Mimpi buruk

1.8K 58 0
                                    

"Aku sudah melewati bagian terburuk, aku baik-baik saja"

***

Di banding mimpi buruk yang muncul dalam tidur, bagiku ada mimpi buruk lainnya yang lebih mengerikan. Saat aku berbaring di tempat tidur, sembari menatap langit-langit kamarku. Hal-hal menakutkan terus berdatangan, menghantui malam hariku.

Rasa cemas tentang hari esok, juga penyesalan tentang hari kemarin. Aku sudah cukup muak, dengan semua kegelisahan tersebut. Aku ingin lari, tapi rasanya terlalu melelahkan. Lalu, yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi malam-malam tersebut sembari menahan rasa takutku.

Lingkaran hitam terbentuk di bawah mataku. Menandakan bahwa aku tak pernah tertidur lelap di malam hari. Aku meringis di pagi hari, merasa lelah dengan ujian sekolah dan masalah yang sedang terjadi saat ini.

Lalu, aku berkata pada diriku sendiri, bahwa aku tak bisa menyia-nyiakan tenaga dan waktuku untuk mengeluh. Selesai dengan seragam sekolah, aku segera turun ke dapur, menyantap sarapanku bersama Kin dan tante Dyana. Suasana semakin terasa sunyi, udara terasa begitu berat. Aku menatap kursi hampa di hadapanku, sebelumnya tempat tersebut adalah milik kak Ray. Kini kosong, tempat tersebut selalu berhasil membuat siapapun yang menatapnya merasakan pilu.

Aku segera menyadarkan diriku, aku tak ingin membiarkan perasaan melankolis tersebut mempengaruhiku ataupun orang-orang di sekitarku. Aku dan Kin berpisah dengan tante Dyana, kami mencium punggung tangan beliau dan meninggalkan rumah dengan tujuan menuntut ilmu.

Kini hanya tersisa Kin, kami berjalan menuju halte bus. Sedari tadi aku menyadari lirikan laki-laki tersebut, namun aku sengaja mengabaikan tindakkannya. Terbaca jelas, tindakkan apa yang akan dia lakukan.

"Kayla" panggilnya, segera ketika aku memikirkan hal tersebut.

"Kenapa?" jawabku, bertanya tentang keinginannya.

"Waktu itu lu minta tolong, tapi lu belum ngomong apapun lagi sampe sekarang. Ada apa?" tanyanya.

Aku menghela napas, setelah lama berpikir, kupikir akan lebih baik jika aku memberitahukan rencanaku kepada Kin. Meski cemas, namun aku berharap kali ini Kin bisa menerima keputusanku, dan mendukungku dengan sepenuh hatinya.

"Aku mau kasih tau soal bu Mauren ke Kenzie. Aku gak tau reaksi dia bakal gimana nanti, tapi kayaknya gak akan gampang, dia pasti marah sama aku karena udah ikut campur soal urusan keluarganya. Jadi, Kin, kamu bisakan dukung aku?" ucapku, memohon kerja samanya.

Bukan karena aku tak sanggup menghadapi masalah ini seorang diri, namun melihat sifat agresifnya. Aku tak ingin, jika nanti amarahnya meledak dan mengacaukan rencanaku. Aku cemas, aku akan kesulitan dan banyak menangis, dan aku tak ingin Kin merasa marah akan hal itu pada Kenzie.

Meski terlihat berat hati, Kin menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapanku. Aku sedikit merasa lega, aku tenang karena Kin bisa memahamiku kali ini.

Kami sampai di sekolah dan melakukan kegiatan sekolah kami seperti biasa. Hari-hari yang cukup berat dan melelahkan. Ujian mulai dimulai, aku mengerjakan soal dengan baik, aku telah belajar dengan baik, aku melakukannya dengan baik meski ada sedikit kesalahan.

Tak apa, aku tak perlu keras pada diriku sendiri. Aku sudah berusaha, aku sudah bekerja dengan baik.

Beberapa nilai memang tidak memuaskan, tapi aku baik-baik saja. Semuanya adalah hasil kerja kerasku, aku hanya cukup berterima kasih pada diriku karena telah sampai disini.

Kesalahan ataupun kegagalan, kupikir hal tersebut bukanlah hal yang terlalu buruk. Aku hanya gadis remaja, aku masih mencari jalanku, aku tak perlu mengerti tentang semua hal, tak apa sesekali berbuat salah, tak perlu di cemaskan. Terkadang kegagalan tersebut, adalah jalan yang terbaik, membuktikan bahwa ada saat yang tepat untukku agar bisa merasakan kebahagiaan lainnya. Penyesalan saja sudah cukup, sesali lalu perbaiki. Maka aku akan menjadi lebih baik.

Semua temanku mengeluh, namun mereka masih bisa tertawa. Merasakan keceriaan tersebut dari ketiganya, membuatku merasa bahagia meski telah melewati hari yang sulit.

Ternyata memang benar, semua orang harus memiliki tempat yang tepat untuk berbagi kisah mereka. Seperti aku dan teman-temanku.

Setelah cukup beristirahat dari perasaan penat. Aku menemui Kenzie, dia dengan senyum cerianya menyambutku dari kegelisahan.

Aku harus mengucapkan kata maaf, karena merengut senyumannya tersebut.

"Aku punya kabar baik" lontarnya dengan semangatnya.

"Apa?" jawabku dengan lembut.

"Aku keluar dari perusahaan keluargaku, terus aku lagi buat rencana buat bikin perusahaan baru!" serunya.

"Serius?" tanyaku.

"Uhm! Aku mau buat perusahaan pengembangan game, tapi pertama-tama aku mau belajar soal itu dulu, salah satu rekan kerja aku ada yang kerja di bidang itu. Sebenernya aku udah lama tertarik, tapi gak pernah ada kesempatan. Sejujurnya, aku gak pernah punya harapan soal itu sebelum aku keluar dari rumah. Tapi sekarang aku mau mulai semuanya, aku mau lakuin semua yang aku mau" ungkapnya dengan mata berbinar.

Hatiku terenyuh. Aku semakin takut, aku cemas aku tak memiliki kesempatan lain untuk menyampaikan kebenaran ini pada Kenzie, melihat harapan hidupnya yang baru, aku merasa bersalah karena harus kembali membuka luka hatinya.

Haruskah aku menyampaikan hal ini padanya. Atau aku harus menyembunyikan fakta ini, dan membiarkannya terus salah paham.

Aku mengepalkan tangan karena marah, merasa kecil dan tidak berdaya. Ternyata rasanya sesulit ini, aku tak ingin melukainya, tapi aku tak pernah bermaksud untuk hal itu. Justru aku melakukannya karena ingin menyembuhkan sakitnya.

"Ibu kamu, aku ketemu sama ibu kandung kamu..." ucapku dengan nada rendah.

Suasana membeku, Kenzie tak mengatakan apapun untuk waktu yang lama. Aku merasa begitu canggung, karena dia tak juga menggubris perkataanku.

Apakah seharusnya aku menggunakan cara lain, aku bahkan tak berbasa basi, apakah hal yang aku lakukan saat ini benar, aku merasa begitu gelisah.

"Oh, ya?" balasnya acuh tak acuh.

Mata kami saling menatap, selain terlihat dingin tatapannya terasa menyakitkan. Perasaannya tersampaikan dengan baik kepadaku, ia terlihat mengatakan bahwa dirinya terluka.

"Ibu kamu sakit, dia sendirian sekarang" ucapku lagi.

"Heum..." gumamnya sembari mengangguk dengan acuh.

"Kamu gak mau tanya gimana aku bisa ketemu ibu kamu?" tanyaku dengan penuh cemas.

"Gimana kamu bisa ketemu dia?" tanyanya dengan lembut.

Aku tercengang, sikap Kenzie sangat mengkhawatirkan. Dia tak marah ataupun menangis, dia berusaha terlihat tak peduli, hal tersebut lebih menyulitkanku.

"Aku bisa temenin kamu ketemu bu Mauren, kamu mau?" tanyaku.

"Kayla..." panggilnya dengan dingin.

Aku berdebar dan merasa takut, mendengarnya memanggil namaku seperti itu.

"Hm?"

"Menurut kamu, aku harus pergi kemana lagi? gak ada tempat yang bisa aku datangi, gak ada tempat yang harus aku tuju, gak ada" tegasnya.

"Temuin ibu kamu, nanti kamu bisa dapatin jawaban kamu disa..." ucapku terpotong.

"Engga, Kayla. Aku gak butuh jawaban, aku udah hidup sendirian sampai saat ini, gak ada lagi yang aku harapin, aku gak butuh orang-orang yang udah pergi. Kamu tau? Kalau memang dia peduli, dia udah datang dari dulu, bukan, harusnya dia gak pergi" ujarnya.

"Makanya kamu harus temuin bu Mauren..." lirihku.

"Kenapa kamu sampai sejauh itu?" gumamnya dengan kecewa.

Aku tersentak, aku merasa bersalah.

Kenzie berdiri, lalu mengantarku pulang. Selama perjalan panjang tersebut, kami tak saling bicara. Hanya ada perasaan pilu dan dingin diantara kami.

Sesampainya di kamar, aku merebahkan diriku ke tempat tidur, menenggelamkan wajahku ke dalam bantal dan menangis dengan sunyi. Aku sungguh benci diriku sendiri, aku sungguh membenci Kenzie, dan aku membenci keluarganya yang telah membuatnya terluka selama bertahun-tahun.

Aku ingin menghilang, aku ingin pergi dari tempat ini. Aku benar-benar lelah, aku ingin berhenti merasa marah, aku ingin berhenti merasa lemah. Aku sungguh ingin semuanya berakhir.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang