DUA PULUH DELAPAN

4.9K 378 37
                                    

Langkah kaki Latri seketika terhenti, kala rasa sakit serta nyeri menyerang perutnya secara tiba-tiba dengan cukup kuat. Pegangan wanita itu pada gagang pintu kamar mandi juga mengerat. Dan, Latri tetap coba untuk menjaga keseimbangan tubuh agar tak jatuh ke bawah dan berisiko bagi kandungannya.

Mengingat, kedua lutut Latri ikut terasa kian melemah jika harus berdiri lebih lama. Namun, wanita itu tak akan ingin cepat menyerah. Latri berupaya keras untuk menahan sakit di perut. Sementara, kucuran keringatnya turun banyak menuruni pipi.

"Aku pasti bisa melewati semua," gumam Latri pelan. Tetapi, penuh keyakinan. Tak berhenti menyugesti dirinya.

Walau berat, Latri tidak pernah absen melantunkan doa di dalam hati. Berharap Tuhan akan memberi kekuatan lebih untuk mampu bertahan selama mungkin,juga menjaga baik calon buah hati mereka sampai tiba waktunya melahirkan nanti."Yang sabar, ya, Sayang. Kita pasti bisa. Kita kuat."

"Mama janji akan terus bertahan. Apa pun yang akan terjadi nanti," lanjut wanita itu dengan optimis. Ia tidak boleh pesimis, harus yakin Tuhan selalu menyertai jalan hidupnya.

Latri tidak dapat menahan bendungan air mata yang keluar. Hatinya masih terasa diiris karena harus mengakui kenyataan jika kandungan dan nyawa bayi yang tumbuh di rahimnya tidak baik-baik saja. Bahaya selalu siap mengintai kapanpun. "Mama pasti akan selalu melindungimu, Sayang."

"Mama sayang kamu, Nak," ujar Latri sembari menaruh tangannya di atas perut. Dilakukan usapan halus lalu di sana.

................................................

Wirya telah berdiri di depan pintu kamar mandi hampir 20 menit. Ia belum ingin beranjak pergi dan menunggu sang istri sampai keluar dari dalam. Meskipun, serangan rasa kantuk semakin menjadi. Wirya sengaja tidak tidur. Takut jika terjadi sesuatu buruk tak diinginkan olehnya.

Entah kenapa, kecemasan akan keadaan dari sang istri selalu menghantuinya. Namun, Wirya menunda sejenak niatan untuk mengentuk pintu kamar mandi. Dan dengan segera pula, pria itu berubah pikiran setelah samar-samar mendengar suara isakan dari dalam. "Latri, kamu kenapa?" Kalimat tanya yang didominasi nada khawatir diluncurkan oleh Wirya.

"Apa yang terjadi, Sayang?"

"Latri ...," Pria itu memanggil sekali lagi dalam intonasi yang lebih dikeraskan. Tetapi, tetap tak diperoleh respons sama sekali. Alhasil, Wirya memutuskan cepat-cepat membuka pintu kamar mandi untung tidak dikunci istrinya.

Wirya dapat sedikit bernapas lega tatkala melihat sosok wanita itu, namun hal tersebut hanya berlangsung sesaat saja, seperkian detik. Karena, pria itu mendadak merasakan sesak luar biasa menyaksikan istrinya berlinang air mata, kini. "Latri, ada apakah? Kenapa kamu menangis, Sayang? Apa yang terjadi?"

Tanpa menunggu untaian kata-kata terlontar dari mulut Latri lebih dahulu, Wirya memilih mendekap erat. "Aku di sini bersamamu, Sayang. Jangan menangis seperti ini."

"Katakan kepadaku. Jangan seperti ini. Aku tidak kuat kalau kamu harus menderita lagi." Wirya semakin mengeratkan lingkaran tangannya di tubuh sang istri. Tanpa terasa, pelupuk mata pria itu kini juga digendangi oleh cairan bening, walaupun tidak deras. Hati Wirya seakan terus tersayat tajam.

Latri mendengar semua kata yang dilontarkan sang suami. Namun, ia belum mampu menjawab. Terlalu sesak rasanya untuk sekadar membuka bibir atau berbicara. Sedangkan, tangisan Latri belum mereda seiring dengan ketakutan di dalam dirinya yang semakin besar dan terus menjadi-jadi. Sungguh, tak bisa tenang.

"Aku di sini bersama kamu, Sayang. Jangan menangis, aku mohon. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini." Kelirihan terdengar nyata dalam suara berat Wirya. Ia tidak tahu harus berbuat apa supaya bisa menenangkan sang istri.

"Aku takut, Wi. Aku sangat takut." Latri akhirnya mau bersuara dan mengungkap kecemasan yang membelenggu.

"Apa yang kamu sedang takutkan, Latri? Ceritakan padaku. Beri tahu aku sejujurnya, Sayang." Wirya meminta.

Latri balas memeluk suaminya dengan erat, berupaya mencari kenyamanan yang bisa membuatnya merasa tenang lagi. "Aku sangat takut mengalami keguguran. Aku tidak ingin kehilangan anakku lagi. Apa yang harus sekarang ini aku lakukan untuk melindungi anak kita, Wirya?"

"Aku sangat takut, Wi. Aku membutuhkanmu. Bantu aku melindungi anak kita ini." Setelah kata terakhir meluncur. Tangisan Latri kian kencang. Runtuh sudah pertahanannya. Wanita itu tak sanggup terus berpura-pura tegar dan kuat.

..............................................

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang