" Biarkan setiap rasa sakit itu menemani hari-hari saat ini, semua pasti akan berakhir, dan pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja "
***
Aku pergi menghindari semua orang yang ku kenal, hanya ada satu tempat yang aku tahu. Aku duduk sembari membaca buku di hadapanku, namun aku bahkan tak bisa fokus pada tulisan yang ada di dalamnya. Pandanganku kabur, setiap tetesan air mata jatuh membasahi halaman buku yang ku baca.
Aku kemudian mendengar helaan napas dari orang yang berdiri di sampingku, ia memberikan selembar tisu padaku.
"Basah kan bukunya" keluhnya.
"Biarin, udah aku beli kok" balasku.
"Tetep harus di hargai dong" ujarnya.
Aku menatapnya dengan tajam, dengan mata yang masih berair. Bukannya menghiburku, dia malah lebih memedulikan buku di hadapannya.
"Iya! aku lebih peduli sama buku" ujarnya.
"Kok kamu ada di sini, sekarang kan bukan hari sabtu" ucapku.
"Gak tau, tiba-tiba rasanya pengen aja ke sini, kebetulan ada kamu" ungkapnya.
Aku menghela napas berat, sembari menyeka air mataku.
"Gapapa?" tanyanya.
"Menurut kamu, egois gak, kalo misalnya kita marah karena orang yang paling kita sayang ngelakuin sesuatu demi kebahagiaan nya sendiri?" tanyaku.
"Kamu gak bahagia liat dia bahagia?" tanyanya kembali.
"Enggak" jawabku, langsung.
"Kenapa gak bahagia?" tanyanya lagi.
"Ya, engga lah! mana bisa..." balasku.
"Kalo kamu sayang sama orang lain, kamu harus siap kalo suatu saat nanti hati kamu bakal sakit, itu namanya pengorbanan, kamu juga harus rela kalo suatu saat kamu harus kehilangan orang itu, itu namanya mengikhlaskan" jelasnya.
Aku menghelah napas berat, entahlah hatiku masih tak bisa ikhlas, tapi mendengar ucapan Kenzie sepertinya aku bisa sedikit mengerti, mungkin ayahku punya alasan kenapa dia harus membuat keputusan seperti ini, dan siap atau tidak aku harus menerimanya, aku tak bisa terus larut dalam kesedihan.
Setelah merasa tenang, Kenzie berinisiatif untuk mengantarku pulang, di depan rumah terlihat Kin yang tengah mencuci motor miliknya.
"Makasih, Ken" ucapku begitu tiba di depan rumah.
Kenzie membunyikan klakson motornya dan menyapa Kin yang tengah memperhatikan kami.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah.
"Hebat ya, lagi sedih jalan sama cowo orang" cibir Kin.
Aku menghentikan langkahku dan menatap ke arah Kin.
Aku tak ingin begitu menanggapi cibiran Kin, namun lagi-lagi dia nampak meremehkanku.
"Aku gak tau kenapa kamu sekasar ini, tapi buat kali ini, tolong jangan ngomong apapun" ujarku.
Bukannya menjawab ucapanku Kin malah senyum menyeringai, lalu ia berjalan mengambil selang air dan dengan sengajanya ia mengarahkan airnya ke sepatuku.
"Kin basah!" geramku, sembari menghindar dari air yang dia siram padaku.
Dengan perasaan kesal aku membalas perbuatannya dan menyiramnya sampai tubuh dan pakaiannya basah kuyup, dan yang lebih menyebalkannya dia membalas perbuatanku.
Pada akhirnya kami berdua sama-sama basah kuyup lalu hal tersebut di ketahui oleh kak Ray, tanpa sengaja atau tidak Kin salah mengenai sasaran, kak Ray ikut basah dan lucunya kami malah bermain air di halaman rumah.
Malamnya, aku, Kin dan kak Ray makan malam bersama. Mataku terus tertuju pada Kin, sebab tadi sore saat kami bertiga saling siram menyiram Kin terlihat begitu bahagia dia tertawa dan jauh dari kesan Kin yang dingin dan menyebalkan.
"Kak Ray" panggilku.
Namun, Kin dan kak Ray keduanya menoleh ke arahku secara bersamaan.
"Lusa kita jadi ke Jepang kan?" tanyaku.
"Jepang? kamu serius?" tanyanya.
Kak Ray penasaran dan terlihat terkejut mendengar ucapanku, aku tersenyum ke arahnya, terlihat juga Kin yang tersenyum merespon ucapanku. Setelah mengatakan hal ini aku merasa lebih lega sebab kak Ray tak khawatir lagi dan Kin bisa tersenyum.
Ku pikir, memang benar apa kata Kenzie barusan. Terkadang jika kita mencintai seseorang, kebahagiaan orang tersebut jauh lebih berharga dari pada kebahagiaan kita sendiri, tak peduli seberapa sakit yang akan kita terima yang terpenting adalah mengetahui bahwa orang yang kita sayang bisa mendapatkan kebahagiaannya.
Setelah hari-hari sulit sekarang aku tiba pada hari dimana aku harus menahan rasa sakitku, malam ini aku tiba di Jepang dan bertemu dengan laki-laki yang sangat aku rindukan, orang yang paling aku hormati. Di hadapannya aku selalu memberikan senyum terbaikku, bertingkah seakan aku pun ikut bahagia, malam itu aku memeluknya erat dan pada akhirnya aku tak bisa lagi menahan air mataku, malam berlalu dengan penuh kesedihan.
"Maafin papa, Kayla harus tau papa ngelakuin ini juga demi Kayla dan Kyra" ucap papaku.
Benarkah demi aku, bukankah hanya karena ayah mencintai wanita itu, karena ayah ingin bersama dengan wanita itu. Aku menahan perasaanku sebaik mungkin, meski dalam hati aku terus mengeluh dan menyangkal semua ucapan yang ayahku katakan.
Tolong, aku tak ingin terus seperti ini. Aku benar-benar ingin mempercayai ayahku namun aku hanya terus menyalahkan keadaan.
Aku memang merasa sangat kecewa, tapi rasa sayangku padanya lebih besar di banding kekecewaanku saat ini, mungkin memang sudah saatnya aku harus berhenti egois dan belajar menerima setiap keputusan dan menjalani setiap kenyataan.
Malam pun berlalu, pagi ini di hari yang cerah ini ayahku akan melangsungkan pernikahannya. Aku dan keluarga tiba lebih dulu di tempat resepsi dan kami bersiap untuk menunggu kedua orang yang sedang berbahagia hari ini.
Namun, tiba tiba terdengar kabar tak baik, lagi-lagi tentang ayahku, aku mencoba tenang mendengar penjelasan yang orang dewasa berikan, tapi hatiku terlanjur hancur saat tahu ternyata mobil yang ayahku tumpangi mengalami kecelakaan.
Dengan perasaan yang benar-benar hancur aku bergegas menuju rumah sakit, aku dan yang lainnya menunggu sampai operasi selesai, rasa khawatir tak dapat ku kendalikan, sampai pada akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa ayahku tak lagi dapat di selamatkan. Air mataku tak tertahankan lagi, hatiku begitu sakit menerima kenyataan ini.
Kenapa seperti ini, padahal aku sudah mencoba sabar dan ikhlas saat ayahku harus menikah dengan wanita lain setelah ibu, tapi jika ia memang harus benar-benar pergi dan meninggalkan dunia ini aku harus bagaimana, aku tak sanggup menerima kenyataan ini.
Ya Tuhan, kenapa harus ayahku juga yang Engkau ambil dariku, kecewaku bertambah, aku kecewa pada diriku sendiri, aku menyalahkan diriku atas semua hal ini, aku tak rela ayahku pergi dengan wanita lain, tapi kini Tuhan mengganti ketetapan nya, kini ayahku harus kembali menuju-Nya.
Hari ini, pada detik ini hatiku telah hancur sehancur-hancurnya, aku benci diriku aku benci keadaan ini. Lalu untuk apa aku hidup jika semua orang yang aku cinta harus pergi meninggalkan diriku sendirian di sini.
Semua ini terjadi begitu cepat bagiku, bahkan aku belum sempat menghabiskan waktu bersama ayahku, walau ini bukan pertama kalinya aku kehilangan orang yang paling ku cinta, saat ibuku meninggal waktu itu pun sama, bahkan sampai sekarang aku belum bisa menerima kenyataan itu, tapi sekarang aku harus menerima kenyataan pahit lagi bahwa kini kedua orang tua ku telah pergi ke sisi Tuhan Yang Maha Esa.
Dadaku begitu sesak, sesekali aku juga merasakan sakit pada jantungku. Aku tak lagi bisa berpikir jernih, hatiku terlalu sakit, aku tak lagi peduli tentang apapun, aku tak lagi sadar kapan dan di mana aku bisa mulai menangis lagi.
Harusnya hari itu aku mengatakan bahwa aku mempercayai ayahku, harusnya aku mengatakan bahwa aku benar-benar menyayanginya. Harusnya aku mengatakan bahwa aku bahagia karena terlahir sebagai putrinya.
Kayla, harusnya kamu mengatakan itu semua alih-alih terus mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Fiksi RemajaAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...