Latri yakin jika pemberitahuan dari Wira kemarin, pasti dijadikan beban pikiran oleh sang suami. Pria itu masih memiliki kepedulian terhadap ibu mertuanya, meski sedang tidak bagus hubungan mereka karena konflik yang memenangkan ego.
Upaya membujuk sang suami untuk menjenguk sudah dilakukan. Namun, sama sekali tak diberikan respons. Ia punya niatan datang ke kediaman orangtua suaminya. Pasti, pria itu tidak akan mengizinkan. Belum lagi di sana nanti, ia menerima sambutan kurang baik atau bahkan diusir. Latri pun batalkan.
"Wi, aku. Beli buah kesukaan Ibu, tadi titip sama Mbak Mini yang kebetulan ke supermarket. Kamu bisa bawakan ke rumah Ibu nggak, Sayang? Sekalian kamu jenguk Ibumu, Wi."
Selepas kalimat-kalimatnya dilontarkan, Latri pun langsung menangkap perubahan ekspresi sang suami. Jadi, lebih tampak tegang. Dilihatnya juga, pria itu berhenti mengunyah makanan ada di dalam mulut. Arah pandang tidak tertuju kepadanya.
Kemudian, Latri meraih tangan kiri sang suami untuk ia genggam. Cara tersebut sering digunakan meredam rasa tidak nyaman yang melingkupi suaminya. Latri juga cepat mengulum senyum hangat, ketika kini pria itu memandang ke arahnya.
"Aku minta maaf karena aku terus bujuk kamu datang ke rumah Ayahmu dan menjenguk Ibu." Latri berujar serius.
"Mungkin kamu kurang suka sama kata-kataku, Wi. Tapi, selama menurutku hal itu baik dan perlu kamu lakukan. Aku akan terus minta kamu untuk menjenguk Ibumu, Wirya."
"Ibu tetap orangtua kamu. Aku tahu kamu kecewa dan marah. Tapi, jangan sampai menghilangkan rasa baktimu. Orangtua yang kamu punya masih lengkap. Sedangkan, aku? Nggak ada lagi Ayah dan Ibuku di dunia ini. Apa kamu paham?"
Latri tahu bahwa ia sudah terlalu banyak bicara. Tetapi, harus diutarakan semua yang dirasakan. Berharap juga jika sang suami akan mengerti. Tak menuruti ego menerus. Harus dapat disingkirkan sejenak. Terlebih, pada situasi-situasi tertentu.
"Aku ingin jenguk Ibu. Tapi, Ibu mungkin belum mampu terima kedatanganku. Dan, aku yakin kamu tidak bolehkan aku ke rumah orangtuamu, Wi. Tolong, jenguk Ibumu, Wi." Latri belum bosan terus membujuk. Ia percaya suaminya pasti akan berubah pikiran. Mau mengikuti apa yang disarankannya.
"Baik, Sayang. Baiklah. Aku jenguk Ibu. Apa aku boleh ajak Laksmi? Aku tidak bisa datang sendirian ke sana."
Tak butuh waktu lama bagi Latri menyetujui permintaan dari suaminya. Ia tentu mengizinkan. Bahkan, memang sudah patut putri kecil mereka ikut. Latri yakin Laksmi akan senang bertemu kakek dan juga nenek. Sudah lama juga tidak saling jumpa.
"Iya, Wi. Ajak saja Laksmi. Tapi, awasi anak kita terus di sana. Jangan dikasih nakal atau mengganggu neneknya yang lagi sakit. Termasuk, jangan diizinkan menginap. Karena, takut akan mengganggu waktu istirahat Ibumu nanti." Latri berpesan.
...........................................
Kaki-kaki kecil Laksmi kian melambat, tatkala berjalan memasuki area dalam dari kediaman megah nan mewah milik kakek serta neneknya untuk yang pertama kali siang ini. Sang ayah tentu mengajak Laksmi guna menjenguk neneknya.
Dua mata batita itu pun menunjukkan secara jelas sorot sedikit takut. Laksmi juga belum dapat merasa nyaman akan suasana sunyi dan juga sepi yang mendominasi rumah besar ini. Tak ada senyuman diperlihatkan batita perempuan itu. Dipeganglah tangan ayahnya masih secara erat, seakan minta perlindungan.
"Kakekk!" Seruan dengan suara cukup keras diloloskan oleh batita itu, saat melihat sosok sang kakek kembali setelah hampir tiga bulan lamanya tak bertemu. Laksmi tampak begitu senang. Perubahan terjadi secara cepat pada ekspresinya.
"Kakekk!" Batita pun perempuan itu berseru lagi seraya berlari cepat menuju sofa, di mana sang kakek tengah duduk. Laksmi semakin ceria, kala menangkap kakeknya bangun dan berdiri dengan posisi kedua tangan yang diulurkan ke depan.
"Endong ... Endongg." Celoteh terluncur dalam nada cukup keras, tetapi cadel oleh batita itu dan jadi tanda apa tengah diinginkan saat ini. Ya, digendong sang kakek tentu saja.
"Endong... Endong. Kakekkk!"
Pak Indra yang mendengar dengan nyata lontaran kata diserukan cucu beliau, segera berjalan mendekat ke sosok Laksmi yang berada satu meter di depan. Pak Indra pun miliki keinginan sama, yakni menggendong cucu perempuan beliau.
"Kakekk ... Kakekkk!"
"Iya, Laksmi. Ini Kakek." Pak Indra membalas, setelah berhasil mengangkat tubuh mungil Laksmi. Diberikan dekapan yang cukup erat, mengungkapkan kerinduan besar beliau.
"Om Swastyastu, Yah. Selamat siang."
Ketegangan pun langsung diperlihatkan Pak Indra, tatkala mendengar suara Wirya mengucap salam. Tatapan sarat akan kesinisan ditampakkan beliau juga. Sangat jelas menunjukkan bahwa kehadiran sang putra sulung tidak beliau harapan.
"Mau apa datang kemari, Wirya? Sudah berani injakan kakimu di rumah saya?" Pak Indra bertanya dengan dingin.
"Aku ingin menjenguk Ibu, Yah. Wira member tahu jika Ibu sedang sakit. Di mana Ibu sekarang?" Wirya berupaya untuk tak segera terpancing emosi, menjawab sopan. Ego disingkirkannya sejenak. Ia tetap harus hormati orangtuanya.
"Apa masih punya rasa peduli pada kami, setelah kamu puas bersikap melawan kami, Nak?" Pak Indra melontarkan tanya masih dengan kesinisan nyata beliau. Tatapan semakin menajam.
"Maafkan aku, Yah. Maaf kesalahan yang aku laku—"
"Kakekkk! Nenekk. Nenekk!"
Kata yang hendak Wirya lontarkan harus terpotong oleh seruan diluncurkan buah hatinya. Suasana yang begitu nyata tegang, seketika cair karena celotehan Laksmi. Batita perempuan itu sama sekali tak memahami perselisihan antara kakek dan sang ayah.
"Laksmi mau bertemu Nenek? Ada di kamar Nenek. Ke dalam Laksmi bersama Ayahnya Laksmi, jenguk Nenek. Pasti Nenek akan senang dan cepat sembuh." Pak Indra menjawab dengan suara lembut. Secara tak langsung pula memberi izin pada putra beliau menemui sang istri yang tengah jatuh sakit.
....................................
![](https://img.wattpad.com/cover/126886029-288-k866981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI PENDUSTA
General Fiction[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat] "Aku sangat mencintaimu, Latri. Bagaimana bisa aku berselingkuh dengan yang lain?" "Bagaimana juga kalua kamu mendua bukan karena hati, melainkan untuk punya anak laki-laki, Wirya?" "Kamu sungguh...