"Aku tahu aku tak bisa meminta pada Tuhan untuk mengembalikan kedua orang tuaku. Aku hanya berharap, mereka tak berbicara buruk tentang keduanya, karena ulahku yang masih kekanakan"
***
Cemburu, perasaan iri, keserakahan, kebohongan, semua sifat buruk tersebut melekat pada diri manusia. Sama seperti apa yang Tiffany rasakan. Kebenciannya pada kebahagiaan orang lain, membuatnya mencari alasan agar bisa melukai kami. Ambisinya yang terlalu besar, membuat dirinya sadar tak sadar merugikan pihak lain, berharap dirinya bisa mendapatkan apa yang ia dambakan.
Lalu, rasa sabar. Aku tak lagi memiliki hal tersebut, sebab aku tak ingin lagi menahan semuanya, aku begitu marah juga lelah.
"Shasa, Naomi, Nala, Kayla. Saya kurang jelas peringatin kalian? apa lagi sekarang? bertengkar di lorong sekolah, ingat kalian sudah kelas 3. Kalian gak mau lulus? mau saya keluarin dari sekolah? Juga Tiffany, nilai kamu menurun, sekarang malah bertengkar dengan teman sekelas kamu. Kamu itu ketua kelas, pantas kamu seperti ini?" tegur wali kelas kami.
Kami semua tertunduk merasa bersalah, tindakan kami jelas salah dan begitu buruk. Tepat saat ini juga, pihak sekolah memanggil wali kami untuk segera datang. Aku tak bisa menghadapi tante Dyana, beliau sudah begitu sibuk lalu aku menambah beban untuknya, sungguh memalukan.
"Naomi... apa lagi ini sayang?" ujar Ibunya, dengan nada lesu.
"Maaf, mah, pah" sesal Naomi.
"Anak ini lagi? kamu ada masalah apa sih dengan anak saya?! memang, ya, anak yang tidak punya orang tua, memang kurang ajar sikapnya" serang Ibu Shasa.
"Mama! kenapa mama ngomong gitu?! Kayla, tante, maaf. Mama, minta maaf sama Kayla!, sama Nala juga!" penik Shasa.
"Kenapa? memang mereka pantas!"
"Gak, mah! mereka temen Shasa, Shasa gak berantem sama mereka!" jelasnya.
"Bukannya kalian musuhan?"
"Gak, mah..." sahut Shasa, merasa frustasi.
"Aku juga, mereka temenku. Aku udah ceritakan sama mama" bisik Naomi pada Ibunya.
Tak lama dari itu, seorang wanita tua memasuki ruangan. Dengan kondisinya yang sudah rentan, wanita tersebut dengan wajah sedihnya memohon maaf kepada wali kelas kami.
Wanita tua tersebut adalah Nenek dari Tiffany, beliau terlihat begitu ketakutan, namun Tiffany tetap berdiri tegak tanpa perasaan bersalah.
"Hukuman apa yang bisa membuat kalian berhenti bersikap seperti ini?" tanya guru bimbingan konseling kami.
"Maaf, bu. Saya yang salah, mereka cuma ngelerai saya sama Tiffany" ungkapku.
"Gak, saya yang nampar Tiffany" aku Shasa.
"Shasa?!" omel ibunya.
"Emang bener, mah! Dia udah fitnah Shasa!" geram Shasa.
"Apapun masalahnya, gak ada yang boleh pakai kekerasan di sekolah" kata wali kelas.
"Ibu baru ngomong gitu sekarang? Dari kelas hampir 3 tahun Nala di risak, tapi ibu baru ngomong gitu sekarang?" keluh Naomi.
Nala nampak terkejut, tubuhnya gemetar menahan rasa takutnya. Aku sadar, mengapa ia bersikap seperti itu, di sampingnya ada nenek Maryam, Nala sudah berusaha keras menyembunyikan tentang hal tersebut dari neneknya, tapi karena kejadian ini, nenek Maryam harus mengetahui penderitaan cucunya.
Pertemuan hari ini begitu menegangkan, para orang tua tak terima karena kami harus menerima semua ini. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya memang salah kami. Tidak, semuanya salahku. Harusnya aku tak membawa teman-temanku ke dalam masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Teen FictionAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...