LIMA

11.6K 713 36
                                    

Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana.

Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu.

"Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau.

Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.

"Kabar kami baik, Pam-"

"Aku ingin minta maaf Ayah," ujar Wirya memotong cepat ucapan Latri yang membuat wanita itu hanya bisa diam kini.

Sementara, kebingungan dirasakan Pak Indra karena tidak mengerti akan apa yang putranya katakan. "Kenapa meminta maaf? Apa terjadi kesalahan di perusahaan?"

"Tidak. Ini tentang calon cucu, Ayah. Sebenarnya, Latri tidak pernah hamil. Aku berbohong."

"Aku merencanakan kebohongan ini semua supaya bisa menikahi Latri secepatnya dari waktu yang sudah Ayah tentukan untukku."

Pengakuan terus Wirya ungkapkan secara gamblang. Tanpa terlihat takut. Wirya pun masih berani menatap mata ayahnya yang sekarang ini telah sedang menunjukkan jelas pancaran kemarahan. Sedangkan, Pak Indra segera beranjak bangun dari sofa empuk yang beliau duduki. Dan....

PLAK!

Tamparan keras dilayangkan Pak Indra hanya dalam hitungan tak lebih dari lima detik, setelah menyadari putra beliau telah mengungkap fakta yang ada. Tatapan Pak Indra tajam dan memerlihatkan hebatnya gejolak amarah dalam diri beliau. Sedangkan, Wirya tak melawan.

"Berani sekali kamu membohongi Ayah, Nak!"

PLAK!

Satu tamparan kembali Pak Indra berikan di bagian pipi kiri putra tertuanya itu. Beliau tak akan segan bermain tangat. Kobaran api amarah Pak Indra tidak dapat mudah begitu saja dipadamkan.

"Wirya tidak sepenuhnya salah di sini, Paman. Saya ikut ambil andil dalam kebohongan yang kami sudah lakukan."

Latri langsung berhasil disergap oleh rasa takut tatkala memperoleh sorot tajam yang sama seperti sang suami dari ayah mertuanya. Napas Latri pun terasa tercekat di tenggorokan ketika melihat tangan Pak Indra melayang di udara. Wanita itu menduga jika ia akan ditampar, Latri lantas memilih memejamkan mata. Pasrah dengan perlakuan kasar yang akan diterima.

Dan kesigapan ditunjukkan Wirya dengan menepis tangan ayahnya secara cepat. "Jangan pernah coba untuk menyakiti istriku Ayah! Aku tidak akan tinggal diam jika Ayah berniat menampar Latri!"

Rahang wajah Pak Indra mengeras dan emosi beliau bertambah. "Berani sekali kamu melawan Ayah demi seorang wanita tidak tahu diuntung seperti dia!" Pak Indra menunjuk-menunjuk menantunya dengan jari.

"Latri istriku. Jadi, aku memiliki kewajiban melindunginya. Apalagi saat Ayah ingin menyakitinya. Latri tidak bersalah, Yah." Wirya berusaha meminta pengertian dari sang ayah dan tidak menyalahkan istrinya.

"Bela saja terus wanita yang tidak tahu diuntung ini!" Pak Indra berseru marah. Beliau tak suka akan sikap yang ditunjukkan putranya.

"Aku sungguh-sungguh ingin minta maaf karena kebohongan yang aku perbuat. Aku terpaksa melakukannya. Aku tahu jika Ayah sama sekali tidak mau menikahkanku dengan Latri. Ayah hanya mengincar saham milik Om Yoga di perusahaan supaya bisa Ayah kuasai."

"Saham-saham itu wajar untuk keluarga kita ambil kembali sebagai ganti atas penghianatan Ayah dari istri tak tahu diuntungmu ini, Wirya!"

=======================

"Ayah akan menugasimu mengikuti perjalanan bisnis bersama rombongan di Jepang selama 2 bulan dan juga di Tiongkok sekitaran 1 bulan. Anggap saja ini sebagai hukuman karena kamu sudah berani melawan Ayah."

"Jika sampai tidak ada satu pun kerja sama yang bisa dicapai dengan mitra kita di sana, Nak. Posisi dan jabatan kamu di perusahaan akan siap-siap digantikan oleh Wira."

Pemberitahuan sekaligus ancaman dari sang ayah di kantor pagi tadi membuat Wirya tidak berkutik dan harus mengikuti segala perintah yang telah diberikan, suka ataupun tak suka. Ia tidak bisa membantah dalam urusan pekerjaan serta tanggung jawab di perusahaan. Wirya pun akan mengedepankan sikap profesionalnya.

"Ada apa, Wi? Kenapa bengong?"

Pertanyaan yang dialunkan dengan nada lembut oleh sang istri, seketika sukses membuyarkan lamunan Wirya. Pria itu mengukir senyum manakala memperoleh sorot kekhawatiran pada sepasang mata indah milik istrinya.

Sejak pertengkaran dengan sang ayah beberapa waktu lalu, Wirya merasa bahwa Latri mulai kembali menaruh perhatian yang kepadanya seperti dulu, saat mereka masih bertunangan. Wirya tentu senang akan hal tersebut. Sekecil apa pun bentuk perhatian dan sikap lembut istrinya, ia menghargai.

"Aku akan ikut dalam perjalanan bisnis perusahaan mungkin kurang lebih empat bulan ke luar negeri." Wirya memberi tahu perihal rencananya.

"Pergilah. Aku tidak akan apa-apa. Aku bisa menjaga diriku sendiri di sini dengan baik," balas Latri serius guna meyakinkan suaminya.

Wanita itu bisa melihat secara jelas pancaran keraguan pada sepasang manik cokelat sang suami. Latri tahu jika Wirya tak tega meninggalkannya ditengah konflik yang masih terus memanas di dalam keluarga mereka. Namun, ia tidak ingin banyak lagi menyusahkan suaminya.

"Aku akan berangkat ke Jepang dan Tiongkok." Wirya memutuskan pada akhirnya. "Selama di luar negeri, aku akan minta Wira ikut menjaga kamu di sini, Latri. Jika Ayah dan Ibu berani menyakiti atau macam-macam, adukan padaku."

"Iya, Wi," balas Latri dengan cepat sembari mengukir senyuman terbaik yang mampu ditunjukkan.

Wirya kemudian memeluk erat tubuh istrinya seolah tak sekalipun pernah menginginkan wanita itu untuk pergi dari sisinya. "Aku pasti akan sering merindukanmu di sana, Sayang."

"Tidak. Kita masih bisa tetap saling berkomunikasi. Aku setiap hari akan menghubungimu, Wi."

Selepas mendengar ucapan Latri yang dapat menyejukkan hati, maka Wirya pun kian memperkuat dekapan pada tubuh istrinya itu. "Jangan pernah meninggalkanku, Latri. Aku sangat mencintaimu."

"Tidak akan, Wi. Perpisahan ini hanya sementara."

================================

SUAMI PENDUSTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang