Chapter 3

171K 8.8K 284
                                    

Bel tanda masuk berbunyi membuat Vanesa segera beranjak dari taman belakang dan pergi ke kelas untuk menyimak pelajaran selanjutnya.

Nesa berjalan dengan menundukan kepala, sampai tak sengaja menabrak seseorang.

"Aw ...." Orang itu meringis.

"Maaf, Kak," seru Vanesa takut-takut.

"Woi! Kalo jalan liat-liat dong, punya mata tuh dipake." Dengan suara nyolot, si pemilik suara mendorong bahu Vanesa kuat hingga empunya terhuyung jatuh ke belakang.

Setelah orang itu berlalu, Vanesa buru-buru kembali ke kelas karena tidak mau terlambat mengikuti kelas berikutnya.

"Assalamualaikum." Salam ramah datang dari guru Bahasa Indonesia.

"Waalaikumsalam, Pak," sambut semua murid kelas.

"Baiklah, kita ulang sedikit mengenai pembelajaran yang kemarin, buka buku paket halaman 72." Pak Bagas si guru Bahasa Indonesia tiba-tiba menoleh. "Nesa," panggilnya

"Iya, Pak." Vanesa berjalan ke depan.

"Bapak minta tolong untuk ambilkan kamus di perpus, bisa?"

"Bisa, Pak." Vanesa langsung bergegas ke perpustakaan untuk mengambil kamus.

Vanesa berjalan melewati koridor anak kelas 12 IPA meskipun sebenarnya jalur ke perpustakaan tidak perlu ambil jalan ke sana. Namun, dia tak mau buru-buru kembali ke kelas sekarang, jadilah dia lewat rute memutar ini.

"Eh, eh, liat. Ada Upik Abu nyasar ke sini."

"Caper banget sih pake lewat koridor kelas dua belas."

"Dasar enggak tau malu."

"Udah jelek, ngaca dong. Enggak usah ngejar-ngejar Raveno."

Bisikan itu terdengar dari kelas Raveno saat Vanesa menyambanginya. Sepertinya tengah jam kosong, tahu sendirilah bagaimana ramainya kelas kalau tengah bebas, melebihi pasar.

Cacian seperti itu sudah biasa Vanesa dengarkan, mungkin bisa dibilang seperti lagu yang setiap kali selalu didengar. Namun, Vanesa tidak pernah menanggapi dengan serius, lagi pula buat apa juga?

Setelah berbelok ke kiri, sampailah Vanesa di perpustakaan. Langsung saja gadis itu masuk dan menyapa petugas di sana yang sudah cukup akrab dengan kehadiran Vanesa.

Seperti biasa keadaan ruang ini selalu sepi. Hanya ada siswa siswa tertentu seperti para kutu buku, murid-murid yang membolos dan memilih sembunyi-sembunyi tidur, serta mereka yang ini menikmati jaringan internet gratis.

"Sebelah mana ya?" gumam Vanesa dengan mata yang masih fokus mencari letak buku yang dia cari, sampai-sampai tak sengaja menginjak tangan seseorang.

"Woi, Njing, sakit nih!"

"M-maaf, Kak, enggak sengaja."

"Lo lagi, lo lagi, sial mulu gue kalo ketemu lo." Raveno mendecih.

Nesa hanya bisa menunduk, tidak berani melihat Raveno secara langsung.

"Lo ngapain di perpus di jam pelajaran? Enggak nyangka gue cewek kayak lo nakal juga." Baru kali ini seorang Raveno berbicara panjang lebar padanya.

"Disuruh Pak Bagas buat nyari kamus Bahasa Indonesia, Kak." Suara Nesa terdengar sangat pelan, tapi telinga Raveno cukup peka.

"Oh."

"Permisi, Kak." Sebelum Nesa benar-benar melewati Veno, sebuah tangan besar tiba-tiba mencegahnya untuk pergi. "Ada apa, Kak?" Vanesa menoleh dengan gugup, dadanya berdebar kencang dan seperti ada kupu-kupu yang bertebangan di perutnya begitu tahu siapa pemilik tangan itu.

Tanpa berucap sepatah kata pun, Raveno menyerahkan sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia ke Nesa dengan wajah datar, benar-benar datar.

"Makasih, Kak." Dengan sedikit keberanian, Vanesa menatap mata Raveno dan meraih buku yang Raveno sdorokan.

Tanpa mereka sadari, tangan yang saling menggenggam itu belum terlepas. Mata mereka saling mengunci. Dehaman petugas perpustakaan terdengar dan menyadarkan Raveno dari lamunan.

"Sekali lagi makasih, Kak." Dengan senyuman yang masih menghiasi wajah, Vanesa segera kembali ke kelas.

"Matanya cantik." Tanpa sadar, Raveno bergumam lirih.

***

Sekembalinya dari perpustakaan, Vanesa langsung menghampiri Pak Bagas dan menyerahkan kamus yang ia pegang.

"Terima kasih, Vanesa."

"Sama-sama, Pak."

Vanesa berjalan ke bangkunya dengan senyuman yang masih menghiasi wajah. Saat Pak Bagas melanjutkan materi, Vanesa justru tidak fokus dengan apa yang sedang dipelajari, masih terus terbayang kejadian di perpustakaan tadi. Dia masih belum percaya bahwa dirinya baru saja berpegangan tangan dengan Raveno.

Mungkin, jika sempat, Nesa pasti akan mengabadikan momen tadi. Memotret setiap detiknya. Oke. Mungkin yang barusan agak berlebihan.

***

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Vanesa baru menginjakan kaki di pekarangan rumah. Belum sempat tanggannya meraih gagang pintu utama, pintu itu sudah lebih dibuka.

"Jam segini baru pulang, kelayapan mulu lo."

Vanesa hanya bersikap tak acuh dan berjalan melewati sang kakak.

"Enggak sopan banget lo, gue kakak lo kalo lupa."

"Loh, bukannya Kakak yang lupa?" Tak ingin melanjutkan perdebatan dengan Viko, Vanesa lantas kembali melangkah menuju lantai dua, letak di mana kamarnya berada.

Viko yang tak terima hanya bisa mengepalkan tangan dan menggeram. "Awas lo."

Fake Nerd ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang