DUA PULUH TIGA

5.4K 444 14
                                    

"Mamaa ...," panggil Laksmi seraya memandang sang ibu dengan cukup lekat yang sedang tidur di sebelahnya kini. Tatapan polos disuguhkan batita itu.

"Kenapa tumben bangun malam-malam begini, Nak? Haus pasti, ya? Mau minum susu?" Latri bertanya dalam suara yang terdengar sedikit parau karena menangis.

Laksmi mengangguk lemah beberapa kali. "Suusuusuu," seru batita perempuan itu dengan nada yang lucu, walau tidak keras.

"Mama." Laksmi memanggil kembali,tatkala ibunya telah beranjak bangun. Batita perempuan itu juga segera ikut mengubah posisinya dari berbaring jadi duduk, hanya sebentar. Karena, Laksmi kemudian meminta dipangku sang ibu.

"Susu...susuuu." Laksmi merengek manja. Akan tetapi, kala dot botol didekatkan oleh ibunya. Batita itu tak ingin minum, menutup mulut rapat-rapat dan menggeleng.

"Ini susu punya Laksmi. Kenapa nggak mau minum?" tanya Latri keheranan, tidak mampu mengerti apa yang putri kecilnya tengah inginkan kini karena pengaruh pertengkaran tadi bersama suaminya. Pikiran Latri kacau. Kepalanya pusing.

"Susuuu." Laksmi masih keluarkanrengekan cukup keras. Kali ini diikuti percobaan memasukkan tangan kanan mungilnya yang mungil kini ke dalam baju sang ibu.

"Mau mimik ASI, Sayang?" Latri mengulum senyum, meski tidak lebar ketika sudah dapat memahami dengan benar keinginan putrinya. Namun, Latri sedikit ragu mengabulkan.

Semenjak menginjak umur satu tahun, Laksmi sangat jarang mau minum ASI lagi, lebih memilih susu formula. Latri pun tidak memaksa buah hatinya. Namun, malam ini Laksmi malahan menagih setelah hampir dua bulan lebih berlalu.

Hal tersebut membuat Latri bimbang. Ia sedang hamil, apalagi didukung kondisi tubuh yang sekarang tak sehat. Jadi, wanita itu memutuskan tidak akan memenuhi keinginan sang buah hati. Walau, tak akan pernah tega.

"Laksmi mimik susu dulu, ya. Mama lagi pilek. Besok kalau Mama sudah mendingan, Laksmi boleh mimik ASI, kok." Latri coba memberikan pemahaman. Meski, ia yakini tidak mudah.

"Susu...susuu." Rengekan dilengkapi keluarnya air mata kali ini dikeluarkan oleh Laksmi. Di atas pangkuan sang ibu, batita itu tidak dapat duduk diam. Laksmi terus merengek karena kemauannya tak mampu dipenuhi sang ibu.

Latri pun dibuat bingung dengan tingkah dari buah hatinya. Namun, ia tetap saja berupaya menenangkan agar sang putri tak tambah menangis. "Maaf, Mama belum bisa kasih ASI dulu ke Laksmi. Sekarang minum susu yang di botol ya, Sayang?"

"Laksmi nggak boleh nan—" Ucapan Latri terpotong akibat pusat perhatian wanita itu berhasil tersita sekian detik ke arah pintu kamar yang dibuka dari luar olehsuaminya. Dikala harus beradu pandang dengan sosok sang suami, Latri menjadi benar-benar dinaungi amarah dan kian emosi.

Kemuakan di dalam diri Latri sangat cepat bergejolak. Rasa benci ikut hadir begitu saja mengingat kembali kesalahan fatal yang diperbuat oleh Wirya kepadanya di masa lalu. Entah, ia akan dapat memaafkan atau tidak nantinya. Satu yang pasti, dirinya merasa begitu kecewa. Membuat kesesakan di dalam dada bertambah.

"Papa...," panggil Laksmi pasca sadar akan kehadiran dari sang ayah. Batita itu pun berjalan dengan cepat ke tepian tempat tidur, dimana ayahnya tengah berdiri di sana.

"Laksmi kenapa bangun?" tanya Wirya saat sang putri telah digendongannya.

"Susuu," gumam Laksmi seraya merebahkan kepala di bahu ayahnya manja. Air mata batita itu tak masih jatuh.

Sementara, Latri langsung menolehkan kepala ke sudut lain ruangan, kala suaminya terus berupaya supaya terjadi kontak mata yang lebih lama lagi di antara mereka. Namun, Latri tak ingin. Ia bisa saja terbawa emosi seperti dua jam lalu, saat mereka bertengkar di ruang tamu. Latri lantas memutuskan untuk turun dari tempat tidur, meraih tongkat bantu jalannya. Ia segera berjalan mendekat ke suaminya. "Aku boleh minta bantuan?"

"Tolong tidurkan Laksmi, ya. Aku lagi tidak enak badan," pinta Latri. Walaupun, suaranya tetap dialunkan lembut. Ada nada dingin yang terselip jelas.

"Iya, kamu istirahat saja, Sayang. Biar aku jaga Laksmi malam ini," jawab Wirya. Ia hendak menyentuh wajah istrinya, namun buru-buru ditepis.

"Tolong jaga sikap kamu dulu, Wi. Aku masih berusaha tidak menambahkan rasa benciku," peringat Latri serius. Tatapan wanita itu menajam seiring nada sinis bertambah dalam suaranya.

"Satu lagi, Wirya. Mungkin mulai malam ini lebih baik kita berdua tidak tidur sekamar dulu. Aku muak melihat topeng kebaikan yang kamu gunakan menutupi perbuatan burukmu."

........................................................

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang