Latri sudah pulang dari rumah sakit sejak satu minggu yang lalu. Ia belum sembuh total, harus tetap beristirahat. Latri pun lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Sang suami melarangnya beraktivitas seperti biasa. Termasuk juga, mengurus buah hati mereka. Hanya fokus pada penyembuhan.
Sementara waktu, Laksmi pun dititipkan di kediaman kedua mertuanya. Latri tentu merasakan rindu pada batita perempuan itu. Ia ingin berjumpa. Namun, sang suami belum mengizinkan. Latri memilih menurut karena enggan timbulkan perdebatan baru.
"Aku ingin masuk ke ruangan ini. Tapi, apa aku akan sanggup menahan kesedihan? Apalagi, aku sudah ingin belajar merelakan kepergian anakku," gumam Latri dengan nada lirih.
Tangan kanannya yang tengah diletakkan di gagang pintu ruangan disiapkan khusus bagi calon buah hati mereka, mulai bergetar. Sedangkan, pelupuk mata Latri juga telah berair dansangaf siap jatuh ke pipi-pipinya beberapa detik lagi.
"Aku ingin masuk. Ta... tapi, bagaimana caraku atasi kesedihanku ini? Ak... aku belum bisa untuk mengikhlaskan putraku sendiri. Ke... kenapa dia harus pergi dengan begitu cepatnya?"
Tepat setelah seluruh kalimat selesai terucap, diiringi oleh tangisan pilu, maka Latri lalu merosotkan tubuhnya ke bawah. Ia terduduk di lantai. Kekuatan kedua kakinya untuk berdiri sudah berkurang drastis. Didukung pula dengan keseimbangan yang tidak bisa dijaga serta kepeningan tiba-tiba di kepalanya.
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Wirya khawatir.
Kala, sudah menangkap gelengan kepala lemah dari sang istri sebagau balasan, tanpa keluarkan sepatah kata. Wirya pun tak bertanya lebih lanjut, meski kurang yakin akan respons sang istri. Ia memilih untuk mempererat dekapan saja pada tubuh wanita itu.
"Aku sudah mendingan, Ta. Jangan cemaskan aku terus, ya kamu. Aku nggak akan jadi wanita yang lemah. Aku akan berusaha cepat bangkit. Aku ingin kamu membantuku, beri aku dukungan."
Wirya refleks mengangguk. Menatap semakin lekat sang istri sembari menguatkan pelukan. "Iya, Sayang. Aku akan memberikan dukunganku selalu. Aku akan selalu berada di sisimu, Latri. Kita akan hadapi cobaan ini bersama. Aku percaya kita tambah kuat."
"Ada pembelajaran yang akan kita dapat, Sayang. Bukan salah kamu karena calon bayi kita meninggal." Wirya dengan lembut membisikkan kata-katanya pada telinga kanan sang istri.
Air mata yang coba ditahan untuk lolos, tak bisa dicegah lagi. Wirya mulai mengisak pelan, dalam suara yang teramat kecil. Ia belum memindahkan pusat atensi dari sepasang manik beriris hitam milik sang istri yang juga sudah digenangi cairan bening. Mereka tengah sama-sama merasakan kehilangan mendalam.
"Aku yang salah, Sayang. Aku minta maf tidak bisa menjagamu dan calon anak kita dengan baik. Aku tidak berguna. Aku tidak mampu menjalankan kewajiban secara benar. Maafkan aku," ujar Wirya begitu lirih.
Kemudian, tangisannya pun semakin menjadi menerima pelukan dari sang istri. Ia tersentuh sekaligus merasa sakit di dalam dadanya. Beban berat yang dipikul kian menyiksa. Namun, ia hanya mampu menyimpan seorang diri. tak mungkin dikatakan pada istrinya untuk saat ini. Wirya juga enggan mengingkari janji yang telah disepakati. Ia harus tetap melakukan agar semua aman.
"Tidak, Wi. Kamu nggak salah. Kamu merupakan suami dan ayah yang bertanggung jawab pada keluarga kita. Kamu janganlah menyalahi dirimu atas semua kejadian buruk yang menimpa kita."
"Semua mungkin harus terjadi kayak begini, Wi. Rintangan kita buat mendapatkan kebahagiaan diuji dengan cara menyakitkan ini. Kita nggak bisa menghindar, sudah takdir yang berjalan. Kita harus menghadapi, sekalipun kita belum siap semua menimpa."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI PENDUSTA
Ficción General[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat] "Aku sangat mencintaimu, Latri. Bagaimana bisa aku berselingkuh dengan yang lain?" "Bagaimana juga kalua kamu mendua bukan karena hati, melainkan untuk punya anak laki-laki, Wirya?" "Kamu sungguh...