Di hari Sabtu pagi yang cerah ini, Wirya memanfaatkan waktu libur guna menemani buah hati kecil mereka bermain ayunan di halaman belakang rumah setelah selesai sarapan. Istrinya ikut serta, namun tak bermain.
Hanya duduk-duduk di bangku sembari memerhatikan saja. Keprotektifan yang ditunjukkan Wirya kepada istrinya tak satu hari pun pernah absen. Terlebih lagi, usia kandungan sang istri sekarang sudah memasuki minggu ke-16. Jadi, kesiagaan serta perhatian yang Wirya berikan juga kian besar untuk wanita yang dicintainya itu serta calon anak mereka.
"Keringat Laksmi keluar banyak. Pasti karena cuacanya mulai panas. Mau minum air, Nak?" Wirya menawarkan. Sementara, tangan kanan segera menghapus bulir-bulir keringat di dahi putrinya.
Laksmi pun menggeleng-gelengan kepala. Tidak ingin diganggu, manakala sedang asyik bermain ayunan. "Daa maauu." Penolakan diluncurkan batita perempuan itu dengan tegas.
"Papaa, yoo, yoooh," ucap Laksmi dengan semangat, bermaksud meminta sang ayah menggerakkan ayunan didudukinya .
Wirya mengulas senyuman lebih lebar, tatkala mendapatkan tatapan cukup sebal dari sang buah hati, karena ia tidak kunjung mengabulkan apa yang tadi diminta oleh putrinya itu. "Nggak capek, Nak?" Wirya bertanya lagi. Tujuan tentu masih sama.
Gelengan kepala dengan segera pula diperlihatkan oleh Laksmi sembari masih terus memusatkan pandangan pada sepasang mata sang ayah yang memancarkan sorot teduh dan penuh kasih untuknya. "Daaa." Batita itu melontarkan balasan yang hampir sama seperti beberapa menit lalu. Namun, hanya lebih singkat dan tak keras saja.
"Main ayunannya dilanjutkan nanti lagi, ya? Papa capek. Laksmi sekarang minum susu dulu biar cepat gede. Mau, Sayang?" Wirya belum usai bujuk putrinya. Ia harus berhasil.
Laksmi tidak langsung menjawab pertanyaan sang ayah. Sebab, batita perempuan itu tidak ingin berhenti bermain ayunan. Tetapi, penolakan juga tak ditunjukkan Laksmi. Dan, hanya terus memandangi ayahnya dengan mata yang tampak mengedip-ngedip polos beberapa kali kian menyesap jempol tangan kanan. Batita itu terlihat kian menggemaskan.
"Mau ya, Nak?" Wirya bertanya sekali lagi dalam nada lembutnya yang tak pernah absen saat menghadapi sang putri.
Kali ini, Laksmi mengangguk. "Iyahh." Lontaran sepatah kata pun jadi jawaban tambahan dari batita itu untuk sang ayah.
Wirya mengulas senyuman yang lebih lebar dari tadi. "Mau, Sayang?" tanyanya memastikan jika tidak salah dengar.
Anggukan kepala cepat ditunjukkan oleh Laksmi lagi. "Mauu." Selesai menjawab pertanyaan sang ayah, batita itu lantas mengulurkan tangan ke depan seraya menggerak-gerakkan kakinya yang mungil. Bermaksud minta dipindahkan dari ayunan sesegera mungkin oleh sang ayah tentu saja
"Paapaa." Rengekan kecil Laksmi keluar karena mulai tak sabaran akan apa diminta. Enggan menunggu lebih lama.
Dan setelah merasa nyaman serta juga aman berada dalam gendongan sang ayah, keriangan kini malah batita itu tunjukkan. Apalagi, ketika diajak berjalan mendekati ibunya. Laksmi pun semakin antusias. Atensi batita perempuan itu lalu tertuju pada piring berisi buah-buahan yang menjadi kesukaannya.
"Laksmiiii!"
"Keponakan cantik Om lagi ngapain?"
Dengan segera objek pandang Laksmi beralih ke arah lain, pada sosok sang paman. Kian merekahlah senyuman lucu batita itu karena senang pamannya datang. "Oumm... Oumm... Oumm," seru Laksmi dengan antusiasme yang kian tinggi.
"Iya, Cantik. Om datanggg!"
Kikikan tawa senang diloloskan oleh batita perempuan itu karena mendengar seruan sang paman. Senyuman semakin melebar, manakala pamannya mulai berjalan mendekat. Laksmi pun cepat mengulurkan kedua tangan ke depan, memberikan tanda bahwa minta digendong. Kaki-kakinya juga digerak-gerakkan.
"Oumm... Oumm. Siniii. Siniii!" Laksmi meluncurkan lagi panggilan. Mulai tidak sabar untuk menunggu sang paman.
"Iyapp. Om datanggg!"
Selesai luncurkan sahutan dalam seruan masih semangat, maka Wira yang baru saja berdiri di hadapan kakaknya, langsung mengambil alih Laksmi. Tentu, digendong. Lalu, dilakukan dekapan yang erat pada tubuh batita itu.
"Tumben datang kemari di hari biasa. Ada apa, Wira?"
"Sengaja kemari, mau beri tahu Bli kalau nenek Laksmi sedang sakit. Sudah sejak satu minggu kondisi Ibu kita nggak baik, Bli. Kesehatan Ibu menurun, dokter minta Ibu istirahat di rumah selama dua minggu ke depan. Tidak boleh pergi."
.............................
Tak hanya senyuman lucu lebar hingga memerlihatan gigi-gigi susu putihnya, Laksmi turut daratkan ciuman basah oleh air liur pada pipi kanan sang paman, setelah mendapat hadiah boneka beruang berukuran hampir sama dengannya. Laksmi senang karena punya mainan baru.
"Harus bilang apa dulu ke Om Wira, Nak?" Wirya ingatkan putri kesayangannya untuk mengucapkan terima kasih jika menerima sesuatu atau barang. Ia dan Latri sudah sepakat mengajarkan sejak dini buah hati kesayangan mereka.
Batita perempuan itu terlihat langsung mengalihkan perhatiannya dari boneka yang tengah dipegang ke sang ayah. "Matasi (Makasih)." Laksmi berujar dengan gaya cadelnya
"Terima kasih kembali, Cantik," sahut Wira riang. Lalu memberi kecupan pada pipi-pipi tembam sang keponakan yang kini duduk di pangkuannya akibat merasa gemas. Ia berhasil terhibur.
"Laksmi suka dengan boneka yang Om kasih tidak?" tanya Wira dalam nada canda yang semakin kental.
Batita itu pun menganggukkan kepala sembari menatap pamannya dengan binaran mata yang senang. "Iyaahh." Laksmi membalas semangat dalam seruan cukup lantangnya
"Teenaang (senang)." Suara milik batita perempuan itu pun mengeras, kala luncurkan sepatah kata sebagai jawaban tambahan. Keriangan Laksmi perlihatkan belum berkurang sejak beberapa menit lalu. Senyum lucu terus dipamerkan.
"Hahaha." Wira tidak bisa menahan gelak tawa. "Nanti Om beliin lagi boneka-boneka lebih gede lagi. Mau?" tawarnya.
Anggukan cepat dipamerkan Laksmi. Batita itu antusias dengan janji hadiah akan diberi sang paman nanti. "Mauuuu."
Wirya sukses dibuat tertawa karena aksi buah hatinya. Sedari tadi, memang lebih memilih diam. Tidak ikut dalam obrolan, Wirya cukup asyik memerhatikan interaksi antara adik dan sang putri yang menyenangkan untuk dilihat. Terutama bagi dirinya. Wirya belum pernah merasakan kebosanan.
"Lo nggak kerja hari ini, Kak?" Pertanyaan basa-basi dilontarkan Wira. Tentu, ditujukan untuk kakak sulungnya.
"Gue habis antar Latri periksa ke dokter kandungan."
Wira menganggukkan kepala ringan. "Gimana kondisi calon ponakan baru gue? Sehat-sehat saja, 'kan?" Rasa penasaran menghinggapi pria itu mendadak. Benar-benar ingin tahu.
"Keduanya sehat. Gue berharap akan terus seperti itu."
Wira cepat bisa menangkap kekhawatiran dalam suara berat sang kakak. Begitu juga dengan tatapan yang menyiratkan hal sama. "Astungkara." Ia mengamini dengan sungguh-sungguh.
"Lo harus selalu siap siaga dan juga jaga mereka, Bli. Cukup cuma waktu Laksmi aja lo lepas dari tanggung jawab karena longgak tahu Kak Latri lagi hamil saat itu." Wira mengingatkan. Agar kejadian dahulu tak terulang. Ia tentu ingin kakak ipar dan juga calon keponakannya baik-baik saja kedepan.
"Gue pasti akan jaga istri dan anak-anak gue. Mereka tanggung jawab gue sampai mati nanti. Gue nggak akan biarin orang lain mencelakai mereka. Gue akan jaga dengan baik."
Sorot keseriusan tepancar secara jelas pada kedua mata Wirya. "Termasuk, Ayah dan juga Ibu. Gue nggak akan pernah membiarkan mereka menyakiti Latri atau Laksmi. Calon putra gue juga." Wirya bertekad penuh. Berjanji pada diri sendiri.
"Iya, Bli. Gue percaya lo bisa menjaga kakak ipar serta keponakan-keponakan gue. Sudah jadi tanggung jawab lo untuk menjaga dan melindungi mereka." Wira memberikan dukungan.
"Kalau, lo butuh bantuan. Jangan ragu telepon gue. Lo dan gue memang harus saling membantu, Bli. Walau, lo sudah nggak lagi jalani perusahaan Ayah. Lo tetap saudara gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI PENDUSTA
Genel Kurgu[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat] "Aku sangat mencintaimu, Latri. Bagaimana bisa aku berselingkuh dengan yang lain?" "Bagaimana juga kalua kamu mendua bukan karena hati, melainkan untuk punya anak laki-laki, Wirya?" "Kamu sungguh...