Sepulangnya dari hotel, kami langsung di. sambut dengan dua koper besar di ruang tamu. Pemiliknya ngga lain mertua gue sendiri, Bude Aida. Buru-buru gue hampiri beliau menanyakan perihal maksud keberadaan dua koper segede gaban itu. Tapi bukannya menjawab, Bude malah menggiring gue masuk ke dalam rumah.
"Loh Bude, mau kemana? dengan siapa? mau berbuat apa?" sedikit berlari gue hampiri Bude Aida yang tampak kesusahan menyeret koper besar.
Bude Aida terkekeh, "Kamu nanya apa nyanyi toh? Pertanyaan kamu kayak lirik lagu."
"Untung ngga Juni tambah, yolandaaaa~" seloroh gue membuat Bude Aida semakin terkikik.
"Bisa saja kamu Nduk." Bude melirik jam di dinding. "Lahiya manten kok sudah pulang jam segini? Ibu kira masih tidur, baru jam delapan loh ini."
Gue raih tangan kanan Bude Aida, lalu mencium punggung tangannya sopan. "Anak Bude tuh, Juni lagi enak-enak tidur dibangunin ngajak balik. Padahal masih jam tujuh pagi."
Gue cemberut teringat cara ajaib Pak Nugra membangunkan gue tadi pagi. Jangan harap bakal ada belaian sayang di pipi, bisikan manja di telinga, pelukan hangat dari belakang, apalagi kecupan-kecupan ringan pembangkit icikiwir tegangan tinggi di pagi hari. Itu semua adegan novel belaka. Cuih kaga berlaku di gue.
Nasib gue sungguh tragis saudara-saudara. Berharap salah satu dari adegan romantis di atas terjadi, apa daya kuping gue malah pengang nyaris budek karena suara alaram hape yang di set dengan volume maha besar dan di taroh tepat di samping kuping kanan gue. Kampret ngga tuh.
Tersangka utamanya sudah nongki-nongki tampan di resto hotel. Meninggalkan gue di kamar hotel sendiri dengan memo kecil di nakas. Isinya cuma tiga kata 'Pulang. Jam tujuh' udah itu doang.
Pesan itu sukses buat gue kelimpungan berlarian ke kamar mandi. Apa ngga terbirit-birit, gue baru bangun lima belas menit sebelum jam tujuh.
"Oalah Mas Nunug memang biasa bangun pagi Nduk. Mau hari kerja atau libur pun bangunnya tetap pagi." terang Bude Aida.
Bangun pagi sih bangun Pagi, tapi liat-liat sikon juga kali. Gue baru bisa tidur jam lima loh. Di bangunin jam tujuh. Itu tandanya gue baru merem dua jam. Ajegile pantes pala barbie kliyengan.
"Kebetulan kalian sudah pulang, ada yang mau Ibu bicarakan. Ayo kita bicara di dalam saja."
Bude menggiring gue masuk ke dalam ruang keluarga yang di dominasi dengan warna coklat muda. Interiornya minimalis. Hanya ada sofa malas menghadap ke TV 42 inchi yang tertempel di dinding. Di sisi kanan sofa ada meja kecil. Di tengah-tengah ruangan dibiarkan kosong melompong, hanya terbentang karpet bulu berwana merah hati yang tebal dan halus. Di sisi kanan dan kiri tembok di bawah TV, terdapat bufet-bufet minimalis. Di bufet kiri ada rak tempat kaset dvd film, di sisi kanan ada sebuah akuarium kecil berisi ikan-ikan mungil yang gue yakini peliharaannya Pak Nugra.
"Duduk sini Nduk," Bude Aida mendudukkan gue di sofa malas dan ia ikut duduk menyerong menghadap gue. Di usap-usapnya punggung tangan gue sayang. "Manggilnya jangan Bude lagi. Ibu kan sudah jadi mertua kamu, artinya Ibunya mas Nunug ya Ibunya kamu juga, begitupun sebaliknya. Mulai sekarang manggilnya Ibu yo, jangan Bude." gue ngangguk manut.
"Bu." panggil Pak Nugra yang baru datang dari arah dapur sembari membawa gelas yang gue taksir isinya kopi.
Ibu berdiri, "Duduk Le," Ibu mendudukkan Pak Nugra di samping gue. "Ada yang mau Ibu bicarakan dengan kalian." Ibu menarik kursi kecil di bawah bufet dan duduk dengan anggun diatasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Ficción GeneralNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...