ENAM

9.7K 716 25
                                    

Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan.

Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama.

Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu.

Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri.

Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kembali ke rumah untuk berkumpul bersama dirinya lagi. Kerinduan yang Latri akan kehadiran sosok Wirya cukup besar, terlebih sekarang ini ia tengah mengandung.

Dan kemudian, segala bentuk pikiran yang berputar indah di kepala Latri langsung buyar tatkala menyaksikan ibu mertuanya masuk ke dalam kamar dengan sorot mata tajam dan tanpa membingkai senyum di wajah sedikit pun. Seketika Latri dilanda kecemasan sekaligus ketakutan.

"Saya senang mengetahui jika kamu ternyata bisa hamil juga. Tapi, saya tidak suka dengan bayi di rahimmu, Nak Latri. Kami menginginkan cucu laki-laki, bukan perempuan." Suara Ibu Ratna begitu dingin dan menusuk.

Sementara itu, Latri masih memilih bungkam guna mendengarkan lebih lanjut kata-kata yang akan sang ibu mertua lontarkan. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Latri tidak tahu persis apa yang terjadi nanti.

"Saya ingin memberikan jalan paling baik sebagai solusi atas permasalahan ini. Kamu pasti akan menyetujui jika masih memikirkan kebahagiaan anak saya."

"Apa yang Ibu maksud?" tanya Latri hati-hati. Karena, ia belum terlalu paham dengan arti dari perkataan ibu mertuanya.

"Kami tidak ingin memiliki cucu perempuan. Saya juga tidak pernah menyukaimu sebagai menantu. Lebih baik kamu berpisah dengan anak saya. Wirya pantas mendapatkan istri yang lebih sempurna."

"Tidak mungkin, Bu. Saya sudah berjanji pada Wirya untuk tidak akan meninggalkannya." Latri segera menyahut. Dan hal tersebut membuat sang ibu mertua bertambah geram.

"Jika kamu tetap menjadi istri anak saya. Kamu hanya bisa merepotkan dia saja, Latri! Sadar dirilah."

Sorot tajam tak hentinya Ibu Ratna tunjukkan pada menantunya. "Baik, jika kamu tidak mau berpisah dengan anak saya. Silakan gugurkan janin yang ada di dalam rahimmu. Kamu harus memilih antara Wirya atau anak kamu."

Tetesan demi tetesan air mata yang coba Latri tahan agar tidak jatuh pun kini tumpah karena hebatnya rasa sakit menghantam dadan. "Apa salah anak kami, Bu? Kenapa saya harus menggugurkannya?"

"Karena anak yang kamu kandung adalah perempuan. Sedangkan, saya dan Ayah Wirya menginginkan cucu laki-laki. Kami tidak akan menerima anakmu di keluarga kami."

Latri semakin mengisak. "Sa... saya tidak bisa melakukannya, Bu."

"Jika kamu tidak bisa menggugurkan anakmu. Berpisahlah dengan Wirya. Tinggal di Jepang sampai anak kamu lahir. Saya akan mengurus semua."

Tak rasa iba pada diri Ibu Ratna saat melihat menantunya yang menangis. Beliau bahkan telah menyiapkan sederetan kata-kata menusuk. "Saya akan menyiapkan operasi untuk kesembuhanmu. Bagaimana pun juga kamu harus kembali bisa berjalan agar dapat mengurus anakmu kelak tanpa melibatkan Wirya."

Latri tak menjawab. Ia hanya mampu bungkam. Bukan karena takut atau tidak berani. Tetapi, Latri sadar jika ia tak bisa melawan keputusan yang telah ditetapkan oleh ibu mertuanya. Berpasrah diri adalah hal terbaik yang Latri dapat lakukan.

"Saya tidak menerima bantahan dalam bentuk apa pun. Kamu cukup melaksanakan perintah saya supaya semuanya berjalan dengan benar."

Setelah puas membuat sang menantu tak berkutik, Ibu Ratna lantas pergi dari kamar tanpa menaruh sekelumit belas kasihan. Sementara itu, Latri kian dilanda kesesakan yang kuat di dada. Tapi, ia sudah bertekad untuk tegar serta tetap kuat demi anaknya dan Wirya.

"Suatu hari nanti aku pasti akan bisa membalas semua penghinaaan, juga rasa sakit ini," gumam Latri pelan disela-sela tangisannya yang belum berhenti.

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang