DUA PULUH TUJUH

5.1K 380 17
                                    

"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati.

"Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."

Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."

Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi.

"Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.

Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, masih menutup kelopak mata rapat-rapat. Sebenarnya, Wirya tengah dihinggapi sekelumit ketakutan manakala nanti harus bertemu pandang dengan dua manik cokelat sang istri. Karena sudah pasti penyesalan serta rasa bersalah juga akan menggerogoti dirinya kian keras. Ia merasa tak akan pernah sanggup menembus ataupun membayar seluruh perbuatan tidak baik yang dilakukannya di masa lalu pada wanita itu. Ia hanyalah seorang penghancur.

"Wirya ...," Latri memanggil dengan nada yang pelan agar tidak membuat putri mereka terbangun. Tetapi, suara wanita itu terdengar lembut. Latri mulai melunak dan ingin memahami keadaan suaminya. "Pindah sekarang, Wi. Jangan di sini. Kamu bisa tidur di kasur bersamaku dan Laksmi malam ini."

"Nanti saja. Aku masih mau di sini. Tolong temani aku sebentar, Latri," jawab sekaligus pinta Wirya pada istrinya.

"Aku benar-benar sudah mendapatkan karma sekarang karena perbuatan-perbuatanku dulu yang buruk," lanjut pria itu mengungkap kerisauan yang sedang dirasakan secara jujur.

Wirya lantas membuka secara lebar-lebar matanya dan langsung menatap lekat sang istri yang memilih diam, tanpa memberi respons atas kata-katanya. Wirya pun belum mampu mengartikan dengan baik sorot manik cokelat istrinya, kala mereka berdua saling melakukan kontak mata.

"Tuhan pasti akan adil. Menghukum setiap orang yang melakukan kesalahan dan perbuatan jahat di masa lalu. Aku sudah pasrah menerimanya. Aku sudah sangat siap."

"Mungkin tidak akan menjadi masalah kalau cuma aku yang menanggung semua karma ini. Tapi saat nyawamu dan calon anak kita dipertaruhkan, maka aku tidak siap sama sekali. Aku tidak bisa kehilangan kalian," ujar pria itu lirih. Masing-masing pelupuk matanya telah tergenangi oleh cairan bening.

Wirya lagi-lagi hanya dapat membenci dirinya sendiri, saat terlihat lemah sebagai pria, terlebih di hadapan sang istri. Namun, ia juga tak tahu harus berbagi belenggu keresahan kepada siapa, selain istrinya. Wirya hanya memercayai wanita itu seorang. Cintanya yang besar juga hanya untuk sang istri.

"Jangan terus memikirkan hal-hal yang tidak baik, Wi. Karena, secara tidak langsung kita juga berharap sesuatu yang buruk benar-benar terjadi nanti."

Setelah selesai dengan ucapannya, Latri cepat menarik tangan kanan sang suami. Kemudian, memeluk erat. Berupaya memberikan ketenangan untuk suaminya yang terlihat begitu rapuh saat ini. Latri tidak akan tega jika sudah begini.

"Sabar, Wi. Kamu juga harus belajar ikhlas. Aku yakin kalau kamu akan berubah. Tidak mengulangi kesalahan sama seperti dulu."Latri masih mendekap kuat tubuh suaminya yang bergetar. "Aku akan belajar memaafkan kamu, Wi. Demi anak-anak dan pernikahan kita."

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang