EMPAT BELAS

8.4K 623 21
                                    

"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal."

"Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.

Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi.

"Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali."

"Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.

Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.

Kemudian, kekagetan mendadak melanda Latri menyadari bahwa tangannya telah basah akibat tetesan-tetesan air mata yang berasal dari suaminya. Latri benar-benar belum dapat memahami situasi yang terjadi. Gejolak perasaan sang suami begitu terasa sulit baginya untuk dimengerti. "Kenapa menangis, Wi? Kamu kenapa?"

Selepas Latri beranjak bangun dari posisi berbaring di atas ranjang pasien, wanita itu lalu menerima benaman kepala sang suami pada bagian perut. Latri juga mendapati kedua bahu suaminya yang bergetar, disebabkan mengisak cukup keras.

"Menangislah, Wi. Tidak apa-apa. Aku yakin kamu akan merasa lebih lega dan plong setelah menangis."

Air mata Wirya pun mengalir kian deras saja setelah menangkap sederetan kalimat yang Latri secara tulus. Pria itu begitu terenyuh dengan perhatian sang istri. Hatinya sedang sensitif. Wirya bahkan melupakan sejenak egonya sebagai pria dewasa yang selalu mencoba untuk tak mengeluarkan tangisan.

Ditambah pula dengan ada sentuhan-sentuhan lembut dari Latri di bagian kepala mengakibatkan sisi emosional dalam diri Wirya belum mampu juga dikendalikan. Logikanya tidak dapat bekerja dengan baik. Sikap sedikit keras yang biasanya Wirya dijadikan dinding pertahanan, runtuh seketika.

"Aku adalah istrimu. Jika kamu punya masalah, jangan dipendam sendirian. Cerita padaku. Kamu pria yang kuat, Wi."

Latri tak tega melihat kondisi suaminya yang seperti ini. Ia ingin memberi dukungan serta semangat untuk Wirya. Memang tugas dan kewajiban sebagai seorang istri demikian. Ia juga harus bisa memahami perasaan sang suami.

"Maaf, kalau selama ini, aku tidak terlalu bisa mengerti kamu, Wi. Maaf, aku belum juga bisa jadi istri yang sempurna untuk kamu, Wirya. Tapi, aku akan mencoba." Kini perasaan bersalah menghampiri Latri. Usapan di kepala suaminya masih dilakukan wanita itu dengan lembut dan berulang-ulang.

....................................................................................

"Tidur yang nyenyak, Nak," ujar Wirya pelan, nyaris berbisik. Lantas, hadiah berupa ciuman yang dalam dan penuh kasih, diberikan di kening buah hati mereka itu.

Ujung-ujung bibir Wirya turut mengukir senyum tipis menikmati wajah putri kecil mereka yang terlihat sangat damai nan juga polos, ketika tertidur pulas. Hati Wirya pun menghangat dengan cepat. Ketenangan juga dapat pria itu diperoleh sesaat ditengah sejumlah konflik mewarnai harinya.

Bagi Wirya sendiri, kehadiran Laksmi begitu berarti dalam hidupnya. Kemelutan berbagai masalah, entah pekerjaan atau pribadi, termasuk beban pikiran yang berat mampu terlupakan sebentar karena Laksmi. Wirya pun seperti mendapat kekuatan tambahan baru, kala rasa frustrasi ingin mengalahkan tekad dan kesabarannya. Putri kecil begitu ia sayangi.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang