Aku tak ingin menjadi dewasa

3.5K 86 0
                                    

" Jika aku tak di izinkan untuk bahagia, setidaknya tolong izinkan aku menangis atas rasa sakit ini "

***

Mendadak tante Dyana mengajakku keluar untuk makan malam berdua, kupikir hal ini cukup baik untukku. Mengingat baru-baru ini aku telah membuatnya kesulitan, aku harap aku memiliki kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan tante Dyana malam ini.

"Kayla, tante mau ngomong sesuatu" ucap tante Dyana.

"Kenapa tante?" tanyaku,

"Tentang papa kamu" lontarnya.

Meskipun kami selalu berkirim pesan, namun karena tak benar-benar menemuinya secara langsung. Mendengar tante Dyana menyinggung soal ayahku, rasanya aku malah semakin rindu, sejujurnya aku juga mencemaskan tentang kondisi beliau

"Papa kenapa tante?" tanyaku.

"Minggu depan, papa kamu akan menggelar pernikahan di Jepang" ungkap tante Dyana.

Rasanya aku salah mendengar ucapan tante Dyana, beberapa kalipun aku mencoba mencerna ucapannya, perasaanku tetap sama, aku tetap terkejut.

"Maksud tante?" tanyaku, sembari menggenggam kedua tanganku yang gemetar.

"Tenang Kayla, tante juga kaget tapi ini keputusan papa kamu, tante gabisa berbuat apapun" sesalnya.

"Kak Ara, kak Ara tau?" tanyaku lagi, begitu mengingat tentang kakak perempuanku tersebut.

Tante Dyana menggangguk pelan, perasaanku saat ini sangat hancur, bercampur aduk, sedih, kecewa,marah,dan merasa bodoh, hanya aku yang tak tau apapun disini. Kenapa mereka setega ini padaku. Bagaimana bisa ayahku membuat keputusan seperti ini.

"Tante, kayla mau istirahat" ujarku, sambil menahan air mata.

"O-oke kayla kita pulang, ya" balas tante Dyana.

Kami pun mengakhiri makan malam dengan perasaan kecewaku. Sesampainya di rumah aku berjalan ke kamar dan mengurung diri. Selama 2 hari, aku tak melakukan apapun, tak makan ataupun pergi ke sekolah, bahkan aku lelah mendengar ketukan pintu dan dering telpon sepanjang hari. Entahlah, aku tak mau melakukan apapun aku benar-benar kecewa, bagaimana bisa ayah yang selama ini aku bangga-banggakan tega melakukan ini demi kebahagiaannya sendiri.

"Kenapa rasanya kangen banget sama mama" gumamku, dengan suara parau dan penuh air mata.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk kembali seperti semula, aku sadar aku tak bisa terus seperti ini, yang aku butuhkan adalah penjelasan.

Berkali-kali aku berkata pada diriku bahwa "Aku baik-baik saja". Meski nyatanya aku tidak baik-baik saja.

Nala menghampiriku dan mulai bertanya tentang kemana aku pergi 2 hari terakhir, sebisa mungkin aku meresponnya dengan baik tanpa ia sadari aku tengah menahan air mata.

"Kay, lo yakin lu baik-baik aja? lo ga sakit kan?" tanyanya.

"Gapapa" balasku, dengan suara pelan.

"Gua tau kalo cewe bilang gapapa itu pasti artinya lo lagi kenapa-kenapa kan? aduh cerita dong kay" ujarnya.

"Aku ke toilet dulu" ucapku, mencoba menghindarinya.

Kupikir akan lebih baik jika sekarang aku menjaga jarak dengan orang lain, aku takut amarahku meluap dan malah membuatku mengatakan hal-hal yang bisa menyakiti perasaan orang lain, aku lebih memilih untuk diam.

Sesampainya di rumah, tante Dyana terus menghampiriku, aku tahu beliau khawatir tapi untuk saat ini aku hanya ingin sendiri. Aku tahu maksudnya baik untuk menjaga perasaanku tapi ini adalah hal yang harus aku ketahui sejak awal, kenapa harus di sembunyikan, cepat atau lambat saat mengetahui hal ini aku pasti akan tetap merasa kecewa, untuk apa di tutup-tutupi kalau akhirnya aku akan tersakiti juga.

Tok...tok!!!

"Kay, ini aku" ucap kak Rey, begitu mengetuk pintu kamarku.

Aku berjalan membukakan pintu kamarku untuknya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Boleh masuk?" tanyanya, meminta izin.

Aku mempersilahkannya masuk dan kami duduk di sofa.

"Masih mau nangis?" tanya kak Rey sambil menatapku.

Aku menggeleng pelan.

"It's ok, kamu berhak nangis, hati kamu berhak lampiasin rasa sakitnya" ujar kak Rey, yang seakan memancingku untuk menangis lagi.

Sudahlah, aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin menangis, rasanya air mataku tak habis-habis dari kemarin. Kak Rey menepuk pundakku pelan, dan membiarkanku menangis di hadapannya sampai aku bisa merasa lebih lega.

Aku harusnya bisa menahan tangisku agar tak di khawatirkan siapapun tapi di hadapannya aku malah terlihat lemah dan rapuh.

Katanya kita harus dewasa dalam menyikapi setiap masalah, tapi ternyata yang namanya "katanya harus dewasa" itu sulit untuk kulakukan sekarang. Aku bahkan lebih suka menjadi anak-anak, aku tak ingin mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Aku benar-benar marah, namun aku tak bisa melakukan apapun selain menangisi diriku sendiri.

I ( Everything In My Life )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang