DELAPAN

9.2K 707 18
                                    

Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab.

Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda.

Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan.

Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung.

"Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?"

Wira memasang ekspresi datar saat menerima ucapan yang terkesan mengancam dari kakaknya. Ia tidak merasa takut atau terganggu, tetapi sedang malas menanggapi hal yang sama. Tak hanya sekali, namun sudah berulang kali.

"Wira?"

"Besok gue mulai ngantor dan kerja. Kemarin gue baru aja datang dari Singapura. Masih capek," sahut Wira pada akhirnya. Jika ia tak menjawab, maka sang kakak tak akan puas.

"Buat apa lo ke Singapura? Setahu gue, perusahaan nggak punya jadwal perjalanan bisnis dengan mitra di sana bulan ini."

"Ada urusan pribadi." Wira lantas membalas singkat.

"Urusan pribadi apa?" Wirya lantas bertanya karena tiba-tiba saja ingin tahu.

"Sejak kapan lo tertarik bahas urusan pribadi gue, Kak?" Wira seolah-olah tak menanggapi dengan positif.

Sementara itu, Wirya memilih untuk diam. Tidak melanjutkan topik yang baru mereka bincangkan. Tak berniat memperdebatkan hal tidak penting. Kehidupannya sendiri sudah cukup rumit saat ini. Masalah rumah tangga belum juga mampu diselesaikannya.

"Gimana kabar kakak ipar dan calon keponakan gue?"

Wirya menggeleng pelan. Tatapannya terlihat sayu. "Gue belum tahu Latri dimana. Ibu juga bilang nggak tahu apa-apa."

"Lo mau menyerah, Kak?" Wira pun memancing dengan pertanyaannya.

"Gue nggak mungkin akan nyerah sebelum benar-benar mastiin dimana Latri dan calon anak gue berada."

Tanpa Wirya ketahui, sang adik lalu tersenyum penuh arti selepas dirinya selesai dengan kata-kata sarat akan keyakinan tinggi. Harapan besar juga terselip di dalamnya. Sementara itu, atensi Wirya cukup tersita ke layar ponsel Wira yang sedang menyala dan Terdapat gambar bayi perempuan.

"Anak siapa yang lo jadiin sebagai wallpaper, Wir? Bukan darah daging lo dari pacar 'kan?"

Wira tertawa pelan. Tak seharusnya ia menertawakan pertanyaan konyol dari sang kakak. Tapi, ia juga tidak dapat menahannya. "Gue bakalan mikir panjang kalau mau punya anak sebelum menikah."

"Lo mau nggak gue kenalin sama bayi cantik itu dan ibunya, Kak?"

"Apa gue kenal mereka?" tanya Wirya balik. Mendadak, dirinya pun diselimuti rasa penasaran.

Sementara, Wira menatap sang kakak begitu serius. "Tentu saja. Kalau gue bilang bayi itu adalah anak lo dan Kak Latri. Apa lo akan dapat percaya, Kak?"

Keterkejutan tak mampu Wirya sembunyikan. "Lo... Lo tahu dimana Latri dan anak gue berada?"

"Anak gue udah lahir? Dia cewek? Kapan, Wir? Kenapa lo nggak bilang sama gue?"

Wira masih menatap cukup lekat sang kakak. Jika sudah melihat sorot kefrustrasian di mata kakaknya, Wira tak akan pernah tega. "Ceritanya panjang. Tapi, gue akan jawab satu-satu."

"Lo bisa jelasin nanti. Sekarang, gue mau ketemu Latri dan anak gue."

"Gue bukannya nggak mau ngajak lo ketemu Kak Latri. Tapi, Kak Latri pesan ke gue. Kalau dia belum bisa ketemu sama lo sampai beberapa hari kedepan."

================================

"Siapa namanya?" tanya Arsa guna mencoba memulai obrolan ringan bersama Latri. Ia juga merasa cukup penasaran akan nama sosok mungil yang kini sedang terlelap damai dalam gendongan mantan istrinya.

"Laksmi Pudja Devi, Sa," balas Latri cepat. Perhatian wanita itu teralihkan sejenak dari putri kecilnya dan lantas memandang ke arah Arsa yang duduk di salah satu single sofa, tepat di sisi kanannya.

"Nama yang bagus dan cantik. Aku akan memanggil anak kamu dengan nama Laksmi saja. Boleh, Latri?"

"Iya, boleh-boleh saja, Sa."

Arsa mengembangkan senyumannya di bibir secara tulus. "Apa aku boleh menggendong Laksmi sebentar?"

Latri menganggukkan kepala kecil, mengiyakan saja permintaan mantan suaminya. Ia kemudian bersiap-siap guna memindahkan tubuh kecil sang putri untuk diserahkan kepada Arsa. Latri pun lalu mengulum senyuman simpul saat melihat kegugupan pria itu menggendong putrinya.

"Rileks aja, Sa. Laksmi nggak akan bangun."

"Aku agak gugup, Latri. Ini pertama kali gendong bayi yang usianya tidak genap tiga bulan," ujar Arsa seraya mencoba meraih ketenangan kembali dalam menggendong tubuh mungil Laksmi. Sementara, putri kecil dari mantan istrinya itu masih terlihat terlelap dengan damai dan nyenyak.

"Aku pikir Laksmi adalah anakku."

Kali ini, senyum Latri tidak mampu ditunjukkan selebar tadi. Dirinya kurang merasa nyaman akibat ucapan dari sang mantan suami. "Tidak, Sa. Latri adalah anakku dan Wirya."

"Aku baru tahu kalau lagi hamil empat bulan waktu pernikahan kami memasuki usia lima bulan," jelas Latri lebih lanjut supaya tak tercipta kesalahpahaman tentang status putri kecilnya.

"Maaf soal perkataanku barusan jika menyinggung," ujar Arsa meminta maaf sungguh-sungguh sebab merasa tidak enak serta sedikit bersalah.

"Nggak apa-apa, Sa." Latri mengukir senyuman tulusnya lagi. Ia tidak terlalu ingin mempermasalahkan hal tersebut.

Arsa menatap sepasang mata milik mantan istrinya dengan lekat. Sorot luka serta kerapuhan begitu terpancar sangat jelas di dalam sana. "Kamu harus segera sembuh dan bisa jalan kembali, Latri. Demi Laksmi sama mendiang anak kita."

"Aku yakin kamu dapat menjadi wanita yang lebih kuat dari dulu. Aku akan siap membantumu kapan saja, Latri." Arsa menambahkan. Ia selalu bersedia memberi bantuan dan juga dukungan penuh kepada mantan istrinya itu.

"Astungkara, Sa."

"Apa Wirya sudah mengetahui jika Laksmi lahir?" Arsa bertanya. Jujur saja, ia sangat berkeinginan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah ini.

Seandainya Wirya tidak mendengar kabar kelahiran Laksmi, maka Arsa akan menemui pria itu sesegera mungkin. Menceritakan semuanya. Termasuk perbuatan jahat yang telah dilakukan Ibu Wirya.

Latri menggeleng pelan. "Aku be-"

"Gue sudah tahu."

Keterkejutan seketika menghinggapi diri Latri mendengar suara dari sang suami yang sangat familier baginya menggema di ruang tamu. Dan tak berapa lama-hanya berselang lima detik-kemunculan sosok Wirya di depan matanya membuat rasa kaget wanita itu semakin bertambah.

"Wi ...," Latri pun lantas menyebut nama suaminya dengan lirih. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Wirya akan datang ke rumahnya begitu cepat.

"Kenapa kamu bisa ada di sini, Wi?"

Dan tatkala mata Wirya serta Latri saling bersinggungan untuk yang pertama kali, setelah sekian lama tak berjumpa, pria itu dilanda kesesakan yang menyakitkan bahkan rasa perih di bagian dada. Wirya tidak sanggup melihat kepedihan pada sepasang manik cokelat istrinya yang terus saja ia rindukan.

"Apa aku tidak boleh datang ke sini menemui kamu dan anak kita, Latri?"

Latri kehilangan kemampuan bicara ketika sosok sang suami yang kini tengah berada dalam posisi berlutut di hadapannya. "Bu...bukan seperti itu, Wi. Apa Wira yang memberi tahu kamu kalau aku sudah pulang dari luar negeri?"

Tanpa menjawab pertanyaan Latri terlebih dahulu, Wirya langsung mendekap erat istrinya. "Aku rindu kamu, Sayang. Aku merindukanmu."

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang