" Bahkan ketika aku terlalu lelah untuk menceritakan dan menjustifikasi diriku pada semua orang, dengannya aku tak perlu melakukan itu, dia bisa mengerti diriku tanpa aku harus mengatakan ataupun menunjukkan apapun"
***
Satu malam lagi berlalu, kembali ke sekolah lagi. Dengan masalah yang semakin buruk, aku bahkan tak lagi memiliki keberanian untuk berjalan di koridor sekolah. Dengan semua tatapan itu, aku rasa aku tak akan kuat untuk menerima semuanya. Namun, dengan Nala di sampingku, menggenggam tanganku erat kurasa aku kembali memiliki sedikit keberanian untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di depan kami.
"Lo nangis?" tanyanya, memperhatikanbengkak pada kantong mataku.
"Dikit" balasku, dengan senyum bersalah.
"Gue bilang gue gapapa, gak perlu ngerasa bersalah. Kita sama-sama ngehadapin hal ini, gue bisa ngertiin semua tindakkan lo, jadi lo gak usah takut ngelakuin apapun di hadapan gue. Berkat lo, gue masih bertahan sampe hari ini" ungkapnya, terus menyemangatiku.
Nala terus mengatakan baik-baik saja, ia terus meyakinkanku bahwa aku tak perlu takut akan apapun. Seperti sihir, ucapannya tersebut membuatku merasa lebih baik.
Waktu jam makan siang, di kantin hampir semua orang menggunakan ponsel mereka. Lalu mengarah kepadaku sembari mencibirku dengan bisik.
Aku pergi ke toilet, dan memeriksa apa yang tengah di perbincangkan anak-anak lain. Dengan sunyi, aku membaca beberapa postingan akun-akun penyebar rumor, membicarakan bagaimana sikapku di sekolah. Terdapat video di mana di dalamnya ada diriku yang nampak tengah menyiramkan air keruh pada Shasa dan teman-temannya, video tersebut telah di rekayasa dan di potong di beberapa adegan pada saat kejadian yang sebenarnya terjadi, di buat seolah-olah akulah yang telah mengganggu mereka semua.
Begitu membaca kolom komentar, aku begitu terkejut karena banyak yang memaki dan mengutukku dengan kasar. Aku tak tahu apa kesalahku sampai aku pantas mendapatkan semua kebencian ini dari mereka semua. Hanya dengan rekaman beberapa detik, mereka semua meghujaniku dengan kata-kata umpatan dan kebencian yang begitu buruk.
Aku mematikan layar ponselku, mencoba bernapas dengan baik karena dadaku terasa begitu sesak. Tenggorokanku sakit karena menahan tangis, rasanya begitu meyesakkan, dadaku terasa begitu sesak.
"Liat gak lo, videonya udah kesebar di sosial media. Padahal semua orang di sekolah ini tau kalo kejadian yang sebenernya bukan kayak gitu, tapi gak ada satupun yang mau klarifikasi soal itu" ucap seorang perempuan, yang baru memasuki toilet.
Aku menahan diriku untuk tetap berada di bilik toilet dengan tenang.
"Hahaha, biarin aja sih. Seru gila, biar rame dulu aja" sahut lainnya.
"Kasian sih gue sama Kayla, salah nyari cowo gak sih dia tuh? cantik sih, tapikan kalo di bandingin sama Yenna, jauh. Yenna anak orang kaya gitu, terkenal lagi" ucap lainnya.
Aku salah, kupikir mereka membenciku hanya karena mereka tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Namun, nyatanya mereka yang mengenalku sekalipun tetap membenciku meski mereka tahu jelas bahwa aku tak bersalah.
Akhirnya aku keluar dari toilet, setelah sekian lama menunggu mereka semua keluar dari tempat ini. Aku keluar dan memandang pantulan diriku pada cermin, apakah aku benar-benar nampak menyedihkan. Apa aku memang pantas mendapatkan semua ini, seburuk apa diriku hingga mereka semua begitu membenciku.
Begitu keluar dari toilet, aku langsung berhadapan dengan Nala. Aku segera melemparkan senyumanku pada Nala, kuharap tak begitu terlihat bahwa hatiku tengah sakit, kuharap Nala tak menyadari apapun yang terjadi pada diriku.
Ia membalas senyumanku, kami kembali menuju kelas. Tanpa alasan yang pasti, aku merasa takut ketika bertatapan dengan anak-anak lain. Jelas aku sama sekali tak bersalah, namun mengapa aku merasa kecil saat mereka menatapku.
Mereka bahkan teretawa seolah merendahkan diriku, nampaknya mereka begitu bahagia melihatku jatuh seperti saat ini.
"Aw, sorry!" ucap Naomi, begitu menabrak tubuh Nala.
Ia terlihat sengaja menabrak tubuh Nala, karena jalan di samping kami masih begitu luas untuknya bisa berlalu lalang.
"Gimana rasanya terkenal?" tanya Shasa, menyindirku dengan terang-terangan.
Aku tak menjawab ucapannya, tak ingin menanggapi dirinya. Sudah jelas ia hanya ingin mengusikku dan membuat masalah baru lainnya.
Melihat tak satupun teman sekelasku ada yang berpihak padaku, yang tak peduli bertindak sebagaimana mereka benar-benar tak peduli dan tak tertarik, yang benar-benar membenciku mereka menunjukkan bahwa mereka menikmati keadaan saat ini.
Padahal awalnya mereka semua menyukaiku, kami bahkan telah menghabisakan satu tahun ini dengan menyenangkan. Tapi kini, begitu aku mengalami masalah ini mereka semua seolah melupakan apa yang telah kami lewati bersama, membuang begitu saja waktu-waktu yang telah kami buat bersama.
Tak lama dari itu, kak Ray masuk ke kelasku lalu membuat semuanya bergeming. Membuatku semakin sedih, karena mereka hanya peduli pada kak Ray ataupun Kin namun mengabaikan perasaanku.
"Seru? nyakitin orang lain dengan luka mereka?" tegur kak Ray dengan dingin.
Kak Ray menggenggam tanganku dan membawaku ke tempat dudukku, melewati anak-anak lain yang sedari tadi memblokir jalanku. Begitupun dengan Kin, ia merangkul pundak Nala dan mengantar Nala ke tempat duduknya. Kin seolah menunjukkan pada semua orang, bahwa Nala ada dalam lindungannya.
Naomi tertunduk malu di hadapan Kin, ia mengepalkan tinjunya,menahan perasaan cemburunya pada Nala dan Kin.
Setelah memastikan semua orang kembali ke tempatnya, Kin dan kak Ray kembali ke kelas mereka masing-masing. Sejujurnya, tanpa mereka aku dan Nala mungkin saja akan mengalami hal yang lebih sulit.
Sepulang sekolah, lagi-lagi aku berpapasan dengan Joe. Ia terlihat ingin menghampiriku, namun ragu, membuatku bertanya tentang apa yang ingin ia sampaikan padaku sehingga membuatnya terlihat begitu gelisah.
Hari menuju ujian kenaikan kelas semakin dekat, membuatku harus di sibukkan dengan belajar. Meski tak bisa begitu fokus karena beberapa masalah yang tengah terjadi sampai hari ini.
Setelah sekian lama, akhirnya Kenzie kembali mendatangiku. Dengan tiba-tiba, dia berdiri di depan rumah, menyapaku dengan ceria seperti sebelum saat masalah ini terjadi. Aku dan dirinya pergi ke sebuah minimarket untuk membeli ice cream, kami berjalan menuju taman dekat rumah sembari menghirup udara malam.
Kami berbincang, seolah tak ada masalah apapun. Meski masing-masing dari kami tahu bahwa kami begitu kesulitan menghadapi semua ini.Tapi aku maupun dirinya menghindari pembahasan tersebut, kami hanya bertindak bahwa semuanya baik-baik saja. Karena aku dan dirinya, kami memang baik-baik saja. Selalu menyenangkan saat menghabiskan waktu bersamanya, meski singkat tapi semua itu sangat berarti bagiku.
"Kamu hebat" pujinya, dengan nada lembut.
"Kamu hebat" balasku, dengan senyum cerah.
Kami saling tersenyum pada satu sama lain, menguatkan dan meyakinkan satu sama lain bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tak harus menceritakan semuanya, tanpa kami sadari, ternyata kami saling mengerti satu sama lain.
"Aku punya sesuatu buat kamu, tapi nanti waktu kamu selesai ujian baru aku kasih" ucapnya, saat kami tiba di depan rumah.
"Apa? jangan bikin penasaran" balasku.
"Ada" jawabnya, dengan sengaja bersikap misterius.
"Ya udah" kalahku.
Pertemuan yang singkat kami harus kembali berakhir, begitu berpisah dengannya aku tak bisa menahan senyumku. Padahal hari ini terasa melelahkan dan panjang bagiku, namun begitu bertemu dengannya seolah aku melupakan apa yang baru saja melukaiku sepanjang hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Подростковая литератураAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...