DUA PULUH SATU

6.9K 475 26
                                    

Setelah menidurkan sang putri serta berganti pakaian. Wirya pergi ke ruang tamu untuk menemui sang istri. Mungkin juga akan diisi mengobrol sebentar sebelum berangkat ke kantor 20 menit lagi. Jadwal Wirya lumayan padat dari siang hingga malam. Ada jadwal pertemuan dengan beberapa klien.

Lalu, langkah kaki pria itu seketika langsung terhenti tiba-tiba, dikala disuguhkan pemandangan dimana sang istri memandang layar ponsel dengan sorot serius. Perasaannya tak enak tiba-tiba menyergap diri Wirya.

"Sayang ...," gumamnya kemudian.

"Wi, Arsa mengirimimu pesan. Isinya ajakan untuk bertemu. Apakah kalian berdua punya masalah?" tanya Latri ingin tahu.

"Di pesan yang dikirim, Arsa juga menyebut namaku. Sebenarnya apa yang kalian berdua sembunyikan dariku, Wi?" Latri luncurkan pertanyaan sarat akan rasa penasaran lagi

"Akan aku beri tahu kepadamu nanti malam, Sayang. Aku akan berkata jujur dan mengungkap semuanya."

..............................................

Wirya memenuhi janji bertemu dengan Arsa malam ini di rumahnya. Ia sampai pukul sembilan, telat satu jam dari waktu yang mereka sepakati sebelumnya akibat diadakan rapat bersama klien tadi berlangsung lebih lama dan juga tidak dapat membuatnya segera menemui Arsa. Bukan sengaja menghindarataumau membatalkan apa yang merekaingin bicarakan.

"Sa, gue sudah sampai di sini. Lo ada di dalam?" tanya Wirya secara to the point, kala teleponnya diangkat di seberang sana.

Setelah mendapatkan jawaban dari Arsa, Wirya secepatnya menjauhkan ponsel dari telinga, mengakhiri panggilan, lantas memasukkan kembali ke dalam kantong celananya. Wirya memilih tetap berdiri di depan pintu rumah dari mantan suami istrinya dengan tubuh tegap dan pikiran melayang jauh.

Tak butuh waktu yang lama baginya untuk menunggu, mungkin kira-kira hanya satu menit. Dan kala, sosok Arsa terlihat. Sorot mata Wirya menajam. "Sorry, gue terlambat," basa-basinya tanpa senyuman. Wajah datar diperlihatkan olehnya.

"Andai lo nggak datang malam ini. Mungkin gue akan ke rumah lo besok," balas Arsa sinis. Tatapan pria itu juga tak kalah tajam dari lawan bicaranya.

"Jangan libatkan Latri di sini, gue minta sama lo, Sa. Latri lagi hamil anak kedua kami sekarang. Latri mungkin akan benci gue kalau tahu kebenarannya."

Arsa berdecak pelan. "Lo bakal sampai kapan bisa apik sembunyiin dari fakta yang ada? Tidak memberi tahu, Latri?"

Wirya masih menatap dengan sorot yang sama mantan suami istrinya. Ia memahami maksud pertanyaan Arsa tersebut.

"Gue sendiri yang bakal kasih tahu langsung ke Latri."

"Gue juga nggak bisa terus tahan karena dihantui rasa bersalah. Tapi, bukan sekarang waktunya yang tepat, Sa."

"Gue cuma takut kalau Latri sampai tahu kebenarannya ini, akan bisa berefek buruk untuk calon anak kami. Gue benar-benar minta tolong ke lo, Sa. Kita jaga rahasia ini dulu," pinta Wirya. Ia rela merendahkan harga dirinya.

Arsa pun kembali berdecak sinis. "Gue masih memikirkan kebahagiaan Latri. Gue simpan dan enggan sampai tega bongkar perbuatan busuk lo yang dulu! Gue masih baik sama lo!"

"Gue mau lo ta—" Wirya tak bisa melanjutkan kata-kata yang hendak dikeluarkan, manakala terdengar alunan nada yang berasal dari handphone di dalam saku celana.

Tanda jika ada panggilan masuk.

Latri is calling...

.....................................

Sebenarnya tak ada pembicaraan ataupun pesan serius yang disampaikan oleh sang istri lewat panggilan telepon tadi. Hanya sebatas menanyai jam berapa dirinya akan tiba di rumah mengingat telah berjanji tak lagi pulang larut malam. Mengenai pertemuan bersama Arsa, Wirya tak mau memberi tahu Latri.

Pria itu coba menghindari kecurigaan dari istrinya. Wirya berbohong. Mengatakan bahwa dirinya memiliki jadwal penting dengan seorang klien hingga pukul sepuluh. Dan akan segera pulang saat segala urusannya telah selesai semua, tentu saja.

Wirya terpaksa berbohong. Pria itu sama sekali belum siap. Terutamasaat sang istri sampai mengetahui perbuatannya yang jahat di masa lalu. Meskipun, semua merupakan kenyataan dan fakta yang harus diungkap dengan sejujurnya. Wirya tidak cukup sanggup menerima akibat serta konsekuensi kehilangan kepercayaan atau ditinggalkan Latri.

"Gue kembalikan ini ke lo, Wir!"

Lamunan Wirya buyar, manakala suara Arsa terdengar, bersamaan dengan mendapat lemparan selembar kertas tepat di depan wajah. Otomatis, pria itu jadi memerhatikan lebih lanjut sebuah cek yang sangat ia kenal. "Jangan bilang kalau ora-"

"Punya keluarga lo, Wir. Orangtua lo kasih cek itu ke gue! Katanya gue bebas minta nominal berapa pun."

Raut kekagetan sungguh tak bisadisembunyikan oleh sama sekali. "Ap..apa tujuan dari orangtua gue?"

"Menurut lo apa?" Arsa melempar sinis, balik pertanyaan.

"Gue rasa lo sudah sangat tahu keinginan orangtua lo."

Rahang wajah Wirya kian mengeras. "Apa lagi rencanaorangtua gue? Kenapa Ayah sama Ibu gue lakuin semua ini?"

Arsa berdecak sinis. "Yang jelas ada kaitan dengan Latri. Orangtua lo keinginannya tetap sama dari dulu bukan? Menyingkirkan Latri?" ucap Arsa dalam nada dingin

"Sialll!" umpat Wirya marah. Tangannya mengepal.

"Tapi, lo bisa tenang. Latri bakalan dapat tetap menjadi milik lo, Wir. Gue tidak mau terlibat masalah ini. Karena lo yang harus bertanggung jawab!" Suara Arsa meninggi.

"Lo harus berjanji selalu bisa melindungi Latri. Itu pun kalau lo memang benar-benar cinta dengan Latri! Bukan cuma sekadar rasa bersalah lo karena lo sudah buat dia lumpuh dalam kecelakaan mobil dulu. Lo harus bantu dia untuk sembuh total."

..................................................

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang