"Latri tidak hamil, Bu. Aku sengaja berbohong supaya bisa menikahinya segera. Aku minta maaf, Bu." Wirya mengakui kesalahannya di hadapan sang ibu. Sorot penyesalan terpancar jelas pada mata pria itu, walaupun di wajahnya tercetak ekspresi datar.
"Ibu sudah menduga kamu hanya berbohong, Nak." tanggap Ibu Ratna dengan peringai yang tenang. Tidak terlihat marah selepas mendengar kejujuran yang diutarakan oleh putra sulung beliau.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf, Bu. Tolong Ibu jangan marah pada Latri. Dia hanya mengikuti alur dari permainanku saja." Wirya meminta secara halus. Bukan tak mungkin jika nanti sang ibu akan melampiaskan amarah ke istrinya. Ia tentu tidak menginginkan semua sampai terjadi.
Wirya mengetahui benar bahwa rasa tidak suka hadir dalam diri ibunya untuk Latri dari dulu, sejak mereka bertunangan. Bahkan, restu dari sang ibu belum sepenuhnya bisa diperoleh. Tapi, Wirya tetap pada pendirian dan tak menyerah mempertahankan Latri.
"Apa Ibu boleh marah pada menantu yang sangat dicintai anak Ibu? Kamu pasti akan sangat marah kalau Ibu berani menyakiti istrimu yang cacat itu, Nak," balas Ibu Ratna sembari masih memerlihatkan sikap tenang beliau. Meski, sepasang mata Ibu Ratna menampakkan sorot yang lebih tajam dari sebelumnya hanya dalam hitungan detik.
"Aku tidak akan membiarkan Ibu menyakiti Latri sedikit pun. Jika Ibu tak mendengar, aku juga tidak akan segan menunjukkan ketidakhormatan sebagai anak pada Ibu." Emosi Wirya mulai terpancing karena ucapan dari ibunya yang tidak menyenangkan.
"Kenapa semakin kurang ajar dengan Ibu, Nak? Apa istrimu yang cacat itu sudah membuatmu berani melawan Ibu?" Nada bicara Ibu Ratna dengan cepat meninggi akibat kesopanan putra kesayangan beliau yang kian hilang.
Sementara itu, Wirya memilih diam. Tidak meladeni ibunya lagi guna menghindari pertengkaran hebat yang mungkin dapat tercipta. Sedangkan, rahang wajah Wirya masih tampak mengeras seiring dengan emosi yang juga belum mampu dikendalikan secara penuh.
"Sampai Ibu memastikan jika anak pertama yang akan Latri lahirkan nanti adalah laki-laki, Ibu akan tetap memperlakukan istrimu yang cacat itu dengan baik."
Kedua tangan Wirya mengepal erat, ia masih bungkam. Tak berniat untuk menjawab kata-kata pedas dari sang ibu. Ia tidak ingin menjadi anak yang lebih durhaka jika melakukan perlawanan. Wirya tetap menjunjung rasa hormat tertinggi kepada ayah dan ibunya. Walau, terkadang mereka tak sejalan.
"Jika kamu tidak bisa memberikan kami cucu laki-laki sebagai pewaris utama di keluarga. Bersiaplah untuk berpisah dengan Latri. Kamu harus mendapatkan wanita yang jauh lebih sempurna dan pantas daripada istri cacatmu itu. Dia hanya menyusahkan kekuarga kita, Nak."
"Ibu!" seru Wirya marah. Berakhir sudah pengendalian emosi yang sejak tadi telah diusahakannya. "Aku tidak akan pernah meninggalkan dia. Ibu tidak akan pernah dapat memaksaku berpisah dengan Latri."
"Jika begitu biar Ibu saja yang akan minta pada Latri untuk mau bercerai, seandainya dia tidak dapat memberi kami cucu pertama laki-laki nanti."
"Wanita cacat dan tidak berguna harus kita singkirkan. Dia tidak akan pantas untukmu, Nak. Dengarkan apa yang Ibu katakan," lanjut Ibu Ratna dengan tingkat sarkasme yang tinggi.
Rahang wajah Wirya begitu tampak mengeras. Sama dengan tatapannya yang terlihat begitu tajam. Gigi-gigi pria itu bergemeretak. "Baiklah. Aku juga ingin mengajukan dua pilihan sekarang. Jangan pernah mengusik pernikahan kami atau aku tidak akan ragu menghancurkan perusahaan."
==============================
Latri mempererat pegangan tangan-tangannya pada sisi-sisi wastafel di dalam kamar supaya keseimbangan tubuh tetap terjaga dan tidak jatuh. Sementara, dua kaki Latri mencoba untuk menapak di atas lantai dengan lebih kuat.
Wanita itu belum terlalu bisa berdiri dalam durasi waktu yang lama. Tapi, Latri terus berupaya memfungsikan kakinya dan tak ingin hanya duduk di kursi roda di sepanjang hari. Ia yakin harapan untuk sembuh selalu ada selama dirinya tidak berhenti untuk berusaha.
"Latri ...,"
Daun pintu kamar mandi tampak dibuka semakin lebar dari luar bersamaan dengan suara berat milik Wirya terdengar mengalunkan nama istrinya dalam intonasi yang cukup lembut. Sementara itu, Latri buru-buru mengulas senyuman manakala melihat sosok suaminya melalui pantulan cermin.
"Aku kira kamu ada di ma—" Ucapan Wirya terpotong karena mendadak dilingkupi keterkejutan menyaksikan Latri yang tengah berdiri tanpa adanya pengawasan dari siapa pun.
Dan dengan kedua kaki yang coba secepat mungkin difungsikan untuk melangkah, Wirya segera berjalan menuju wastafel guna menghampiri Latri. Masing-masing tangan Wirya pun langsung memegang lengan istrinya serta membantu wanita itu duduk kembali di kursi roda yang terletak di belakang.
"Kenapa kamu berdiri sendirian dan tidak ditemani terapis, Latri? Kalau kamu ja—"
"Aku tidak akan jatuh. Kakiku sudah lebih kuat digunakan berdiri," balas Latri dengan nada meyakinkan. Ia tak ingin suaminya cemas. "Baru pulang, Wi?" Wanita itu kemudian bertanya, mengalihkan topik pembicaraan.
Wirya hanya menganggukkan kepala pelan guna menjawab yang ditanya oleh istrinya. Ia memilih tak bicara kali ini. Keterkejutan Wirya belum sepenuhnya hilang. Sedangkan, Latri juga tidak berniat mengeluarkan pertanyaan lanjutan setelah sang suami mendorong kursi roda yang ia gunakan keluar dari kamar mandi.
"Jangan membuatku khawatir. Aku sangat takut tidak bisa melindungi kamu setiap saat, Latri," pinta Wirya sedikit lirih. Namun, pria itu benar-benar serius akan ucapannya.
"Aku tidak ingin hal buruk apa pun menimpa kamu, Latri. Aku akan merasa semakin hancur." Wirya terus mengungkapkan rasa cemas yang membelenggu. Ia ingin sang istri tahu jika kepeduliannya tidak pernah main-main.
Dan manakala kursi roda Latri telah berhenti bergerak dan berada tak jauh dari sofa di dalam kamar, wanita itu lantas dikagetkan oleh aksi Wirya yang tiba-tiba saja mengambil posisi berjongkok di depannya. Tak lama, Latri pun memperoleh dekapan erat serta posesif dari Wirya.
"Aku minta maaf, aku memang egois mempertahankanmu dengan caraku sendiri yang sebenarnya cuma bisa melukai kamu, Latri. Tapi percayalah, aku sungguh-sungguh mencintaimu."
Kedua kelopak mata Latri tertutup rapat pasca mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Wirya. Rasa sesak menghampiri wanita itu tanpa pernah diundang sebelumnya. Ia bisa ikut merasakan kepedihan yang saat ini tengah membelenggu suaminya.
"Tidak, Wi. Mungkin semua sudah menjadi jalan takdir yang harus aku terima. Aku tidak menyesal sudah menikah denganmu," ujar Latri jujur.
Wanita itu secara refleks langsung membuka matanya ketika menyadari bahu Wirya yang bergetar. Pria itu sedang menangis dalam pelukannya. Dan Latri sendiri tak tahu apa yang menyebabkan Wirya begitu terlihat rapuh untuk pertama kali di depannya.
Tak banyak yang bisa Latri lakukan selain diam serta mengusap-usap dengan lembut punggung suaminya. Ia tidak akan melarang Wirya untuk menangis. Bagaimana pun kerasnya watak dan sikap pria itu, Latri tahu bahwa suaminya juga memiliki sisi lemah serta sensitif.
"Aku tidak akan membiarkan Ibu menyakitimu, Latri. Aku akan selalu melindungimu."
"Ada apa, Wi? Apa terjadi sesuatu waktu kamu bertemu Ibu tadi? Kamu sudah mengatakan yang sebenarnya?"
================================
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI PENDUSTA
General Fiction[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat] "Aku sangat mencintaimu, Latri. Bagaimana bisa aku berselingkuh dengan yang lain?" "Bagaimana juga kalua kamu mendua bukan karena hati, melainkan untuk punya anak laki-laki, Wirya?" "Kamu sungguh...