"Meski membutuhkan banyak waktu, namun kini aku akan berhenti berlari, aku akan menghadapi segalanya"
***
Setelah mempelajari arti dari kata maaf, hari ini mungkin aku akan menemukan arti dari jujur. Seperti jujur pada diri sendiri, aku bisa mulai mempelajari hal tersebut dari hal ini.
Lagipula mengapa aku harus menahan diri atas segala perasaan yang aku miliki. Bukankah hal yang wajah jika aku menangis, ketika semua tak berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan, bukankah aku berhak untuk merasa sedih. Mengapa semua orang berharap aku akan baik-baik saja dan menahan air mataku.
Aku juga bisa menangis, namun dengan segala perasaan yang berbeda. Aku hanya berusaha jujur pada diriku sendiri, aku tak ingin menahan diri dan berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.
Sebelumnya aku tak seperti ini, namun memang benar jika aku terlahir dengan perasaan tersebut. Selayaknya anak kecil yang hanya bisa menangis jika terjadi sesuatu. Namun, aku tak menangis seperti anak kecil yang berusaha menyampaikan kebutuhan dan keluhan mereka pada orang dewasa. Aku hanya menangis untuk melepaskan diriku dari perasaan menyesakkan.
Aku telah mempelajari hal tersebut untuk diriku sendiri, kuharap ada orang lain di luar sana yang juga bisa mempelajari hal berharga ini.
Aku membawakan beberapa menu makan siang untuk Kenzie dan Joe, aku tak berniat untuk berlama-lama berada di sana. Aku memberanikan diriku dan memberikan secarik kertas kepada Kenzie.
Dia menerimanya dengan raut wajah bingung, lalu segera bertanya padaku mengenai maksud dari apa yang tertulis di dalam kertas tersebut.
"Ini apa?" tanyanya dengan wajah polos.
"Kamu bisa datang ke sana. Siapa tau kamu bisa dapet sesuatu tentang bu Mauren dari tempat itu" ungkapku.
Kenzie tak mengatakan apapun lagi, dia hanya tersenyum pahit dengan rasa sakit yang ia sampaikan padaku. Aku menolak tawarannya untuk mengantarku pulang, alih-alih aku memintanya untuk datang ke alamat yang kuberikan padanya secepatnya.
Aku kembali ke rumah dengan harapan Kenzie akan mengikuti petunjukku dan datang ke rumah sakit jiwa tersebut. Dia akan mendapatkan jawaban dari hilangnya ibu Mauren selama 10 tahun ini dari hidupnya.
Walaupun aku tahu bahwa kenyataan akan kembali menyakiti Kenzie, namun hanya ini satu-satunya cara agar ia bisa meluruskan kesalahan pahaman dalam keluarganya. Aku akan berada di sisinya, aku akan menggenggam tangannya ketika dia merasakan penderitaan itu lagi, aku akan bertanggung jawab.
Setelah berpisah dengannya hari itu, aku belum mendengar kabar darinya lagi. Aku bisa mengetahui bahwa akhirnya Kenzie memutuskan untuk mendatangi rumah sakit tersebut. Tapi yang kucemaskan adalah tentang keberaadaannya saat ini. Joe mengabari bahwa sejak malam Kenzie belum kembali ke tempatnya, kudengar lagi ternyata Kenzie kembali ke rumah keluarganya.
Kami menebak-nebak tentang apa yang dirinya lakukan di tempat tersebut, padahal selama ini dia telah bersusah payah menghindar dan lari dari keluarganya tersebut. Semoga tak akan terjadi hal yang lebih buruk dari ini.
Lama menanti, akhirnya Kenzie menghubungiku. Aku bergegas ke tempatnya, suaranya bergetar ketika ia mengatakan bahwa dia telah mengetahui semuanya. Ia nampak begitu menderita dan sedih, aku berlari sekencang mungkin untuk meraihnya.
Ketika aku sampai, mata kami segera bertemu, matanya yang pilu dan mataku yang berkaca. Dia ada di seberang jalan sana, ketika lampu jalanan berubah, aku dan pejalan kaki lainnya melintasi penyeberang jalan.
Ketika sudah saling berhadapan, dia tersenyum kepadaku, namun hatiku terenyuh karena bisa merasakan rasa sakitnya. Aku Melangkah ke arahnya, tubuhnya membeku ketika aku memeluknya dengan erat. Benar saja tubuhnya memang gemetar, Kenzie pasti begitu terguncang dengan apa yang telah ia ketahui saat ini.
"Ibuku... Ibu ada di rumah sakit jiwa selama 7 tahun, dia gak pergi demi uang, dia bukan pergi karena kemauannya..." sesal Kenzie.
Aku menghela napas pelan, aku tak tahan melihat air matanya, aku merasa menyesal begitu mendengar Kenzie mengeluhkan semua hal itu. Aku bisa tahu seberapa besar penyesalan dan rasa kecewanya, sesakit apa dirinya mengetahui bahwa selama ini keluarganya telah menutupi hal ini dari dirinya.
Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan, setelah dirinya mulai tenang, kami pergi dari tempat ini mencari tempat yang lebih nyaman.
Kami duduk di pasir putih, menghadap ke arah laut. Cahaya dari lampu gedung-gedung di kota malam ini terlihat begitu terang, langit juga terlihat cerah, dengan bulan besar melengkapi langit gelap.
Suasananya begitu hening, yang bisa kudengar hanyalah deburan ombak di tepi pantai dan desiran angin malam. Aku menoleh ke samping, Kenzie terlihat murung, kurasa dia masih memerlukan sedikit waktu untuk mengatur perasaannya.
Aku segera menoleh ketika Kenzie mengatakan sebuah kalimat pertamanya.
"Kamu udah tau soal rumah sakit itu?" tanyanya.
Kenzie menatapku dengan yakin dan tegas, matanya bergetar, ia dengan serius menunggu jawabanku.
Aku sedikit menggangguk dan menjawab pertanyaannya dengan baik. "Aku tau" jawabku dengan tegar.
Ia hanya diam, tapi mendengarkan dengan saksama. Dia tampak tak terkejut.
"Gimana kamu bisa ketemu ibu aku?" tanyanya, nampak bahwa dirinya benar-benar penasaran dan menanti jawaban pasti dariku.
"Aku pertama ketemu bu Mauren di Bandung, beberapa kali aku beli bunga dari tokonya. Aku masih ketemu bu Mauren, bahkan di Jakarta, aku pergi ke toko buat ngambil bunga pesananku, di hari ulang tahun kamu. Tiba-tiba ibu tiri kamu ada di sana, kalau aja bukan karena dia, aku mungkin gak akan sadar kalau bu Mauren itu ibu kandung kamu" ungkapku, menjelaskan semua kejadian yang telah terjadi sampai saat ini.
Aku juga menjelaskan dari mana aku mengetahui tentang rumah sakit jiwa tersebut, aku mengatakan semuanya, bahkan memberitahu alamat tempat tinggal bu Mauren saat ini padanya.
"Untungnya ada bu Rose, beliau yang udah ngurus dan nemenin bu Mauren selama 3 tahun terakhir ini" ungkapku.
Kenzie mentapku dengan sendu kemudian mengalihkan pandangannya dan tertunduk, kuyakin saat ini dirinya tengah menyesali semua hal yang terjadi. Akupun bisa mengerti, meski aku tak akan bisa benar-benar merasakaan apa yang mereka alami, tapi aku tahu seburuk apa perasaan itu.
"Aku bisa nemenin kamu nemuin bu Mauren, gapapa..." ucapku, mencoba meyakinkannya.
Suhu tubuhnya terasa dingin, kegelisahan dan rasa cemasnya mungkin menyebabkan keadaan tersebut. Aku mengenggam tangannya, menyebarkan kehangatan dari jari-jari tanganku.
Aku belum sempat menanyakan apa yang telah terjadi di antara dirinya dan keluarganya, aku belum menemukan waktu yang tepat untuk hal itu. Namun, yang terpenting saat ini adalah bagaimana aku bisa membuatnya merasa lebih baik, semuanya belum berakhir, aku masih harus menunggu sampai keduanya bertemu lagi. Sampai hari itu tiba, aku akan tetap berada di sisi Kenzie dan menenangkannya.
Aku rasa masih terlalu sulit bagi dirinya untuk membuka hati dan mengalahkan ego besarnya. Meski aku tahu jelas bahwa dia telah begitu merindukan ibu kandungnya, meski aku tahu seberapa besar harapannya untuk kembali bertemu dengan ibu Mauren. Namun, aku tak cukup pantas untuk menyelanya dan memaksa kehendaknya untuk segera melakukan apa yang harus ia lakukan.
Kurasa semuanya masih memerlukan sedikit waktu, ketika dia sudah yakin dan siap, aku yakin mereka akan dapat bertemu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Roman pour AdolescentsAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...