Perlu ada penyesalan, agar semuanya bisa di perbaiki

1.8K 47 3
                                    

" Terima kasih karena telah mengatakan bahwa aku bukanlah orang yang buruk "

***

Enggan kembali ke rumah, aku pergi mengunjungi makam mendiang kedua orang tuaku, sembari berdoa agar keduanya selalu di beri keselamatan dan ketenangan di alam sana. Aku memohon maaf kepada Ibu dan Ayahku atas semua kesalahan yang telah terjadi saat ini, aku tak ingin terlalu merasa hilang arah. Aku berdiam diri di samping makam keduanya, kuharap orang tuaku tak akan merasa sedih karena harus melihatku seperti saat ini.

Bagaimana hubunganku dan kak Kyra jadi berantakan seperti ini, selama ini ia tak pernah membentak ataupun bicara kasar padaku seperti saat tadi. Mungkinkah perbuatanku telah banyak menyakitinya, separah apa sehingga dirinya mampu semurka itu.

Sebelum matahari terbenam aku segera kembali ke rumah, menatap tampak depan rumah kami saja mampu membuatku merasa begitu bersalah. Aku berjalan memasuki rumah yang tampak gelap, semua aliran listrik di sekitar rumahku tiba-tiba mati sejak sore tadi.

"Bi, udah dari tadi matinya?" tanyaku kepada seorang wanita yang bekerja di rumahku.

"Iya, Neng. Dari ashar udah mati, oiya neng di dalem ada si Aa" ungkapnya.

Siapa, bi?" tanyaku bingung.

Tak ingin lebih penasaran, aku segera memasuki ruang tengah untuk menemui orang yang di sebutkan bibi barusan. Di hadapanku, aku melihat Kin duduk di sofa di dalam tengah gelap menatapku dengan sendu.

"Kin?" ucapku.

"Kemana aja sih?" omelnya segera menghampiriku.

Mungkinkah Kin datang ke rumah ini karena mendengar percakapanku dengan kak Kyra tadi siang, lalu tatapannya barusan, ia terlihat mengasihaniku. Aku cukup canggung berhadapan lagi dengannya, Kin tak seharusnya mendengar dan mengetahui kejadian seperti tadi.

Orang-orang yang bekerja di rumah telah kembali ke tempat mereka begitu listrik kembali menyala, malam ini Kin akan tinggal di rumah bersamaku. Ia tak menanyakan banyak hal, bahkan tak menyinggung kejadian tadi siang yang ia dengar dari balik telepon.

"Laper nih" keluhnya.

Aku kebingungan mendengarnya kelaparan, bibi sudah tak ada di sini, aku juga tak membeli makan malam karena tak berselera makan. Meski begitu aku tetap pergi ke dapur untuk memeriksa bahan apa saja yang ada di sana.

Tak ada bahan apapun di dapur, aku belum sempat berbelanja bahan dapur. Juga, bibi tersebut hanyalah bertugas menjaga rumah selama tempat ini kosong, jadi beliau tak menyiapkan makanan apapun untukku.

"Kin suka mie instan, kan?" tanyaku dengan perasaan bersalah.

Ia memiringkan kepalanya, dengan raut wajah tak pedulinya. Aku lega melihatnya tak masalah dengan makanan apapun.

"Mie instan di sini enak banget kok, gak kalah sama makanan lainnya" celotehku, sembari mengisi air dalam peranti masak.

"Apa bedanya itu mie di Jakarta, Bandung sama London?!" gerutunya.

"Beda! beda kok, Kin" sahutku dengan senyum meyakinkan.

Tak memakan waktu yang lama, kami bisa segera menyantap mie tersebut.

"Makan, Kin. Mumpung masih panas" ucapku.

"Ah! panas" rintihku, pelan. Kuah panasnya membakar lidahku begitu aku baru saja menyendok mie tersebut ke dalam mulutku.

"Makhan, Khin. Mumphung masi phanas" ledeknya, mengulang ucapanku. Wajah sinis dan seringainya selalu menjadi ciri khas dirinya yang menyebalkan.

"Cih" sewotku.

"Nih, minum. Pelen-pelen makanya, sabar" tegurnya.

Selesai dengan makan malam tersebut, aku dan Kin pergi ke kamar tidur kami masing-masing. Satu dua jam berlalu, malam semakin sunyi hanya suara detik jam yang bisa kudengar, aku berbaring di tempat tidur tapi tak juga bisa terlelap, aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Berkali-kali ku periksa ponselku, kak Kyra benar-benar tak menghubungiku

Berkali-kali aku menghelah napas berat. Bagaimana bisa keadaanya menjadi seperti ini, semakin buruk dan semakin menyesakan dada. Aku takut kehilangan lebih banyak orang, aku takut sendirian lagi.

Tanpa di sadari kini matahari sudah menyapa, di pagi hari aku bisa mendengar kicauan burung yang hinggap di ranting pohon depan jendela kamarku, setiap pagi sinar matahari selalu menyambutku hangat, menembus melewati kaca jendela kamarku yang ada di lantai 2. Rumah ini memiliki halaman dan taman yang cukup luas, masih hijau dan di penuhi dengan bunga serta tanaman lainnya, ada pula kolam ikan yang indah kesukaan Ayahku.

Aku mandi dan bergegas pergi berbelanja agar bisa membuat sarapan untuk Kin. Kemarin, saat tengah menjelajah dapur, tanpa sengaja aku menemukan buku resep yang di tulis oleh Ibuku, aku mencoba memperlajarinya dengan perlahan. Hari ini aku hendak membuat pancakes, dengan madu, butter dan tambahan sirup maple dan pecan.

Tak begitu sulit, aku hanya harus mengikuti semua langkah yang sudah di tulis oleh Ibuku. Kin duduk di meja makan, menanti pancakes yang sedang ku siapkan.

"Ini yakin bisa di makan?" tanyanya, meledek.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku segera melahap sepotong pancakes tersebut . Membuatnya segera melahap habis pancakes di piringnya.

Setelah perut kami terisi, aku membawakan secangkir wedang jahe susu untuk Kin di teras halaman depan. Awalnya kami dengan tenang menghangatkan tubuh dengan minuman tesebut sembari memandang halaman yang rindang dan sejuk, begitu hening dan tenang untuk kami.

"Kamu dengerkan percakapan aku sama kak Kyra kemarin?" ungkitku.

"Heum" jawabnya dengan perasaan bersalah.

"Gapapa, Kin. Kamu gak perlu kasihan sama aku, kak Kyra gak salah ngomong kayak gitu, aku pantes dapet itu semua" ucapku, sembari menundukkan kepala, menatap isi dalam cangkir yang ku genggam.

"Gua gak kasihanin lu" sahutnya.

Aku menatap wajah Kin dari samping, dengan hening aku mencoba memahami maksudnya.

"Jangan terlalu nyalahin diri lu sendiri, soal pekerjaan mama, itu juga bukan salah lu" ucapnya, membuatku tercengang.

"Gimana kamu tau?" tanyaku.

"Kak Ray yang bilang, dia dateng ke rumah sakit terus gak sengaja denger soal masalah itu. Lu tau, kadang orang dewasa bisa lebih kejam, jadi apapun yang terjadi itu bukan sepenuhnya salah lu, salah orang-orang itu yang udah ngelakuin sesuatu sesuka mereka" ungkap Kin.

Seandainya memang seperti itu, seandainya jika semuanya memang bukan sepenuhnya karena kesalahanku. Maka aku tak akan merasa seburuk ini, namun kini aku merasa jauh lebih buruk ketika aku sadar bahkan kakakku sendiri tak ingin mempercayaiku.

"Kalo aja aku gak mulai hubungan itu, semuanyanya gak akan jadi seburuk ini Kin" ucapku.

"Bukan salah lu, suka sama orang itu. Bukan salah perasaan lu kalo lu suka sama dia" ucapnya.

Benar, memang bukan salah siapapun. Hanya saja, waktu dan keadaannya yang tak tepat untuk kami.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang