TIGA PULUH SATU

5.3K 477 62
                                    

       Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.

Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.

Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan.

"Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk nyaman di atas pangkuan sang ibu. Batita itu tidak bisa diam.

"Laksmi kalau sudah gede baru boleh belajar naik mobil, ya, Sayang? Mengendarai mobil. Nanti Papa yang ajarkan."

Batita itu cepat-cepat mengangguk, menyetujui ucapan ayahnya yang sudah dapat dimengerti secara penuh. "Iyaahh," balas Laksmi bersemangat. Seruan dilontarkan dengan lantang.

"Papa bilang mau ngajarin naik apa, Sayang?" tanya Latri pada putri kecil mereka. Tangan wanita itu mengusap-usap secara lembut rambut sang buah hati. Afeksi selalu suka dilakukannya.

Kali ini, Laksmi tak cepat-cepat menjawab. Melainkan, memerlihatkan tatapan polos dan senyuman yang lucu ke arah kedua orangtuanya secara bergantian. "Mobingg (mobil)," sahut Laksmi dengan kecadelan yang kental. Belum bisa

Latri seketika dibuat tertawa karena mendengar jawaban putrinya. Namun kemudian, wanita itu luncurkan pujian, "Pintar anak Mama yang satu ini. Gemas Mama sama Laksmi."

"Bagus, Sayang." Wirya turut memuji putrinya sembari mengacungkan jempol tangan bagian kanan. "Pintar, Laksmi."

Keriangan diperlihatkan oleh Laksmi lewat senyuman lebarnya yang menggemaskan. Batita itu tentu begitu bahagia menerima pujian dari ibu serta sang ayah. Ketulusan penuh kasih besar yang didapat membuat Laksmi merasa semakin disayang oleh kedua orangtuanya hari ke hari. Batita itu juga akan semakin manja.

"Senang, Sayang?" tanya Wirya, tatkala sadar ekspresi di wajah cantik putri mereka yang terlihat lucu.

Laksmi pun mengangguk semangat. "Tenang (senang)"

"Pasti jadi tambah seru sama senang lagi kalau adik sudah lahir nanti, Sayang. Laksmi akan punya teman yang diajak main bareng di rumah."

"Itu pasti." Wirya menyetujui ucapan sang istri dalam nada yang tak terlalu serius, terselip canda di dalamnya. Sikap seperti ini jarang ditunjukkan oleh Wirya. Dan hanya keluar pada momen-momen tertentu saja. Terutamanya jika sudah berinteraksi dengan istri dan buah hati mereka.

"Teenaang." Laksmi mengulang kata yang sama seperti tadi. Menyela sengaja obrolan ayah dan ibunya yang sedang berlangsung karena tidak ingin diabaikan atau perhatian kedua orangtuanya berkurang. Laskmi jadi sedikit bertingkah.

"Senang punya adik, Sayang?" Latri pun menanyai putri mereka. Dengan maksud ketahui apa yang sesungguhnya dirasakan sang buah hati. "Laksmi senang mau punya adik?"

"Iyaahh," sahut Laksmi antusias. Senyum lucu batita perempuan itu belum memudar dan malah dipamerkan pada ayahnya secara sengaja. Bukan diarahkan ke sang ibu.

"Laksmi mau punya adik cowok atau cewek, Sayang?" Latri kembali bertanya guna mengisi obrolan ringan bersama putri kecil mereka dengan topik pembicaraan masih sama.

Latri tahu benar jika buah hatinya dan Wirya itu tidak akan mengerti keseluruhan dari makna dalam pertanyaan yang ia ajukan baru saja. Tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa Latri selalu senang serta terhibur disajikan sorot mata penuh tanya dari putri mereka yang lugu.

.................... .............................................

Wirya tak bisa menyembuyikan perasaan cemas sekaligus was-was, kala pemeriksaan terhadap Latri dan calon anak keduanya dimulai. Sedangkan, putri sulung kesayangan mereka duduk anteng di pangkuan sang ayah sambil menyaksikan ibunya sedang berbaring di ranjang pasien dalam sorot mata polos. Tak ada senyum lucu.

Laksmi tampak jelas menyesap telunjuk masing-masing tangannya akibat tak nyaman akan nuansa di ruang periksa dokter kandungan yang batita itu datangi pagi ini, bersama ibu serta sang ayah. Namun, rengekan tidak dikeluarkan Laksmi.

Batita perempuan itu tak takut, hanya saja sedikit belum dapat beradaptasi dengan lingkungan yang tergolong masih baginya. Terlebih, baru sekarang ini Laksmi diajak ikut oleh ayahnya pergi ke rumah sakit untuk menemani sang ibu.

"Janin Bu Latri sejauh ini detak jantungnya normal."

Ekspresi kelegaan terlihat nyata di wajah Wirya setelah mendengar penjelasan dari dokter Fifi mengenai kondisi calon buah hatinya yang ada di rahim sang istri. Wirya tak henti memanjatkan puji syukur serta rasa terima yang besar kepada Tuhan di dalam hati.

"Janin Ibu masih tumbuh dengan sangat baik sampai sekarang berusia 10 minggu. Saya belum menemukan masalah yang serius." Dokter Fifi lanjut beri tahu hasil pemeriksaan.

"Tapi, Bu Latri harus tetap menjaga kesehatan. Hindari aktivitas-aktivitas berat. Lebih banyak istirahat. Selalu konsumsi makanan-makanan memiliki kandungan gizi yang banyak dan vitamin-vitamin saya resepkan." Beliau mengimbuhkan.

"Terima kasih, Dok." Latri berucap dengan nada sopan disertai senyuman ramah dan juga bersahabatnya yang ditunjukkan pada Dokter Fifi. Selang beberapa detik, pandangan Latri sudah berpindah. Tertuju ke arah sang suami dan putri kecil mereka.

Sudut-sudut bibir wanita itu kian melengkung, tatkala menyaksikan pemandangan di hadapannya yang selalu sukses menentramkan hati. "Wi ...," panggil Latri dengan lembut.

"Ada apa, Sayang?" Wirya segera saja tanggapi, setelah mendengarkan panggilan yang dialunkan oleh sang istri.

Atensi pria itu pun teralihkan sejenak pada layar monitor yang sedang menampilkan hasil USG calon buah hati mereka. Wirya juga belum ingim melepaskan genggaman tangannya. Menyalurkan dukungan untuk sang istri. Sungguh perasaan tengah campur aduk.

"Dia sehat, Wi. Pasti akan baik-baik saja," ujar Latri ingin berbagi kelegaan, rasa syukur, dan kebahagiaan melingkupi dirinya. Ia tak ingin semua ini berakhir secara cepat.

Wirya mengangguk kecil. "Iya, semoga anak kita akan selalu sehat di dalam perut kamu, Latri Astungkara." Pria itu ikut menggumamkan kalimat-kalimat dengan harapan yang begitu besar.

Dan, tak pernah bosan meminta perlindungan kepada Tuhan untuk sang istri serta anak-anak mereka dalam panjatan doa setiap kali dirinya melakukan persembahyangan. Hal yang wajib dilakukan.

"Astungkara, Wi." Latri membalas. Harapannya sama.

"Adek." Laksmi berucap antusias seraya mengarahkan jari telunjuk tangannya ke layar monitor. Batita itu pun belum terlalu mengerti memang, namun telah menunjukkan penyambutan yang positif sejak awal. Senang dan antusias akan punya adik baru.

"Adek ... Adekk .... Adekk." Laksmi pun kembali berceloteh. Bahkan kian riang seraya terus bertepuk tangan.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang