DUA BELAS

8.4K 658 14
                                    

Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu.

Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat.

Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini.

"Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah.

"Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu.

"Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor."

Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata guna membujuk putri kecil mereka. Dan, gelengan singkat yang dilakukan Laksmi dapat pula dirasakannya. Wirya pun tertawa.

"Laksmi tidak mau." Wirya menyampaikan reaksi buah hati mereka kepada istrinya. Yang lantas hanya dibalas dengan anggukan mengerti dan senyuman hangat sang istri.

"Aku berangkatnya jam sembilan nanti. Setelah Laksmi sudah tidur saja, Latri. Biar Laksmi tidak menangis."

Latri menganggukkan kepala kedua kali sebagai balasan. "Pulang jam berapa kira-kira nanti, Wi?"

" Bisa jangan lembur? Pulang cepat gimana, Wi?"

"Jam enam akan aku usahakan sampai di rumah, Latri."

"Ada apa? Tidak biasanya memintaku agar pulang lebih cepat. Kenapa, Sayang?" tanya Wirya kemudian penasaran.

Kuluman senyum Latri pun bertambah, tatkala matanya dan sang suami saling bersirobok. "Hari ini ulang tahun Ibumu, Wi. Apa kamu tidak ingat sama sekali? Sudah lupa?"

Kedua kaki Wirya tiba-tiba mengalami gangguan, manakala hendak dilangkahkan menuju ranjang disebabkan oleh pertanyaan dari sang istri.

Padahal jarak lantai kamar yang dipijaki olehnya tak terlalu jauh dengan tempat tidur, tapi Wirya merasa cukup sulit untuk berjalan. Tetapi, sedetik kemudian pria itu sudah sedikit berhasil meraih pengendalian diri.

"Aku tidak ingat," jawab Wirya dingin. Acuh tak acuh.

"Maka dari itu aku ingatkan." Latri pun membalas cepat.

"Kamu tidak boleh begitu, Wi. Kamu harus ingat."

"Semarah apa pun kamu dengan Ibu dan Ayah. Mereka itu tetaplah orangtua kamu, Wirya. Hubungan keluarga tidak bisa diputuskan." Latri coba untuk memberikan pengertian dari sudut pandangnya. Namun, tak ada tanggapan dari sang suami.

"Temui Ibu, Wi. Bilang kalau kamu sayang dengannya. Apa itu sulit kamu lakukan?" Latri tetap berusaha meyakinkan. Usapan lembut di bagian lengan atas suaminya diberikan.

"Aku akan pikirkan lagi, Latri. Aku putuskan nanti."

"Maamaaa ...," Suara Laksmi terdengar bersamaan dengan batita itu yang kini mengulurkan tangan ke arah ibunya, bermaksudminta digendong cepat, kali ini.

Tidak butuh waktu lama bagi Latri memindahkan tubuh kecil putri mereka yang saat ini sedang menguap, lalu ia didudukkan di atas pangkuan. "Laksmi mau bobok sekarang?"

Usapan halus dilakukannya oleh Latri di helaian rambut yang tak terlalu lebat buah hati mereka. "Pasti udah ngantuk ini Laksmi. Tadi bangunnya pagi bareng dengan Mama."

"Latri ...," Wirya menggumamkan nama istrinya dengan lembut setelah tadi selama beberapa menit tak bersuara. "Aku akan ajak kalian ke rumah Ayah dan Ibu nanti sore."

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang