" Akhirnya aku melepaskan dan terluka "
***
Tak seperti apa yang aku pikirkan, sepertinya kehidupanku dan Kenzie cukup jauh berbeda, seakan dunia kami tak benar-benar sama. Karena kejadian kemarin malam, aku di buat sadar bahwa mungkin saja aku dan Kenzie memang tak di takdirkan bersama.
Mana mungkin aku berani menentang apa yang keluarganya larang, kami bahkan belum mengenal begitu lama. Aku sadar, selama ini aku hanya menceritakan kisah hidupku pada Kenzie tanpa pernah sekalipun mendengar kisahnya.
Sepertinya aku memang harus melangkah mundur, menjauhinya, menghindari dunianya.
Nala duduk di sampingku, memandangiku yang nampak murung di matanya. Aku tak mampu menceritakan kejadian malam itu pada Nala, jujur saja aku sangat malu sampai rasanya ingin menghilang dari hadapan semua orang.
Semalam aku datang ke makan malam keluarganya dengan seragam sekolah, di mata mereka aku pasti nampak sangat kekanakan dan memalukan. Aku begitu marah, Yenna pasti dengan sengaja membuatku datang ke tempat itu, ia ingin menunjukkan padaku, bahwa Kenzie adalah miliknya. Meski begitu, melihat Yenna yang tampil anggun dengan gaunnya, sepatu berhak tinggi dan dandanan wajah yang cantik, aku iri dengan semua yang ada pada dirinya malam itu.
"Lo kenapa sih? Kay?!" tegur Nala.
"Hm?" gumamku.
"Daritadi melamun mulu, lo lagi ada masalah?" tanyanya.
"Mmm...gak" jawabku.
Aku menghela napas berat, tak bisa melupakan perasaan kecewaku karena kejadian kemarin.
Sejak kejadian kemarin, Kenzie masih belum menghubungiku kembali. Sebenarnya aku cemas, jika saja keluarganya menekan Kenzie atas kejadian tersebut.
Jika memang seperti itu, mungkin saja saat ini Kenzie tengah kesulitan seorang diri, menanggung apa yang telah dia perbuat di hadapan keluarganya. Aku lebih merasa bersalah padanya, aku bahkan tak bisa melakukan apapun saat ini untuk bisa membantunya.
Akhir pekan ini aku pergi menuju toko buku bersama dengan Nala, tak munafik aku datang dengan harapan bisa menemui Kenzie di tempat ini. Berhari-hari tanpa kabar, membuatku cemas dan merindukannya. Aku tak ingin berpisah seperti ini, setidaknya aku ingin melihat bahwa dirinya baik-baik saja.
Aku memandang kosong ke arah tempat yang biasa aku dan Kenzie duduki bersama, dengan bayangan dirinya yang berada di kursi tersebut. Bayangannya menghampiriku, terasa begitu nyata seolah ia memang benar ada di hadapanku.
"Kay... kok lo diem aja? itu Kenzie kan" tegur Nala, sembari menyikut lenganku.
Nala menyadarkanku bahwa sosok yang aku lihat bukan hanya sekedar bayanganku, Kenzie benar ada di hadapanku saat ini.
Aku tersentak dan tak bisa berkata apapun, lidahku terasa kelu tak bisa mengucapkan apapun padahal begitu banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya.
Kami hanya saling menatap canggung, begitu senyap membuat suasana terasa dingin.
"Kamu gapapa?" tanyaku, membuka pembicaraan setelah saling diam setelah beberapa waktu.
"Maaf soal kemarin" sesalnya, sembari menunjukkan raut wajah murungnya.
Entah apa hanya perasaanku, Kenzie tampak lebih kurus, ia tak secerah seperti sebelumnya. Pasti dia melewati banyak hal sulit belakang ini, jika itu karena diriku, aku akan sangat menyalahkan diriku untuk waktu yang lama.
Kami pergi menuju sebuah kafe agar bisa berbincang dengan lebih leluasa, setelah mengenalkan Nala pada Kenzie, aku dan Kenzie mulai membahas masalah kemarin dengan lebih serius.
"Gue gapapa ada di sini?" tanya Nala, ia nampak canggung dengan keadaan di antara kami.
"Gapapa, kita juga gak akan lama" balasku.
Kenzie menunjukkan wajah terkejutnya, aku sengaja mengatakan hal tersebut, aku sudah menentukan keputusanku.
"Aku rasa kita gak perlu ketemu lagi, gak ada lagi yang perlu kita omongin..." lontarku, sembari menahan rasa sedih.
Aku bahkan tak berani menatap mata Kenzie, melihat wajah bingungnya membuatku merasa lebih berat untuk mengambil keputusan ini. Aku tak ingin menjadi lemah, aku tak mungkin menarik ucapanku saat ini.
"Iya" balasnya, dengan singkat.
Dadaku terasa nyeri, Kenzie menyetujui ucapanku begitu saja. Setidaknya, ia seharusnya menanyakan alasannya. Padahal aku sendiri yang mengatakan hal tersebut, namun aku juga yang terluka.
Aku bangkit dari kursiku, menarik Nala keluar dari kafe tersebut, aku berjalan dengan langkah seribu mencoba menjauh dari tempat tersebut.
Kenzie bahkan tak menahanku, mungkin dariawal dia memang hanya bermain-main denganku, tepat seperti apa yang Yenna katakan malam itu.
Aku begitu kecewa, aku merasa bahwa diriku amat memalukan. Bahkan Nala menyaksikan hal tersebut, aku benar-benar ingin menghilang, sungguh.
"Kay..." panggil Nala, dengan suara lirih.
"Aku gapapa! yang tadi, bukan apa-apa" ujarku, mencoba meyakinkan Nala.
Meski aku telah tersenyum lebar, Nala tetap menatapku dengan sorot mata sendu. Aku tak ingin lagi berpura-pura di hadapannya, aku menghela napas berat menahan air mataku agar tak jatuh, akan lebih sulit untuk menghentikannya. Nala memelukku erat, menepuk pundakku beberapa kali, perbuatannya sedikit menenangkanku.
"Lo mau gue hajar dia?" tanyanya mencoba menghiburku.
Aku mengangguk pelan, meski tak benar-benar ingin Nala melakukan hal tersebut pada Kenzie.
"Bakal sakit buat beberapa waktu, tapi gue bakal ada di sisi lo jadi lo bisa bagi rasa sakit lo sama gue. Lo juga ngelakuin hal yang sama buat gue, sekarang gue baik-baik aja berkat lo" ungkapnya denga nsenyum tulus.
"Aku bahkan gak nyeritain hal ini ke kamu, makasih udah coba ngertiin keadaan sekarang" ungkapku.
Kali ini, Nala berjalan bersamaku sampai ke depan rumah. Begitu berpisah dengan Nala, aku pergi ke taman, meluapkan kesedihanku. Aku menangis sejadi-jadinya, lagi... aku kehilangan seseorang yang berharga.
Aku melepaskan apa yang harusnya aku lepaskan, semakin aku menangis dengan keras semakin sulit aku berhenti.
Begitu aku tersadar ada Kin yang berdiri di hadapanku, ia menghela napas berat melihat diriku yang kembali menangis.
"Ayo, pulang" ajaknya.
Setelah mebersihkan diri, Kin memintaku untuk datang ke kamar tidurnya. Aku duduk di kursi komputernya, Kin duduk menghadapku seolah siap menanyakan banyak hal padaku.
"Maaf" ucapnya, membuatku kebingungan dengan pernyataan maafnya yang tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku.
"Harusnya dari awal gua lebih peduli sama lu" ungkapnya.
Tak lama setelah itu, kak Ray memasuki kamar tidur Kin. Keduanya kini duduk di hadapanku, mengatakan banyak hal yang akhirnya membuatku terkejut.
Kak Ray dan Kin telah mengenal Kenzie dari lama, merekapun mengetahui tentang rencana pertunangan Kenzie dan Yenna.
Kini aku mengerti mengapa saat itu Kin mencibirku saat Kenzie mengantar pulang, aku mengerti mengapa saat itu kak Ray memintaku untuk menjauhi Kenzie. Seandainya saat itu aku mengikuti perkataan keduanya, mungkin sekarang aku tak akan terluka seperti ini.
"Makanya, karena kamu tanggung jawab kita, mulai sekarang aku harap kamu bisa lebih terbuka sama kita, gak perlu ngerasa segan, kan memang itu artinya keluarga" ungkap kak Ray.
Hatiku tersentuh mendengar ucapannya, aku tak pernah tahu bahwa mereka begitu mempedulikanku sampai seperti ini.
Tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk membalas setiap kebaikan yang telah keluarga ini lakukan untukku. Aku kembali tersadar, bahwa aku tak benar-benar sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Novela JuvenilAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...