Memulai hal baru, bersama yang lama

2K 48 0
                                    

"Menakjubkan, bagaimana perasaan bisa berubah dengan mudah namun ternyata tak pernah benar-benar berubah sepenuhnya"

***

Perasaan aneh yang muncul ketika turun hujan, masih sulit untuk aku artikan. Seperti saat ini, ketika aku berdiri berhadapan dengan seseorang dengan kesan membekas. Aku berpapasan dengan Ibu Mauren, pemilik toko bunga yang pernah sekali kukunjungi di kota Bandung.

Beliau yang terlebih dahulu menyapaku dengan ramah, aku dengan senang hati membalas sapaannya. Kami duduk dengan dua gelas minuman di meja yang sama, sesekali aku menatap ke luar jendela besar di dalam toko, hujan masih begitu deras.

"Gak sangka bisa ketemu Ibu Mauren di sini" ungkapku dengan senyum lebar.

Beliau menatapku dengan tulus, dengan senyum lembut di bibirnya.

"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanya beliau.

"Iya, bu Mauren" jawabku.

"Saya seneng bisa ketemu kamu lagi" ungkapnya.

"Saya juga, oh ... tante sama teman-teman saya suka banget sama lilin aroma dari toko bu Mauren" lontarku.

"Oh, ya? kalo gitu biar saya kirim buat kamu sama teman-teman kamu!" sahutnya dengan antusias.

"Makasih banyak, bu Mauren!" balasku.

"Kamu riang sekali" gumamnya sembari menatapku dengan tatapan ramah.

Aku kembali menatap risau ke luar jendela, hujan masih begitu deras membuatku merasa cemas.

"Kenapa? kamu harus ke tempat lain?" tanyanya, menyadari gerak-gerikku.

"Enggak, bu. Saya nunggu teman saya, tapi di luar masih deras hujannya, saya khawatir dia kejebak hujan, katanya dia naik bus" tandasku.

"Teman kamu laki - laki?" tanyanya dengan ragu.

"Iya, bu?" ucapku, aku mendengar suaranya samar-samar sehingga bertanya untuk memastikan kembali ucapannya.

"Oh, enggak" balasnya.

"Ibu juga tinggal di Jakarta?" tanyaku.

"Enggak, saya tinggal di Bandung. Saya ... cuma datang untuk lihat anak saya" ungkapnya.

"Oh ... ibu abis ketemu anak ibu, ya" ucapku.

"Enggak, saya gak pernah ketemu anak saya sejak dia kecil. Saya cuma lihat dari jauh" ungkapnya dengan raut wajah sedih.

Aku tersentak, tak menyangka akan mendengar hal seperti itu dari Ibu Mauren. Beliau terlalu luar biasa bagiku, aku tak tahu jika ia mengalami hal seperti ini juga.

"Maaf, saya jadi bikin kamu gak nyaman, ya" sesalnya.

"Gak kok, bu. Orang tua saya juga udah gak ada, saya ngerti gimana rasanya rindu sama seseorang yang berharga kayak anak Ibu" ungkapku, di ikuti senyum tipis.

"Lalu kamu tinggal sama siapa?" tanya beliau.

"Sama tante saya" jawabku dengan senyum riang.

Tak lama dari itu, dari tempatku aku bisa melihat keluar di sana Kenzie tengah berlari menuju ke tempat ini. Aku tersenyum lebar, sembari mengangkat tanganku agar dirinya bisa melihatku di dalam Kafe.

"Eum ... saya masih ada urusan, lain kali kita ketemu lagi, ya, Kayla" ucap ibu Mauren, terburu-buru meninggalkan kafe.

Aku kebingungan menunjukkan reaksiku, beliau begitu tergesa-gesa meninggalkan kafe, padahal aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan dengannya.

"Kay!" panggil Kenzie.

Aku tersenyum menyambutnya datang, lalu Kenzie duduk di hadapanku.

"Tadi kamu sama orang lain?" tanyanya, begitu menyadari ada satu buah gelas minuman di atas meja.

"Iya, tapi tiba-tiba pergi, kayaknya buru-buru banget" jawabku.

Kami melupakan hal tersebut, dan mulai membicarakan hal lain yang harus kami bahas.

"Kamu masih tinggal di rumah temen kamu itu?" tanyaku.

"Heum ... lagian dia juga tinggal sendiri" jawabnya sembari menatapku.

Ada banyak yang ingin aku katakan padanya, namun aku risau jika aku akan mengatakan sesuatu yang salah padanya. Kini kondisi Kenzie terlalu rumit dan sulit, aku ingin mengatakan kata-kata yang bisa membuatnya tenang.

Aku ingin memintanya untuk pulang, kembali pada keluarganya namun di balik itu aku tak tahu apa yang terjadi padanya, aku tak tahu bagaimana perasaannya. Pasti ada alasan penting mengapa dirinya sampai keluar dan meninggalkan rumah juga keluarganya.

"Kita... jangan pendem semuanya sendiri, gimana kalo kita mulai buat lebih terbuka buat satu sama lain?" ucapnya, lalu menatapku dengan tatapan tulusnya.

Deg! jantungku kembali berdebar.

"Maksud kamu?" tanyaku, memastikan maksud dari perkataannya.

"Kamu tau, selama ini kita selalu nyimpen masalah kita masing-masing. Aku tau kamu selalu berusaha buat nutupin banyak hal, karena kamu gak mau aku khawatir atau terbebani. Aku juga ngelakuin hal yang sama, tapi ayo kita jangan ngelakuin hal kayak gitu lagi. Kita bisa lebih terbuka, kita hadapin semuanya bareng-bareng" ucapnya, dengan sorot mata berbinar.

"Iya, kita lakuin kayak gitu" jawabku, setelah hening untuk beberapa saat.

Kami saling melempar senyuman, menertawakan dalam hati hubungan kami yang cukup pantas untuk di tertawakan. Terlihat kekanakan, jika hanya di lihat dengan sebelah mata. Aku maupun Kenzie, mendapatkan banyak kesulitan karena hubungan kami, entah makna dari semua ini, yang pasti begitu banyak pelajaran yang bisa aku dapat dari hal ini.

Hari itu akhirnya Kenzie yang pertama memulai semuanya, dia memberitahuku banyak hal tentang dirinya. Dia keluar dari tempat tinggalnya, karena tak lagi sanggup menanggung semua harapan dan tuntutan dari keluarganya. Ken tak ingin di paksa untuk mencintai perempuan lain, dia juga tak ingin bertanggung jawab dengan semua pekerjaan yang di berikan oleh keluarganya.

Dia mengatakan padaku, impian dan keingannya. Hal sesederhana bermain bersama teman-teman sebayanya, tanpa harus merisaukan semua tuntutan dari orang dewasa.

Mengeluhkan usianya yang masih 18 tahun, ia tak ingin memimpin perusahaan milik ayahnya. Ia memiliki banyak kecemasan dan ketakutan ketika harus berhadapan dengan orang-orang dewasa yang mengincar kekayaan dan kekuasaan. Ia tak lagi bisa berdiri di hadapan orang-orang untuk mengucapkan omong kosong yang dirinya sendiri tak benar-benar pahami.

Aku tak pernah mengerti seberapa beratnya hidup yang telah ia jalani sampai hari ini, hanya kengerian yang bisa kurasakan dari ceritanya.

Ketika aku bilang, bahwa tak seharusnya dia pergi dari rumah. Kenzie justru mengatakan sebuah kalimat yang membuatku tertegun, "Benarkah tempat tersebut adalah rumah?" kata-kata yang dia katakan padaku, entah mengapa aku bisa merasakan rasa sakit dari ucapannya.

Benar, mungkin tak semua rumah benar-benar adalah rumah. Arti dari kata rumah sendiri, terlalu luas dan dalam. Padahal, seharusnya begitu sederhana dan hangat.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang