#29 Perhatian Kecil Nunug Manug

260K 20.3K 1.9K
                                    

Hai Nugra 😀

.
.
.

Setelah berganti rok dengan celana rumahan dan memasang pembalut di kamar mandi, gue kembali berbaring di kasur. Hari pertama menstruasi selalu seperti ini. Menyakitkan. Sakitnya mengalahkan rasa sakit waktu tau gebetan yang tampan, mapan, dan rupawan ternyata pecinta batangan. Ya salam. Kalo sudah begini kerjaan gue cuma bisa nungging-nungging di kasur sambil remes-remes perut berharap sakitnya bisa berkurang. Tapi ya tetap aja sakitnya ngga berkurang, malah semakin jadi.

Serangan nyeri itu muncul lagi. Rasanya seperti memilin-milin perut gue. Membuat gue mengubah posisi tidur setiap beberapa detik sekali. Kadang terlentang, tengkurap, nungging, ngga jarang dengan posisi-posisi ngga karuan asal bisa mengurangi rasa nyeri. Seperti sekarang, gue sudah merosot ke lantai. Kedua kaki gue tekuk seperti gerakan sujud, tangan memeluk perut, badan menghimpit kaki hingga muka gue bertemu dengan lutut. Ya seperti ini lebih nyaman.

Pintu kamar di ketuk pelan, lalu terbuka perlahan. "Junia." sebuah sentuhan terasa di bahu gue. "Kamu ngga apa-apa?"

Gue menggeleng. Ini penuh dengan apa-apa Pak. "Sakiiit." rintih gue. Badan gue terasa melayang dan mendarat di atas benda empuk. Lagi-lagi karena gerakan itu, perut gue bergejolak. "Makin sakiit." rengek gue. Gue semakin meringkuk seperti bayi memeluk perut.

"Minum ini dulu ya. Kata Ibu ini bisa mengurangi nyerinya."

Pak Nugra membantu gue duduk, sebelah tangannya menopang punggung gue, sebelah lagi membantu gue minum. Gue sesap sedikit minuman itu. Rasanya aneh. Gue palingkan muka lalu memeletkan lidah setelah berhasil menelannya.

"Ngga enak." gue tepis tangan Pak Nugra yang hendak menyodorkannya lagi.

"Ayo dihabiskan. Biar sakitnya berkurang." Pak Nugra kekeh menyuruh gue untuk minum.

Gue palingkan muka. "Ngga mau! Rasanya ngga enak. Lu aja yang habisin. Jangan paksa gue buat minum!" bentak gue.

Tanpa gue sangka, Pak Nugra meneguk air rebusan jahe itu hingga setengah isinya berpindah ke dalam perutnya. Ekspresinya ngga jauh beda dari ekpresi gue sewaktu cairan pedas itu mengaliri tenggorokannya.

"Sudah. Sekarang kamu lagi, habiskan!" titahnya. Gue menggeleng, menutup mulut rapat-rapat. "Jangan sampai saya suapi obat ini ke kamu langsung dari mulut saya, Junia!" katanya penuh ancaman.

Sialan. Kalo sudah begini gue ngga bisa nolak. Pak Nugra menempatkan gelas itu tepat di bibir gue, terpaksa gue sesap isinya sekali teguk, berharap rasanya yang aneh berkurang. Tapi tetap aja, sekali ngga enak tetap ngga enak. Hampir gue muntahin kalo Pak Nugra ngga buru-buru menyodorkan air putih yang langsung gue habiskan isinya.

"Gadis pintar." katanya sembari mengusap kepala gue.

Pintar ndasmu.

Gue meringsek berbaring membelakangi Pak Nugra. Menyesapi rasa sakit yang ngga kunjung reda. Pintu kembali di ketuk, tak lama muncul Ibu dengan membawa buntelan kecil.

"Sudah enakkan, Nduk?" gue menggeleng. Ibu duduk di samping gue, memeriksa gue sejenak. "Pucet tenan kamu Nduk. Sakitnya belum reda yo? Sini di kompres pakai ini."

Ibu mengisyaratkan gue untuk berbaring terlentang. Lalu sekonyong-konyong ia menyingkap kemeja gue ke atas.

"Jangan di buka, Bu." refleks gue turunkan kemeja meskipun gerakan tiba-tiba itu membuat gue meringis menahan nyeri.

"Mau di kompres toh, ya mesti di angkat bajunya."

"Tapi ada Pak Nugra." gue melayangkan tatapan tajam, Pak Nugra menghindari tatapan gue dengan pura-pura sibuk membaca buku yang ia sambar dari nakas.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang