Are You

983 151 50
                                    

Aku tersenyum ketika mata itu menatapku tanpa jeda.

Mencoba, aku memberikan senyumku yang terbaik, yang kupastikan akan selalu dia ingat. Sementara jemari panjangnya menekan buku-buku tanganku yang halus. Merematnya lembut. Sedangkan aku ingin memaksakan diri untuk tertawa ketika melihat wajah tampan miliknya yang berekspresi gundah.

Dia bingung.

Bimbang.

Dan hatiku kembali berdenyut, rasanya ngilu. Adegan ini bak film lama yang telah di setting sedemikian rupa. Bermula dari dua minggu lalu kala aku mendapatinya gundah ketika mengatakan padaku tentang 'sekolah' dan 'luar negeri'. Aku senang dan bangga, tentu saja, itu bagus, dia cerdas, luar biasa, sempurna. Dan tidak ada satupun yang meragukan bahwa dia akan mendapatkan Beasiswa karena betapa pandai dia manfaatkan otaknya.

Jerman.

Yah, jauh sekali.

Ini Indonesia, dan aku sebagai seseorang yang tidak berpenghasilan tentu tidak punya cukup uang untuk, mungkin, sempat mengunjunginya, walau hanya sekali. Yang aku harapkan. Tapi ini masih permulaan, aku tidak sanggup membayangkan lebih jauh tentang hari-hari kedepan tanpanya disampingku.

"Kau ok ?"

Suaranya yang sedikit tinggi, aku mengingat nya, akan tetap begini, bukan ?

Jadi aku tersenyum, pasrah.

"Well, yeah, for now"

Remasannya di jemariku menguat. Senyumku luntur perlahan, namun aku mencoba mempertahankan.

"Aku akan berhenti, jika itu maumu, Jakarta, UI, tidak se buruk itu"

Aku menggeleng.

Tidak.

Jangan korbankan apapun.

"No, dua puluh menit lagi pesawatmu take off, apa tidak sebaiknya kau masuk?"

Mengalihkan topik adalah kemampuanku yang paling dia benci. Lihatlah, wajah tampannya merengut, lantas remasannya di jemariku melonggar, dan sebelum sempat aku menyadari situasi, tangan panjangnya bergerak meraih tubuhku, dia mendekapku erat.

Sepasang mataku terpejam.

Mengingat rapat-rapat aroma Romeo yang dipakainya, yang sering kami beli ketika berbelanja bersama. Aku akan mengingat bagaimana wajahku terbenam di lehernya, karena, ya tinggi kami memang tidak jauh beda. Dan aku, tentu saja akan mengingat ini. Yang bisa saja menjadi pelukan kami yang terakhir.

"Tujuh tahun, Dan, aku akan- Astaga, aku akan benar-benar merindukanmu, jangan lupakan aku"

Cara nya menyebut namaku.

Permintaannya yang membuat jantungku berdenyut ngilu.

"Jangan lupakan aku, juga"

Akhirnya suara yang tertahan kulepas, tepat ketika pengumuman bahwa pesawatnya akan segera terbang, membuatku melepas paksa pelukan posesif khas miliknya. Melempar pandangan untuk mendapati wajahnya mendekat. Dan kembali terpejam ketika merasakan bibirnya mendarat di keningku.

Hatiku kembali berdenyut, lebih keras.

Barangkali aku telah menjadi melankolis, aku telah menjadi Daniel yang cengeng, banci, karena tanpa bisa kutahan lagi, setetes air jatuh melewati kelopak mataku yang setengah terbuka. Pandanganku menangkap dirinya yang seperti malaikat, tersenyum begitu tampan. Aku akan terlampau bahagia. Jika saja situasi ini bukan tentang melepasnya pergi. Jika saja esok hari aku mampu menatapnya kembali

Tapi, ini harus.

"Selamat tinggal, Daniel"

Aku terisak, sekali.

Selection ; OngnielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang