Pemikiran

903 64 2
                                    

Woohoo! Apdet lagi nih! Kayanya ator telat buat apdet karena ide yang mampet membuat ator jadi susah buat lanjutin ceritanya :( Tapi untuk struktur cerita sudah ator buat kok. Jadi pasti selesai. Oh iya langsung saja Happy Reading!



Previous


Perempuan itu menatap Boruto dan dia paham yang harus dilakukannya. "Namaku Boruto Uzumaki, Obasan." Katanya sopan. Dia tahu perempuan itu adalah ibunya.

"Ah, Boru-kun. Terima kasih ya, sudah mengantarnya sampai kemari. Tidak mampir dulu?" menawarkan. Tapi Boruto hanya menggeleng pelan, "untuk itu, lain kali saja. Aku juga harus pulang. Jaa Sumire" Pamit membungkukkan badan. Perempuan itu hanya melambaikan tangannya, begitu pula Sumire.

Setelah sosok tersebut hilang, Ibunya menyentuh pundak anaknya,"Dia cukup tampan, kenapa tidak kau kenalkan pada ibu segera?" Sumire yang mendengar itu hanya memerah dan cepat-cepat masuk kedalam. "Apaan sih ibu? Aku mau segera mandi saja." Dengan nada setengah kesal. Ibunya hanya tersenyum, tahu kalu anaknya hanya salah tingkah.

.

.

.


"Bagaimana kencannya?" Setelah menutup pintu depan, Boruto disambut oleh sang ibu, Hinata, yang masih berada di dapur.

"Ah! Mmm...berjalan lancar." Kalimat itu secara pelan namun jelas keluar dari mulut si sulung. Hinata hanya tersenyum, dia tahu kalau anaknya itu, sedang kasmaran. Dia tahu betul karena dulu Hinata juga pernah merasa seperti itu. Memandang si lelaki pirang, Naruto, dari jauh saja sudah membuat hatinya menghangat, apalagi jika dia menerima cintanya. Hinata bahkan masih memikirkan mimpi apa yang dia alami itu yang sebenarnya adalah kenyataan yang terjadi pada dirinya sampai sekarang.

"Makan malam sebentar lagi, Touchan mu ada di kamar kalau ingin tahu." Hinata tersenyum lagi padanya. Pemuda kuning itu hanya berlalu menuju anak tangga untuk ke kamar. 

"Untuk apa aku tahu itu!?"

.

.

.

Malam itu dia tak henti-hentinya tersenyum. Kepala kuning itu bersandar pada sebuah bantal di ranjang miliknya. Mengingat bagaimana kebersamaan mereka yang berjalan lancar dan rasa gejolak dalam hatinya itu. Membuat candu. Ingin terus bersamanya. Ingin terus melihatnya. Ingin lebih tahu tentangnya. Namun dia bukanlah siapa-siapa dari dia, dia tahu akan itu. Dia hanya ingin membantunya agar melupakan kejadian itu, agar dia tahu siapa yang bisa melindunginya, agar tahu siapa yang bisa mengerti perasaannya. Bukan berarti berhasil kencan satu kali itu berarti dia suka padamu. Yah sekali lagi, dia bukanlah siapa-siapa darinya.

Terkadang dia juga berpikir, apa yang akan terjadi jika cin...ah tidak. Dia tidak boleh berpikiran negatif terlebih dahulu. Jalan baru saja dimulai olehnya. Seminggu sudah aksinya dia lakukan, artinya tinggal tiga minggu lagi. Masih banyak waktu, dan juga kesempatan pastinya. Beberapa saran sudah dia dapatkan dari Shikadai dan sudah dicoba. Dia juga bingung darimana Shikadai mendapat saran itu, padahal dia sendiri tidak dekat dengan perempuan. Tsk, mungkin karena otak encernya.

Dia memandang lagi langit-langit kamarnya. Kenapa saat malam dia tak melakukan apapun? Dia ingin melakukan sesuatu yang sekedar menghabiskan waktu. Ketika ingin berpikir lagi, ada yang mengetuk pintu. Sang ayah, Naruto, berdiri tenang disana sambil bersender pada pintu.

"Kudengar kau pergi dengan seorang perempuan. Benar begitu?" Ekspresinya tidak berubah, bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Kalau benar memang mau apa? Bilang 'wow' padaku?" Boruto hanya menjawab asal pertanyaan ayahnya. Selalu. Naruto hanya terkekeh pelan, "Tidak, hanya saja tumben kau sedang memikirkan perempuan." Naruto heran, dulu Boruto hanya anak biasa yang penuh semangat ketika bertemu teman-temannya. Tapi sekarang, dia memikirkan perempuan? Dia bahkan harus menampar pipinya sendiri ketika mendengar hal tersebut dari istri tercintanya.

Sweet LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang