"Ketika satu hal berharga bagiku harus berakhir demi mengakhiri penderitaan bagi orang lain, aku tak tahu harus merasa lega atau sedih"
***
Malam itu aku kembali ke rumah, membawa semua tekanan yang ku dapat dari tempat mengerikan itu. Aku tahu bahwa aku tak berhak mengabaikan ucapan Pak Yunandar kala itu, begitupula dengan ucapan Yenna. Aku sadar bahwa orang seperti mereka tak akan mengatakan omong kosong untuk melukai siapapun. Meski aku selalu merasa terintimidasi di hadapan mereka, namun aku juga berharap mereka bukan orang yang sekejam itu.
Setelahnya aku menemui Kenzie, entah mengapa hari itu udara terasa begitu berat membuatku merasa sakit dan sesak meski sudah benapas dengan benar. Sebelum aku sempat mengatakan apapun, Kenzie maju terlebih dahulu dan mengatakan apa yang ingin dia sampaikan kepadaku.
"Kayla, kamu mau bertahan atau cukup sampai sini?" tanya Kenzie, dengan sorot matanya yang melemah.
"Kita udahin aja" jawabku, dengan suara berbisik di ujung kata.
Meski aku yang mengatakan hal tersebut, hatiku terasa begitu sakit seakan teriris benda tajam. Lalu, aku menahan rasa sakit itu dengan wajah datar tak ingin membiarkan Kenzie melihat rasa sakitku.
"Aku bakal selesaiin semuanya, kamu gak perlu khawatir soal tante kamu, semua berita itu juga secepatnya bakal aku hapus. Kamu gak perlu khawatirin apapun lagi" ucapnya.
"Pasti gampang ya buat orang kaya kayak kalian, main-main sama hidup orang lain, seenaknya sama perasaan orang lain" ungkapku, lalu menatap Kenzie dengan mata berkaca.
Sebenarnya aku begitu marah, bagiku semuanya sangat tak adil, begitu memuakkan dan menggelikan. Kenzie menundukkan kepalanya, merasa bersalah atas apa yang terjadi pada kami, meski sesungguhnya aku tak bermaksud dan tak ingin ia merasakan hal itu. Aku hanya sangat marah karena aku tak bisa melakukan semuanya dengan baik, aku hanya kecewa karena telah melukai begitu banyak pihak.
"Tapi makasih, seenggaknnya kamu udah ngasih banyak hal baik buat aku" tandasku.
Walaupun masih banyak yang ingin kami katakan pada satu sama lain, namun hari itu kami memilih untuk tetap menahannya. Aku meninggalkan Kenzie setelah kami akhirnya mengakhiri hubungan singkat kami, aku berjalan cepat menjauh dari dirinya, hingga akhirnya aku tiba di kamar tidurku, merobohkan diriku ke tengah kasur sembari telungkup menyembunyikan wajahku ke dalam bantal.
Terus mengingatkan diri sendiri agar tak perlu menangisi perpisahan ini, aku terus mengatakan pada diriku bahwa aku tak boleh menangis karena jika aku melakukannya aku tahu aku tak akan bisa menghentikan air mata tersebut dengan mudah.
Beberapa hari setelah hari itu, aku kembali seperti biasa, bertemu dengan teman-temanku, tertawa bersama dan menghabiskan banyak hal bersama-sama.
Hari ini entah mengapa aku tak bisa berhenti tertawa, semua hal terus membuatku ingin tertawa, meski hanya karena hal kecil sekalipun.
Aku pergi menonton bersama Nala, Kin, Naomi serta Jennie dan kak Ray. Seusai itu kami berjalan meninggalkan lantai paling atas, di depan sebuah toko langkahku terhenti karena tersentak begitu melihat Kenzie di hadapanku.
Ia bersama dengan orang-orang dari perusahaannya, melihatnya lagi membuatku merasakan sensasi yang cukup aneh. Aku melepas pandanganku darinya, dan melaluinya tanpa sedikitpun senyuman di wajahku. Sejujurnya aku merasa lega, karena hari itu ia mengajukan pertanyaan tersebut terlebih dahulu, jika itu aku maka mungkin aku akan sangat menyesali keputusanku untuk mengajaknya berpisah terlebih dahulu.
Kami tiba di rumah, berkumpul di ruang tengah sembari melakukan aktivitas kami masing-masing. Aku menatap layar ponselku, menonton beberapa hal yang menarik lalu kembali menertawakan hal di dalamnya. Seluruh perhatian tertuju kepadaku, Nala menatapku heran melihatku terus tertawa tanpa alasan yang ia tak ketahui.
"Kayla lo gak capek dari tadi ketawa terus?" tegur Jennie dengan wajah cemas.
"Lo yakin dia gak sakit? aneh banget dari kemarin" ujar Naomi sembari menyenggol tubuh Nala.
"Kayla!" panggil Kin sembari berteriak.
Aku tak bisa menghentikan tawaku, entah mengapa semuanya terlihat begitu lucu untukku. Aku tak mengerti mengapa tak ada satupun yang tertawa ketika aku menunjukkan video tersebut pada mereka.
"Kayla" panggil Nala dengan nada panjang, memintaku untuk berhenti tertawa.
"Hah?" sahutku masih menertawakan hal tersebut, lalu aku menatap teman-temanku dan terkekeh mengakhiri tawaku.
"Maaf, gak kuat banget abisnya lucu" ucapku sembari mengusap air mata.
"Lo kenapa sih?" tanya Naomi.
"Kenapa emangnya? abisnya ini lucu banget" jawabku dengan santai.
"Terus tadi kenapa lo ngelewatin Ken gitu aja? kalian lagi ada masalah?" tanya Nala.
"Kita udah gak hubungan apa-apa, semuanya udah selesai" jawabku di ikuti senyum lebar.
Mereka menunjukkan ekspresi terkejut mereka dengan cara yang berbeda.
"Sejak kapan?" tanya Jennie.
"Sejak seminggu yang lalu, dia udah aneh sejak itu" jawab kak Ray sembari menatapku dengan erat.
"Bodoh, kenapa lu pendem sendiri" gumam Kin.
"Gak ada yang perlu di khawatirin lagi, semuanya udah beres. Gapapa, aku udah lupain semuanya" ucapku, meyakinkan mereka semua agar tak perlu mencemaskan diriku. Nala tersenyum lembut padaku, membuatku merasa lebih baik dari sebelumnya. Selalu hanya Nala yang pertama bisa memahamiku dengan baik, membuatku merasa baik-baik saja ketika aku tahu bahwa ada dirinya bersamaku.
Aku terkejut karena Nala kembali datang dan mengatakan bahwa dirinya akan bermalam bersamaku di rumah ini. Semalaman aku menceritakan semuanya pada Nala, seperti biasa ia selalu bisa memahamiku tanpa sedikitpun menghakimi keputusanku.
"Gue gak ngomong gini karena gue gak menghargai lo, tapi lo harus tau kalo gue gak pernah menderita karena lo. Apa yang terjadi kemaren, kita ngelewatin itu sama-sama jadi gue gak punya masalah apapun sama hal itu. Jadi, jangan terlalu keras sama diri lo sendiri, lo gak perlu nyalahin semuanya ke diri lo. Lo udah berusaha buat ngelindungi kita semua, dan lo berhasil" ungkapnya dengan lembut.
"Aku harap seseorang juga ngomong kayak gini ke Ken" tuturku.
Nala mengangguk mengiyakan ucapanku, perasaanku terasa lebih baik begitu aku mengatakan semuanya pada Nala, berkat itu aku tak lagi merasa begitu sesak karena harus menahan semuanya seorang diri.
Esoknya aku meminta izin pada tante Dyana agar aku bisa pulang ke rumahku di Bandung, lalu beliau mengantarku kembali ke tempat asalku. Aku kembali ke rumah ini setelah waktu yang lama, kupikir aku akan merasa lebih baik jika aku pulang ke rumah namun aku sadar bahwa aku salah. Tempat ini terlalu dingin untukku tinggali seorang diri, semakin menyakitkan karena hanya kenangan yang tersisa di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Teen FictionAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...