Aku ingin mencoba untuk memahami semuanya

2.1K 57 2
                                    

"Ternyata tak semua yang kupikir baik akan menjadi baik bagi orang lain, tanpa sadar lagi-lagi aku melukai perasaan mereka"

***

Aku terbangun dengan napas yang tersengal-sengal, mimpi barusan entah mengapa membuatku merasa sesak dan lelah meski aku tak benar-benar bisa mengingat apa yang terjadi dalam mimpi tersebut. Karena hal itu, sepanjang hariku menjadi tak begitu baik. Di sekolah aku tak banyak bicara seperti biasanya, meski Nala dan Naomi tertawa keras di sampingku, aku sama sekali tak bisa ikut merasakan kebahagiaan yang mereka buat.

"Lo gapapa? dari pagi murung banget" tanya Naomi.

"Lo sakit?" tambah Nala, menanyakan kondisiku.

"Gak kok, cuma rada bad mood aja" jawabku.

Aku enggan mengatakan pada keduanya bahwa semalam aku mendapatkan mimpi buruk, katanya sebaiknya kita tak menceritakan mimpi buruk pada orang lain.

"Ayo, kita jajan! gue baru aja dapet penghasilan dari endorse di Instagram!" seru Naomi, dengan wajah riangnya.

"Beneran?! selamat!" ucapku, ikut bahagia dengan pencapain yang Naomi dapatkan.

Begitulah hari burukku berubah menjadi hari yang menggembirakan, Naomi menyampaikan kabar baik sehingga kami semua bisa bersenang-senang bersama, merayakan keberhasilannya.

Aku berterima kasih pada keduanya, karena telah merubah suasana hatiku menjadi jauh lebih baik.

Perlahan, aku harap kami semua bisa mencapai apapun yang kami inginkan. Lagipula kami telah berusaha, bukankah tak ada salahnya jika kami mengharapkan hal-hal yang luar biasa?

Beberapa hari kemudian, terdengar kabar kurang baik. Entah siapa yang pertama memulai, namun tersebar rumor bahwa Shasa menerima berbagai barang mewah dari Yenna. Buktinya lebih di kuatkan, karena akhir-akhir ini Shasa terus menggunakan barang-barang bermerek ketika berkumpul di luar sekolah.

"Semua orang juga tau kalo Shasa itu penjilat, kalian liat sendirikan waktu itu dia ribut sama Naomi!"

"Iya kan?! Naomi bilang Shasa temenan sama dia biar bisa dapetin apapun yang dia mau" sambung lainnya.

"Lo juga setuju kan, Kay. Si Shasa itu emang gak bener!"

"Dia gak suka sama lo kan? mungkin aja dia kaki tangannya Yenna" celetuk Tiffany yang duduk di sampingku, sembari bersandar pada pundakku.

Aku tak ingin menyimpulkan sesuatu yang belum pasti seperti ini. Tapi, ucapan mereka sedikit mengganggu diriku, mungkin saja Shasa memang melakukan hal tersebut, lagipula memang benar dia tak menyukai diriku.

Lalu mataku dan Nala bertemu, ia menatapku dengan tajam seolah mengatakan bahwa aku tak boleh berpikiran buruk tentang apapun yang belum pasti. Nala duduk di kursi lain, sebab Tiffany menempati kursinya, membuatku merasa sedikit jauh dari Nala. Di tambah anak-anak lain berkerumun di mejaku, berbincang dan melakukan berbagai hal semau mereka.

Begitu pula ketika makan siang, Tiffany terus mengaitkan tangannya pada lenganku. Membuatku terpaksa tak bisa berjalan bersama Nala menuju kantin.

Anak-anak lain terus berkumpul di sekitarku, membuatku sedikit merasa sesak karena tak bisa melakukan apapun. Mereka terus mengatakan hal-hal yang tak aku mengerti, tampak seru dengan pembicaraan mereka.

"Lo mau gimana sama Shasa? lo gak takut dia bakal ngelakuin sesuatu yang bakal ngerugiin lo lagi?" papar Tiffany, sembari bersandar pada tangannya, menatap ke arahku dengan seksama.

"Gak tau deh, kayaknya Shasa gak ngelakuin apapun kok" jawabku, dengan sedikit perasaan risih.

"Kenapa? Lo kan gak tau di belakang dia ngapain aja. Oiya, gue boleh pinjem handphone lo, gak? Tadi pagi temen gue di kelas lain minjem handphone gue. Gue mau nelpon dia biar balikin handphone gue" ucapnya.

Meski ragu, pada akhirnya aku memberikan ponselku pada Tiffany. Namun, tanpa ku sangka seseorang di hadapanku menumpahkan segelas minuman dingin ke arahku. Aku segera bangkit, untuk menghindari basah yang lebih parah.

"Eh! lo hati-hati dong!" bentak Tiffany.

"Gapapa, Tif, aku gapapa" leraiku.

"Lo gapapa? mau ke toilet?" cemas Nala.

Aku mengangguk cepat, lalu segera berlari menuju toilet bersama Nala. Namun aku melupakan ponselku pada Tiffany.

Begitu sampai di kelas, Tiffany belum kunjung mengembalikan ponselku. Aku menatapnya dari belakang, membuat Naomi tersadar dan menanyaiku.

"Ngapain lo ngeliatin Tiffany terus?" tanya Naomi yang duduk di belakangku.

"Handphone lo masih di dia?" tanya Nala.

"Iya" jawabku dengan suara pelan.

"Ngapain lo minjemin handphone lo ke dia?" tanya Shasa, yang tiba-tiba masuk dalam percakapan kami.

"Oh... sorry, gue cuma nanya doang" tambahnya, dengan canggung.

"Eh, lo beneran kenal sama Yenna?" tanya Naomi terus terang pada Shasa.

Shasa kemudian memutar kedua bola matanya, tampak lelah mendengar pertanyaan semacam itu dari orang lain.

"Gue tau gue matre, tapi gue gak seburuk itu kali, gue kan udah minta maaf sama lo semua" ujarnya.

Kami semua terdiam, lalu Shasa menghela napas gusar sebelum akhirnya berdiri meninggalkan kursinya dan berjalan keluar kelas.

Akupun merasa tak nyaman dengan keadaan ini, aku tak ingin mencurigai Shasa yang jelas-jelas sudah mengungkapkan permintaan maafnya pada kami. Aku juga ingin mempercayai bahwa Shasa telah berubah, tapi mengapa kini aku ragu, dan mempertanyakan ketulusannya.

"Kay, cepet ambil handphone lo!" desak Naomi.

Aku mengikuti ucapannya, lalu menghampiri meja Tiffany dan memintanya mengembalikan ponselku. Ia mengulurkan tangannya, memberikan ponsel milikku dengan senyum tipis.

"Makasih" ucapnya.

Aku tersenyum menanggapi ucapannya, lalu kembali ke kursiku. Tak ada yang aneh, ponselku pun dalam keadaan yang sama dan baik-baik saja.

Malamnya, Naomi memintaku untuk datang ke sebuah tempat di dekat laut. Kami duduk sembari menatap ke arah pantai, lampu-lampu di sekitar begitu terang, menambah kesan indah dan tenang pada tempat ini.

Naomi menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengatakan hal yang ingin dia sampaikan padaku.

"Soal Shasa, gue rasa dia gak ngelakuin itu. Lo tau... dia gak kenal sama Yenna" ucapnya, sembari menatapku dengan sendu.

Aku terhening, aku juga ingin mempercayai hal tersebut, tapi mengapa rasanya begitu sulit. Aku sudah cukup terluka dengan mendengar nama Yenna, entahlah hanya saja aku tak senang jika seseorang menyinggung soal dirinya di hadapanku.

"Gue tau Shasa udah sering nyakitin lo, tapi lo mau gak percaya sekali lagi aja sama dia. Gue bisa buktiin kalo dia gak ngelakuin itu" tekadnya.

"Kenapa kamu masih bisa belain dia? bukannya dia udah ngancurin hidup kamu juga?" tanyaku dengan sarkas.

"Gue tau! tapi... gue gak bisa benci sama dia. Dia orang pertama yang mau berteman sama gue, dia temen pertama gue di sekolah" ungkapnya dengan mata berkaca.

"Yaudah, aku bakal percaya sama Shasa. Lagian gak ada buktinya juga kalo dia nerima itu semua dari Yenna" ucapku, dengan rendah hati memaafkan Shasa.

"Barang-barang itu dari gue! gue baru inget, itu semua barang yang gue kasih di ulang tahun dia setiap tahun. Dia gak pernah pake itu semua sebelumnya, gue baru sadar kalo selama ini Shasa gak manfaatin uang gue, dia memang bener-bener temen gue. Gue salah paham sama sikap dia yang berantakan, gue lupa kalo Shasa kurang bisa nunjukkin niat dia, dia cuma anak yang kurang perhatian dari keluarganya, karena itu dia ngelakuin semua hal buruk. Gue gak bermaksud membenarkan tindakan dia, tapi kan sekarang dia udah mulai berubah" beber Naomi, begitu memahami Shasa.

"Iya, aku ngerti. Aku juga gak selalu ngelakuin hal baik, udah jangan nangis" ucapku, sembari menenangkan Naomi yang tiba-tiba saja berderai air mata.

Aku memang merasa kecewa, tapi sepertinya aku bisa sedikit memahami keadaan Shasa. Kami semua masih cukup muda, selalu ada alasan mengapa kami bertindak buruk meski tak boleh di benarkan. Lagipula aku tak bisa membiarkan Naomi menangis seperti ini, aku tak ingin melukai siapapun lagi.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang