah keterlaluan. Lo bebas mau maafin gue atau enggak, tapi seenggaknya gue udah ngucapin apa yang gue rasain." Barusan adalah kalimat terpanjang yang pernah terlontar dari mulut Raveno.
Vanesa menampilkan senyum tipis. "Gue selalu maafin lo, Kak."
Raveno mengerjap, tak percaya akan kata-kata yang keluar dari mulut Vanesa. Dia mengira kalau sekarang mungkin Vanesa sudah membencinya, tapi apa yang dia dapat justru sebaliknya.
Perasaan bersalah Raveno makin besar karena telah mengabaikan perempuan sebaik Venesa. Kini di dalam hati, Raveno berjanji akan selalu melindungi Vanesa. Bukan hanya karena penyesalan yang menjadi bebannya beberapa hari ini, tapi dia juga bisa merasa kalau Vanesa adalah sosok yang harus ia lindungi. "Vanesa, gue—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Nerd ✔
أدب المراهقينJika kamu berkomitmen mencintai orang yang tak peduli terhadap rasamu, maka konsekuensi yang akan kamu dapatkan adalah sakit hati berkali kali -Anisarumw8- #2 dalam Teenfiction (13/11/2018) #3 dalam Fiksi Remaja (21/10/2018) #1 dalam Fake Nerd (30...