EMPAT

14.1K 802 34
                                    

Wirya hanya menggunakan Senin hingga Sabtu mengurus pekerjaan kantornya. Dan setiap hari Minggu, ia akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Latri. Wirya sudah terbiasa untuk menemani istrinya melakukan serangkaian latihan fisik dalam proses fisioterapi yang tengah dijalani.

Wirya memang sengaja memanggil beberapa terapis terbaik sejak dua bulan lalu ke rumah guna membantu Latri. Ia juga membeli sejumlah alat-alat terapi dan gym yang dapat membantu wanita itu selama masa penyembuhan. Wirya mendukung secara penuh keinginan sang istri untuk sembuh dan bisa berjalan lagi tanpa operasi.

"Aku bisa, Wi," ucap Latri disertai senyuman cukup lebar disaat melihat sorot kekhawatiran di sepasang mata sang suami yang berdiri di depannya. Wanita itu sendiri sedang berada di tengah-tengah paralel bar, melatih kakinya berjalan.

"Tidak, aku tetap mengawasi di sini. Hati-hati melangkahnya su—" Wirya belum sempat menyelesaikan kata-katanya saat tiba-tiba saja tubuh Latri oleng dan nyaris jatuh ke lantai. Tapi untunglah, ia begitu cepat sigap dan menangkap tubuh istrinya.

"Kakiku kayaknya keseleo." Latri berujar pelan dan menahan ringisan karena merasa sakit yang cukup kuat pada bagian pergelangan kaki kanannya.

Tanpa menunggu waktu lebih lama, Wirya segera menggendong istrinya dan berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan, dimana sofa panjang terletak. Raut kecemasan tampak nyata di wajah pria itu. Ia tidak akan pernah senang jika terjadi hal buruk pada istrinya.

"Mana yang sakit?" Wirya langsung saja bertanya sesaat setelah berhasil mendudukkan sang istri di atas sofa. Ia tampak belum bisa tenang.

Wirya kemudian mengambil posisi setengah bersimpuh di depan Latri sembari memegang salah satu kaki istrinya itu yang terlihat merah dan bengkak. "Aku sudah bilang hati-hati. Tapi, malah tidak didengarkan."

"Maaf," ucap Latri tak enak karena ia bersalah. Terlalu percaya diri jika mampu memfungsikan kaki-kakinya dengan baik.

"Kita ke dokter saja, Latri."

"Aku pikir cuma keseleo. Kita tidak perlu pergi ke dokter. Mungkin habis dikompres air hangat sakitnya akan berkurang." Latri menolak halus. Ia terkadang tidak suka dengan rasa cemas berlebihan suaminya yang dari dulu tak berubah.

"Menurutku fisioterapi ini lumayan berat bagimu, Latri. Apa kamu tidak ingin operasi saja di Jepang? Aku akan mengurus semuanya. Berapa pun biaya yang dibutuhkan. Aku siap membayar demi kesembuhanmu."

Latri menggeleng seraya tak melepas tatapan pada sosok Wirya yang juga sedang memandangnya dengan sorot kasih sekaligus memohon. "Tidak, Wi. Aku tidak ingin dioperasi. Walau fisioterapi perlu waktu yang lebih lama. Terima kasih sudah peduli pada kondisiku."

"Kamu istriku. Aku akan melakukan yang terbaik supaya kamu kembali dapat berjalan seperti dulu." Wirya menanggapi serius keformalan yang tadi ditunjukkan Latri.

"Semua itu kamu lakukan karena tidak ingin punya istri yang cacat dan hanya bisa menghabiskan waktu di kursi sepertiku 'kan, Wi?"

Keterkejutan menghinggapi Wirya mendengar lontarkan pertanyaan dari Latri yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Aku tidak sedikit pun malu. Aku cuma ingin supaya kamu cepat sembuh tanpa harus menderita mengikuti fisioterapi. Kalau dengan operasi kamu bisa berjalan kembali."

"Ikuti saja permintaan anak Ibu, Nak. Jangan banyak menyusahkan putra Ibu lagi karena kecacatanmu."

Latri dan Wirya hanya bisa diam seribu bahasa ketika suara milik Ibu Ratna menggema di sekitar mereka. Sosok ibu kandung Wirya itu sedang berdiri di depan pintu ruangan seraya melayangkan tatapan cukup tajam ke arah menantu beliau.

"Lagipula, kalian sudah hampir tiga bulan menikah. Tapi, Latri belum juga mengandung. Ibu tidak mampu menjamin kebohongan kalian akan bisa awet sepulang Ayah dari Jepang seminggu lagi." Ibu Ratna dengan tenang melanjutkan ucapan beliau yang sarat akan sindiran.

===============================

"Apakah ketulusan anak saya dalam mencintai kamu harus diragukan lagi, Nak Latri? Dia tidak ragu melakukan apa pun hanya demi membuktikan perasaanya."

"Jika kamu tidak dapat mencintai anak saya, jangan pernah kecewakan Wirya lebih banyak lagi. Kebaikan anak saya tidak seharusnya kamu dimanfaatkan, Latri."

"Anak saya bahkan pantas mendapat pendamping hidup yang jauh lebih sempurna. Andai Wirya tidak teguh memegang janji yang dibuatnya pada mendiang ayahmu. Saya yakin dia akan mencari wanita lain yang dapat mencintainya dengan tulus."

Kesesakan menghantam dada Latri semakin kuat ketika ucapan-ucapan bernadakan sinis yang pernah ibu mertuanya katakan beberapa waktu lalu. Hal tersebut setidaknya dapat menciptakan kesadaran dalam diri Latri tentang cinta Wirya yang besar padanya. Sedangkan, ia tak kunjung membalas perasaan pria itu. Latri kian merasa tak enak.

"Apa kamu masih memikirka kata-kata Ibuku kemarin?"

Segala bentuk pemikiran yang tadi sempat membuat Latri melamun pun buyar, tatkala sentuhan tangan Wirya terasa di bagian pipi kanannya. Dan manakala Latri memandangi wajah suaminya, tak ada tercipta senyuman di sana. Ekspresi datar mendominasi dilengkapi sorot mata tajam yang terarah padanya.

"Sedikit, Wi," balas Latri jujur. Ia tak mungkin berbohong untuk masalah ini. Senyuman tipis terbentuk oleh masing-masing sudut bibirnya.

Sementara, Wirya tak menunjukkan reaksi. Walau dentangan waktu terus berjalan pagi ini dan mengingatkan bahwa ia harus segera berangkat ke kantor, tetapi Wirya tidak berniat beranjak dari tempat tidur. Tak mau meninggalkan istrinya dalam kondisi tidak baik.

"Aku lihat kaki kamu masih bengkak, Latri. Kalau begitu kita periksa ke dokter. Aku tidak akan bekerja hari ini," beri tahu Wirya dengan suara beratnya sambil terus menatap Latri yang hanya memandang lurus ke depan.

Wirya menyadari betul jika sang istri terbebani dengan ucapan sarkasme ibunya kemarin. "Sudah aku bilang jangan pikirkan kata-kata Ibu. Aku tidak akan pernah membiarkan Ibu menyakitimu, Latri."

"Tapi, perkataan Ibu kamu memang ada benarnya. Kondisiku sekarang cuma bisa menyusahkanmu, Wi."

Wirya berdecak. Jelas, ia tidak suka akan deretan kalimat yang baru saja dilontarkan istrinya. "Aku tidak merasa disusahkan sedikit pun, Latri. Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak."

Selepas menangkap nada sarat emosi dalam suara berat Wirya, Latri lantas memandangi suaminya itu. Walaupun hanya sebentar karena ia kembali memfokuskan atensi ke arah lain agar tak perlu bersitatap dengan Wirya.

"Mungkin kalau kamu tidak memiliki janji menjagaku pada almarhum ayah. Aku rasa kamu akan hidup bahagia bersama wanita lain yang jauh lebih sempurna dariku."

Wirya lagi-lagi harus mengeluarkan decakannya. "Ck. Apa menurutmu aku bisa lepas tangan setelah Ayah dan Ibu cuma ingin mengicar saham yang ditinggalkan Ayahmu, Latri?"

"Aku tidak akan membiarkan mereka lebih menyakitimu cuma karena harta dan saham."

Kali ini mata Wirya dan Latri saling beradu. "Beri aku kesempatan supaya aku bisa membuktikan keseriusanku dalam melindungimu, Latri. Meski, kamu belum bisa mencintaiku saat ini. Aku tidak akan memaksa."

Latri ingin sekali menanggapi ucapan Wirya sebenarnya. Namun, wanita itu urungkan karena timbul rasa mual yang kian hebat. "Wi, aku bisa minta tolong ambilkan kursi roda? Aku mau ke kamar mandi. Mau muntah."

Wirya pun segera bertindak. Ia lantas bangun dari tempat tidur, melangkah cepat mengambil kursi roda istrinya yang ditempatkan di sudut lain kamar. Sedikit jauh dari ranjang. Kemudian, Wirya membantu Latri berpindah duduk ke atas kursi roda.

"Apa maag kamu kambuh lagi?"

"Mungkin." Latri menjawab singkat pertanyaan yang diajukan oleh sang suami.

Dan ketika bisa membaca pergerakan Wirya yang hendak mendorong kursi rodanya ke kamar mandi, wanita itu berucap, "Aku bisa sendiri. Kamu diam di sini saja, Wi."

................................

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang