SEBELAS

9.8K 669 31
                                    

Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit.

Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu.

Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat.

Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas.

"Laksmi gimana boboknya? Nyenyak ya?" Latri pun mengawali monolog dalam nada sangat lembut. Suaranya dibuat tidak terlalu keras. Tatapan teduh juga diperlihatkannya.

Sementara itu, respons yang mampu Laksmi tunjukkan hanya baru berupa senyuman. Tidak berlangsung lama, sekitaran lima detik saja. Tetapi, hal tersebut telah bisa menciptakan rasa bahagia untuk sang ibu.

"Laksmi mau minum susu apa ASI sekarang? Putri Mama ini kayaknya udah haus ya?" Latri melanjutkan kegiatan mengajak buah hati mereka mengobrol dan menambah tebakan di dalamnya.

"Hm, gimana kalau minum ASI ya, Nak? Agar Laksmi makin sehat dan kuat. Cepat gede juga nanti." Wanita itu belum ingin mengakhiri monolog yang cenderung terjadi satu arah tersebut.

Selesai berucap, Latri lantas mencoba menuntun putri kecil mereka untuk menyusui. Lebih tepatnya, mengisap salah satu puting susu dengan baik dan supaya bisa memperoleh asupan ASI secara maksimal, tidak setengah-setengah.

"Hati-hati, Laksmi," ingat Latri saat sadar jika putrinya sedang mengedot dengan tak sabaran. Terkesan buru-buru. Mungkin karena rasa haus yang besar.

Sunggingan senyum di wajah Latri belum tampak memudar. Wanita itu tidak bisa melakukannya. Latri ingin memerlihatkan senyuman terbaik selama ditatap oleh buah hati mereka. Menurutnya, ekspresi tersebut akan menjadi salah satu media dan juga ungkapan atas rasa sayang teramat.

Dan tanpa Latri ketahui, sedari tadi interaksi bersama Laksmi disaksikan Wirya, suaminya. Pria itu berdiri di depan pintu kamar mandi, letaknya tak jauh dari sofa yang sang istri tempati. Wirya memang sengaja tak cepat-cepat bergabung dengan istri serta putri mereka. Akan tetapi, detik demi detik momentum kebersamaan keluarga kecilnya tak terlewatkan.

Keheningan yang terasa damai begitu cepatnya digantikan oleh ketegangan manakala sosok Pak Indra memasuki kamar utama di rumah Latri tersebut tanpa permisi terlebih dahulu. Semua dilanda kekagetan. Suasana dingin dan sedikit mencekam tidak mampu dihindari.

"Kenapa Ayah datang di sini?" tanya Wirya dengan sorot tajam. Langkah kaki pria itu kian mendekat ke arah ayahnya yang berdiri di pintu kamar. Bergeming di sana dengan tatapan penuh amarah.

"Seharusnya Ayah yang bertanya seperti itu padamu, Anak Sialan! Apa yang kau lakukan di sini berhari-hari di rumah ini sampai tidak bekerja dan pergi ke kantor!" Pak Indra semakin meradang serta menumpahkan semua emosi dalam kata-kata kasar.

"Aku su—"

Ucapan Wirya harus tertahan sejenak diakibatkan oleh tangisan keras yang dikeluarkan Laksmi secara mendadak dan sedang berusaha ditenangkan sang istri. Wirya tidak tega. Ia merasa sangat bersalah kini.

Semua disebabkan olehnya, Wirya menyesal karena tak dapat menahan keingintahuan tentang kehadiran ayahnya di kediaman Latri pagi ini. Semua tak sesuai dugaannya. Wirya pun sama sekali tak menyangka jika sang ayah akan datang menemuinya.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang