DUA PULUH SEMBILAN

6.5K 449 50
                                    

Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.

Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati.

"Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.

Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup. Tapi, aku berjanji akan selalu menjagamu, juga anak-anak kita, Sayang." Wirya berkata serius.

"Aku percaya, Wi."

Wirya sedikit terkejut, manakala suara lembut milik istrinya mengalun dan jugaindera penglihatan pria itu turut mendapati sepasang mata milik wanita yang paling dicintainya memancarkan sorot yang begitu hangat. "Sayang...,"

"Ada apa, Wi?" Latri bertanya seraya menatap lekat sang suami. Tak lupa juga senyumnya mengembang semakin lebar.

"Sejak kapan kamu bangun, Latri? Kembali tidur. Istirahat yang banyak, Sayang. Aku akan menjagamu. Jangan khawatir." Wirya meminta. Namun, ia lantaas menaikkan salah satu alis karena suara tawa yang dikeluarkan sang istri. Tanda tanya besar memenuhi pikiran pria itu. "Kenapa ketawa, Latri?"

"Ketawa karena kekhawatiran kamu yang masih saja berlebihan padaku, Wi." Latri berucap jujur. Tidak memiliki niatan mengejek atau meremehkan perhatian suaminya. Hanya saja tak enak terus merepotkan.

"Tidak lucu, Latri. Bukan aku wajar mencemaskanmu? Aku cuma takut kalau hal buruk akan terjadi lagi den—"

Ucapan Wirya terputus karena menerima pelukan dari sang istri bisa dikatakan tiba-tiba. Namun, pria itu membalas dengan dekapan yang lebih kuat. Menyalurkan segala bentuk kecemasan dan perasaan tidak tenang dalam dirinya.

"Aku sudah merasa mendingan, Wi. Perutku juga tidak masih sakit. Kamu bisa ikut istirahat. Jangan begadang. Kamu butuh tidur yang cukup, Suamiku."

Latri belum lepas pelukan di antara mereka. "Maaf, karena sudah banyak merepotkan kamu selama masa kehamilanku ini. Terima kasih juga, kamu tidak pernah bosan atau lelah menjagaku. Keluarga kecil kita," ujar wanita itu secara tulus dan serius.

"Maaf, karena tadi aku menangis. Seharusnya aku bisa menjadi wanita dan juga Ibu yang kuat. Tidak cengeng ataupun gampang merasa takut."

"Kamu merupakan istri yang kuat bagiku, Sayang." Wirya menanggapi. Pria itu lalu melepaskan dekapannya pada tubuh sang istri serta memandangi kian lekat. Pancaran mata Wirya nyata menunjukkan keseriusan yang dalam. "Kamu bukan wanita lemah,."

"Aku rasa setiap Ibu akan merasa takut dan sedih, saat tahu calon bayi mereka keselamatannya sedang terancam. Aku dapat memahami semua yang kamu rasakan, Sayang. Tapi, kita berdua harus berdoa kepada Tuhan. Terlepas dari karma yang mesti aku terima." Wirya berucap dengan sungguh-sungguh..

Tatapan Latri masih tertahan pada mata hitam suaminya. "Iya, Wi. Aku percaya kalau Tuhan akan menyertai kita, Wi. Cobaan yang datang pasti akan bisa kita hadapi. Astungkara." Wanita itu menaruh harapan serta optimistis.

"Astungkara, Sayang." Wirya ikut mengamini.

Lantas, Latri menangkupkan kedua tangan pada masing-masing pipi milik suaminya. Senyuman wanita itu tercetak dengan lebar. Lengkungan-lengkungan dibentuk sudut-sudut bibirnya juga semakin terangkat naik, bersamaan dengan detak jantungnya berdetak lebih kencang. "Aku menyadari sesuatu."

"Menyadari apa?" Wirya kemudian bertanya. Cukup penasaran akan jawaban istrinya. Terlebih lagi, saatmendapattatapan teduh wanita itu hingga membuat desiran aneh tercipta dalam dirinya. "Apa yang kamu pikirkan, Sayang?"

"Menyadari kalau aku mulai bisa mencintaimu, Wi."

Wirya pun masih tetap saja diam hingga beberapa detik kemudian, sebab tidak percaya akan apa yang baru didengarnya. Namun, tak mampu ditampik pula jika Wirya bahagia dengan pengakuan dari istrinya. "Perasaanku sejak sembilan tahun lalu tidak pernah berubah. Hanya kamu wanita yang aku cintai, Latri."

"Terima kasih sudah mencintaiku, Wi. Aku juga ingin segera memberi perasaan dan hatiku padamu secara utuh. Aku sedang belajar saat ini. Aku yakin aku akan mampu mencintaimu."

Setelah menyelesaikan ucapannya, Latri lalu menyatukan bibir mereka. Wanita itu memilih memejamkan mata rapat-rapat tatkala sang suami mulai melakukan pagutan lembut di permukaan bibirnya. Latri pun mencoba membalas dengan penuh perasaan.

.........................................................

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang