"Aku akan baik-baik saja meski harus kehilangan segalanya"
***
Melihat bagaimana tante Dyana menangis seperti kemarin, membuatku ikut merasa sedih. Sejujurnya akupun terluka, pertama kalinya aku mendengar ucapan seperti itu dari orang dewasa. Apa kesalahanku sehingga aku pantas menerima ucapan menyakitkan seperti itu dari orang seperti mereka, yang bahkan tak mengenalku dengan baik.
Orang tuaku pergi, hal seperti itu bukanlah sebuah dosa yang buruk. Aku tumbuh dengan penuh kasih sayang, penuh dengan doa dan harapan baik dari ayah dan ibuku. Aku juga selalu berusaha untuk hidup dengan baik, menjadi seseorang yang baik. Jika orang lain membenciku, semua itu di luar kendaliku.
Namun, setidaknya aku tak ingin mendengar pikiran seperti itu. "Anak yang tak memiliki orang tua, selalu bermasalah".
Kata-kata seperti itu, tak seharusnya aku yang masih remaja harus mendengar ucapan buruk seperti itu. karena, dengan satu anggapan tersebut, akan sangat melukaiku untuk waktu yang lama.
Hari ini aku kembali ke sekolah. Aku tak menemui Nala seharian, membuatku bertanya apa yang terjadi padanya sehingga harus melewatkan hari ini. Aku berjalan menuju tempat tinggal Nala, lalu di tengah perjalan menuju rumahnya. Nala mengirimiku sebuah pesan.
Katanya aku tak perlu datang, ia tak ingin menemuiku hari ini.
Adakah kesalahan yang kuperbuat, aku sempat berpikir. Lalu terlintas, kejadian kemarin. Aku baru sadar, hari itu nenek Maryam datang untuk menjadi wali Nala. Kakiku melemah, aku terjongkok di pinggir jalan. Hatiku terasa semakin berat, aku mulai menutup wajahku dan menangis.
Aku hanya khawatir, jika saja perasaan nenek Maryam terluka seperti halnya tante Dyana kemarin. Padahal aku yang paling tahu, bahwa selama ini Nala bersusah payah melindungi neneknya dari hal seperti ini. Aku merusak semuanya, aku mengacaukan semua.
Aku kembali ke rumah ini, aku menatap rumah keluarga ini dari depan. Penuh rasa bersalah dan penyesalan. Padahal tak sesulit itu, untuk menjalankan hidupku dengan baik. Tapi aku mengacaukan segalanya.
"Kenapa gak masuk?" tanya kak Ray dari belakang.
Aku tersentak, kak Ray tiba-tiba saja muncul. Aku berusaha menghindari matanya, aku cemas kak Ray akan menyadari bahwa diriku baru saja menangis. Dia orang paling peka, meski tak pernah menunjukkkannya secara langsung.
"Mau makan ice cream?" tanyanya, di barengi senyum lembut.
Entah bagaimana, kami akhirnya berakhir dengan menyantap ice cream di taman bermain. Aku dan kak Ray duduk di ayunan, sembari mengenggam ice cream yang ia traktir.
"Kamu gapapa?" tanyanya, setelah suasana di antara kami sempat hening untuk waktu yang cukup lama.
Awalnya aku mengangguk dengan cepat. Lalu, kak Ray menatapku dengan sunyi. Dengan begitu, tiba-tiba air mataku mulai mengalir, mencair bersamaan dengan ice cream di tanganku.
Aku pikir aku bisa menahannya, tapi ternyata terlalu sulit. Mungkin akan lebih mudah jika tak ada yang menanyakan keadaanku. Tapi, kak Ray menyelusuri mataku dengan hening, bagaimana aku bisa menahannya.
"Kenapa?" tanyanya, dengan nada lembut dan cemas.
"Aku ngerasa bersalah sama tante Dyana, aku selalu bikin masalah, aku selalu bikin semua orang kecewa. Kenapa aku gak bisa ngelakuin semuanya dengan baik, kenapa selalu aja jadi masalah. Aku harus gimana?" lirihku.
Tangisku pecah, dadaku rasanya sangat sesak, padahal aku sudah menangis dengan kerasm tapi rasanya masih begitu berat dan menyakitkan.
Aku bukanlah seseorang yang bisa menahan air mataku, aku juga bukan seseorang yang selalu melakukan semua hal dengan baik. Aku lemah dan menyebalkan karena selalu menangis, padahal akulah yang menyebabkan kekacauannya. Tapi selalu, aku hanya bisa menangis dan menyesali semuanya.
Hatiku terlalu lemah, karena itu aku selalu seperti ini. Sebenarnya aku selalu takut, bahkan hanya dengan diriku yang lemah seperti ini, orang-orang akan membenciku. Karena itu, aku selalu ingin terlihat kuat, meski nyatanya aku jauh dari kata itu.
"Kamu tau, mama gak nangis karena kamu bikin masalah. Siapa orang tua yang gak sedih, anaknya di perlakukan buruk sama orang lain" ungkapnya.
"Tapi kalo aku gak mulai semuanya, gak mungkin mereka bakal ngomong kayak gitu. Aku yang salah, harusnya aku gak ngelakuin itu ke Tiffany" keluhku.
"Kamu boleh marah, kamu boleh berantem sama orang yang bikin kamu marah. Kamu gak harus selalu jadi orang baik, kamu boleh marah" katanya.
"Kak Ray, kakak gak boleh terus bela aku. Gimanapun juga aku salah, harusnya aku bisa nahan emosi. Gara-gara itu, tante Dyana sama nenek Maryam sakit hati. Gara-gara itu Nala ninggalin aku, aku udah ngancurin semuanya" keluhku.
"Ya udah. Kamu boleh nyalahin diri kamu sendiri, kalo memang itu yang bisa bikin kamu lebih baik, kamu boleh menyesal buat waktu yang lama. Tapi, Kayla, dengan pikiran kayak gitu, semuanya gak akan jadi lebih baik. Kamu harus berdamai sama diri kamu sendiri, tenang, dengan gitu kamu bisa nyelesaiin semuanya dengan lebih baik" ungkapnya, sembari menatao mataku dengan raut wajah seriusnya.
Kak Ray kemudian berlutut di hadapanku, ia mengeluarkan tisu di saku jaketnya, lalu menyeka lelehan ice cream di tanganku. Ia membersihkannya dengan lembut, seraya mengatakan hal-hal baik padaku.
"Kamu anak baik, tapi kamu boleh ngelakuin kesalahan. Kamu gak akan jadi buruk, cuma karena ngelakuin kesalahan-kesalahan kayak gini. Semua orang boleh ngerasa sedih, gak ada yang buruk dari hal itu, semuanya wajar, karena kita manusia" ucapnya dengan lembut.
Ia kemudian berdiri dan tersenyum kepadaku. "Ayo, pulang" ucapnya, dengan hangat.
Jujur saja, ucapan kak Ray membuat perasaanku merasa lebih baik. Setidaknya untuk saat ini.
Besoknya, Tiffany menghampiriku dengan sekantong makanan rumahan yang di buat oleh neneknya. Wajahnya nampak marah padaku, tapi ia tetap memberikan makanan tersebut padaku.
"Apa?" tanyaku, bingung.
"Sebenernya lo ngomong apa sama nenek gue? Dia masak dari malem, cuma buat bikin semua makanan ini buat lo" tegurnya, kemudian berbicara dengan suara pelan di alhir kalimatnya tanyanya.
Baginya, perbuatan neneknya tak masuk akal. Bagiku juga sama, kenapa beliau memberikan semua makanan ini padaku, padahal aku tak melakukan apapun sehingga berhak menerima ini semua.
"Terserah lo, mau lo bawa pulang atau lo buang... tapi jangan sampe hal kayak gini terjadi lagi, gue muak berhubungan sama orang kayak lo" ujarnya.
Padahal jelas Tiffany membenciku, tapi mengapa ia masih memberikan ini semua kepadaku. Bukankah seharusnya ia bisa menolak permintaan neneknya, dan tak memberikan ini padaku.
"Lo bener-bener nyebelin, karena keluarga lo kaya, nenek gue harus ngelakuin ini semua. Pasti nyaman buat lo, masalah kayak gini gak akan berdampak buruk buat lo. Lo punya segalanya" sindirnya.
"Tapi aku gak punya ayah atau ibu yang masih hidup" balasku dengan senyum pahit.
"Nyebelin" bisiknya dengan wajah sebal, meski matanya nampak berkaca.
"Makasih! Tolong sampaiin terima kasih aku buat nenek kamu" ucapku, sembari berteriak agar Tiffany yang sudah berjalan jauh bisa mendengar suaraku.
"Dasar cewek gila" cibirnya dengan sinis, lalu berjalan meninggalkanku.
Aku juga masih merasa aneh, mengapa hubunganku dan Tiffany jadi seperti ini. Jika bukan karena masalahku dengan Yenna, mungkin saja Tiffany tak akan melakukan hal buruk seperti ini. Dan kamu tak akan bertengakar seperti ini, semuanya tak akan jadi sekacau ini.
Nala masih belum masuk sekolah, rasanya begitu hampa, melihat kursinya kosong. Ia bahkan tak membalas pesan-pesanku.
Lalu beberapa hari kemudian, ketika ia masukpun, Nala mengabaikan ucapanku. Meski aku bertanya berkali-kali padanya, Nala tetap tak mengindahkan pertanyaanku.
Esoknya, aku meninggalkan buku sketsa miliknya di atas meja. Beberapa hari kemarin, aku berusaha menyatukan kembali gambar-gambar miliknya yang telah di robek Tiffany. Aku meninggalkannya begitu saja, karena aku tahu meskipun aku berbicara ia masih tak akan mempedulikanku.
Jika ia sampai seperti ini, maka aku telah benar-benar menyakitinya. Akankah pertemanan kami berakhir seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I ( Everything In My Life )
Teen FictionAileen Kayla Fawnia, pemeran utama dalam kisah ini adalah seorang gadis muda yang memiliki karakter lembut. Gadis itu tumbuh besar tanpa sosok seorang Ibu di dalam hidupnya, dia pergi dari kota kelahirannya dan menjalani kehidupan barunya sebagai mu...