TIGA PULUH SEMBILAN

6.9K 611 54
                                    

"Adek Tiya... Adek Tiya." Laksmi semangat luncurkan panggilan untuk sosok kecil Satriya yang baru saja tiba di areal dapur bersama ayahnya. Laksmi juga lambai-lambaikan tangan.

"Sinih, Adek Tiyaaa!" Batita perempuan itu memanggil kembali dengan intonasi lebih keras dan bersemangat. Senyum manis di wajahnya pun turut pamerkan semakin lebar lagi.

Satu detik kemudian, seluruh atensi sudah dipindahkan pada sang ayah. Gerakan tangan kanan melambai-lambai belum dihentikan. Masih terus Laksmi lakukan. "Papaaa!"

"Papa sinihh! Papa sinihh! Papaa!" Giliran seruan untuk ayahnya diloloskan batita perempuan itu. Tentu, kian kencang.

"Iya, Nak. Papa akan ke tempat Laksmi. Tunggu, Nak."

Keriangan ekspresi tampak jelas pada wajah Laksmi, kala sang ayah sudah berdiri di hadapannya kini. Lalu, kedua tangan diulurkan ke depan. "Endong, Papaa. Asmi gendongg."

Senyum Laksmi pun semakin melebar, tatkala menangkap anggukkan kepala ayahnya sebagai respons untuk keinginan yang dilontarkan barusan. "Cepat, Papaa. Endong Asmiii."

"Kakak Laksmi mau digendong dengan Papa juga, Sayang? Nggak mau duduk dipangku sama Mama aja?"

Laksmi segera tunjukkan gelengan. "Gag... Gagg."

Ditatap sang ibu yang duduk di sebelahnya dalam sorot mata serius seraya tetap lakukan gerakan menggeleng. Sudah pasti penolakan telak, walau nanti ibunya membujuk. Kemudian, kepala didongakkan supaya dapat memandangii sang ayah dan Satriya. Laksmi senang dapat melihat ekspresi lucu adiknya.

"Papa nggak bisa gendong Kakak Laksmi dan Adik Satriya bareng-bareng, Sayang. Nanti Papa bisa sakit punggungnya karena berat. Sama Mama saja dipangku gimana? Mau Kakak Laksmi?"

Selesai lontarkan bujukannya, Latri keluarkan suara tawa akibat disuguhkan ekspresi cemberut dan juga manyunan bibir dari sang putri. Tak lupa, gelengan kepala tanda menolak ditunjukkan buah hatinya itu atas apa yang ia tanya. Latri tidak bisa merayu lagi.

"Gag... Gagg, mauuu!" Seruan bernadakan kesal diluncurkan Laksmi dengan cukup kentang. Nada sebal pun mendominasi jelas.

"Endong, Papaa! Endonggg!" Batita perempuan itu loloskan keinginannya kembali dalam intonasi yang semakin keras. Kedua tangan direntangkan ke samping dan kaki-kakinya terus bergerak.

"Iya, Nak. Akan Papa gendong." Wirya menanggapi segera agar putri kesayangannya tak lanjut mengeluarkan jurus rengekan.

Secara cepat pula, Wirya serahkan sosok gembul Saptriya pada istrinya untuk dipangku wanita itu. Lantas, ia berjalan menuju ke baby booster seat, di mana Laksmi sedang berada. Tak sampai satu menit, ia sudah berhasil menggendong buah hati cantiknya.

"Matasih (makasih), Papaa." Laksmi berucap dengan gaya cadelnya dan juga sedikit manja. Diberi ciuman basah akan air liur di pipi kanan serta kiri ayahnya sembari loloskan tawa yang renyah.

"Sama-sama, Sayang," sahut Wirya dalam suara sengaja dibuatnya ceria. Kuluman senyuman hangat pun semakin dilebarkan.

Kemudian, atensi dipindahkannya ke sosok sang istri dan Satriya. Ia akan terhanyut setiap kali melihat mereka berinteraksi. Terutama, saat istrinya mengajak Satriya berbicara. Dan, bayi itu akan mengeluarkan senyuman dan juga tawa yang riang. Bagi Wirya momen tersebut sangatlah sukses membuatnya merasa tenang.

Ingin sekali, ia melihat sang istri terus mendapat bahagia. Tidak dirundung kesedihan. Kehadiran Satriya pun sangat Wirya harapkan akan membawa kedamaian dalam keluarga kecilnya. Ia tak akan membiarkan bayi laki-laki itu pergi lagi. Jika sampai hal itu terjadi, maka penebusan rasa bersalah tidak bisa dilakukan.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang