TIGA PULUH

6.6K 515 56
                                    

       Malam ini sang putri tidur lebih awal, sekitar jam delapan. Walau buah hatinya itukini telahterlelap dengan nyenyak dalam boks bayi berukuran besar, Latri punmasih melakukan pengawasan. Takut-takut jika Laksmi sampai bangun tanpa sepengetahuannya.

Naluri dan perhatian sebagai seorang ibu memang seperti itu pada anak-anak mereka, Latri juga termasuk dalam kategori tersebut. Putri kecilnya akan selalu menjadi salah satu prioritas. Begitu juga calon anak kedua mereka yang dikandungnya.

"Mama sangat sayang kalian." Latri berujar dengan nada lembutnya. Tangan kanan wanita itumengelus-elus penuh kasih rambut hitam halus dari sang putri. Sedangkan, tangan lainnya ditempelkan di atas perut. Latri juga ingin tunjukkan kasih sayang untuk calon dari bayi mereka di rahimnya, harus seperti itu.

"Mama sangat bersyukur bisa punya kalian dalam hidup Mama. Tuhan anugerahkan hal yang berharga untuk Mama, kalian berdua." Latri mengimbuhkan dengan rasa syukur teramat besar.Ia tidak ingin mengeluh atau bahkan menyalahkan Tuhan untuksemua cobaan yang harus dilalui. Latri sudah ikhlas.

"Aku juga, Sayang." Wirya menimpali. Pria itu sudah mendengar secara keseluruhan kata sang istri sejak tadi. Wirya begitu terenyuh dan juga tersentuh. Wanita itu memang punya hati baik.

Latri berupaya memamerkan senyuman terbaik, saat matanya juga sang suami saling bersinggungan kini. Ia menyukai kelembutan di dalam mata pria itu yang semakin berhasil menguatkan dirinya. "Iya, Wi."

"Aku begitu bersyukur mempunyaimu dan anak-anak kita, Latri. Aku sangat sayang kalian," tambah Wirya seraya genggam tangan istrinya yang masih berada di atas perut.

"Iya, aku tahu." Latri lalu menanggapi. "Apa aku boleh minta sesuatu padamu,Wi?" tanya Latri lantas.

"Mau minta apa, Sayang?" Wirya pun balik bertanya. Namun, ia akan mengabulkan permintaan dari sang istri. Apa pun yang diinginkan nanti. Wirya siap melakukan. "Aku akan kabulkan untukmu, Latri."

"Buatkan aku sesuatu untuk dimakan, ya," jawab Latri cepat. "Sepertinya aku lagi ngidam. Anak kita ingin coba cicipi rasa makanan yang kamu masak, Wirya. Bagaimana? Apakah kamu mau memasak? Aku tidak akan paksa, kalau tidak mau." Latri mengutarakan keinginannya.

Wirya pun segera mengangguk. "Iya.Aku mau. Aku akan memasak bubur dan sup. Tapi, semoga hasil dari rasanya tidak mengecewakan." Wirya menjawab dengan ragu, walau coba yakin.

Latri melebarkan senyuman. "Makasih, Wi. Aku yakin akan pasti enak." Wanita itu memberi dorongan semangat.

"Semoga saja, ya, Sayang. Kamu tahu sendiri aku sudah sangat jarang memasak empat tahun terakhir." Wirya tak cukup percaya akan kemampuan yang dimiliki dirinya untuk kegiatan di dapur, terutama di sini masalah memasak, sama sekali.

"Tidak apa-apa, Wi. Aku akan tetap makan nanti. Anak kita yang juga mau, bukan cuma aku saja, yah." Latri meloloskan jawaban pendukung. Sebab, ia sangat ingin untuk menyantap makanan buatan suaminya, menu apa pun tak akan menjadi masalah bagi wanita itu. Asalkan ngidam-nya bisa terpenuhi. Sesuai dengan diinginkannya.

Latri semakin melebarkan senyum, dikala melihat tawa yang sang suami keluarkan terdengar begitu lepas. Pasalnya, ia jarang saksikan pria itu mengeluarkan gelak tawa. Terlebih lagi, suaminya memang lebih sering memasang raut wajah yang serius. Dan entah mengapa pula, Latri merasa bahagia. Apa ini juga termasuk bawaan bayi mereka yang berada dalam kandungannya? Mungkin saja.

"Aku senang lihat kamu dapat tertawa kayak begini, Wi," Latri berucap jujur. "Ketawa dan senyum yang banyak itu perlu." Wanita itu mengimbuhkan. Senang akan ekspresi sang suami yang dilihatnya. "Kamu akan tambah nggak kelihatan seram, Wi."

"Aku akan berusaha ingat pesanmu ini, Sayang." Wirya menanggapi positif ucapan istrinya. Di dalam hati, ia pun berjanji akan mencoba. Tak ada salahnya memang.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang