Pintu yang terkunci

2.1K 59 8
                                    

"Lukaku tak akan pulih meski dengan perkataan maaf dari dia yang menyebabkan luka, tapi aku bisa memilih untuk menyembuhkan diriku sendiri, dengan memaafkan dan berdamai dengan diriku sendiri"

***

Meski aku merasa marah dan kecewa sepanjang malam, tapi hari ini aku kembali datang menemui Kenzie. Walaupun pada akhirnya dia menolak menemuiku, aku menunggunya membuka pintu kamar. Tapi pintu tersebut tak terbuka. Aku berpamitan pada Joe, dan menitipkan salamku untuk Ken padanya.

Aku datang lagi, tapi pintu tersebut masih belum terbuka untukku. Aku terus datang pada hari-hari berikutnya, namun pintunya masih tertutup rapat.

Joe merasa cemas namun ia masih berusaha menenangkanku, aku yakin Joe juga kesulitan menghadapi situasi saat ini.

"Maaf, Joe. Gara-gara aku keadaannya jadi kayak gini" sesalku.

"Gak, Kay. Lu jangan terlalu khawatir, lu juga harus jaga kesehatan" pesannya.

"Yaudah, kamu jangan lupa makan, aku udah bawain kalian makan malam" pesanku, dengan harap cemas.

Aku menatap pintu kamarnya sekali lagi sebelum meninggalkan rumah tersebut. Aku pergi menemui Nala dengan perasaan sedihku.

"Dia masih belum keluar kamar?" tanyanya.

"Belum" jawabku dengan suara lemah.

"Jangan khawatir, dia bakal cepet nemuin lo" ucap Nala.

"Emangnya aku sesalah itu, ya?" tanyaku dengan murung.

Aku memainkan jari-jariku, hampir melukainya karena perasaan cemas yang berlebih. Lalu Nala menggenggam tanganku, menghentikan tindakkanku.

"Engga, menurut gue dia cuma butuh waktu buat mikir. Ken cukup dewasa buat nanganin masalah kayak gini, gak mungkin dia marah atau kecewa sama lo. Datengnya bu Mauren ke hidup dia dan lo, gua yakin cukup buat bikin kaget, dia cuma butuh waktu buat nentuin langkah dia selanjutnya. Lo juga ngurung diri buat mencerna semuanya, kan? kita semua sama, yang kita butuhin cuma waktu buat berpikir. Gapapa, jangan terlalu khawatir, Kay" paparnya.

Aku menundukkan kepalaku, meski begitu aku masih merasa cemas. Aku tak mengira dia akan benar-benar menjauhiku, ucapan Yenna mulai mengusikku, aku takut Ken benar-benar pergi dari hidupku.

"Lo terlalu nyalahin diri lo sendiri, makanya lo gak bisa ngerti sama tindakkan dia. Kejadian ini, gak cukup buat jadi alasan dia ninggalin lo, tenang aja, dia gak akan pergi" ungkap Nala, seolah bisa mendengar isi hatiku.

Nala memelukku dengan hangat, pelukkannya membuat perasaanku lebih baik.

"Lo yang ngajarin gue buat percaya diri dan berani, gue harap lo juga bisa lebih percaya diri dan berani. Gue tau lo takut, gue juga takut, tapi gue rasa kita udah ngelakuin semuanya dengan baik" bebernya.

"Makasih, Nala" tuturku.

Aku selalu berterima kasih padanya, jika bukan karena kehadirannya, kurasa aku tak mungkin bisa bertahan dan sekuat saat ini. Tentu saja, aku masih belum cukup dewasa untuk menghadapi hidup seorang diri.

Tak ingin menyerah, aku datang lagi. Aku mengetuk pelan pintu kamarnya, tak ingin pulang dengan perasaan kecewa, aku duduk bersandar pada pintu kamarnya, dan menekuk kedua lututku.

"Udah 5 hari, kamu mau terus kayak gini?" tanyaku, tak mendapat balasan, aku segera menghela napas.

"Aku memang gak ngerasain apa yang kamu alamin. 10 tahun memang bukan waktu yang singkat, aku juga gak tau apa aja yang kamu rasain selama itu. Aku penasaran, apa kamu juga nunggu ibu kamu datang, atau kamu memang sebenci itu sampai ga mau ketemu lagi sama dia. Tapi, Ken, bukannya kamu juga penasaran kenapa dia pergi selama ini, seenggaknya kamu harus punya alasan yang jelas kenapa kamu sebenci ini sama bu Mauren. Aku tau, seberapa anehnya perasaan kayak gitu" ungkapku.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang