Di ruang makan semua sudah menempati posisi masing-masing melingkari meja makan. Papa seperti biasa di singgasananya. Di kiri Papa ditempati Bude Aida yang bersebelahan dengan Pak Nugra, di kanan tentunya ada Mama. Mereka tampak berbincang-bincang sembari memulai makan malam. Gue ulangi mereka memulai makan malam tanpa nunggu gue. Bujubuneng.
Emak bapak gue emang sekate-kate. Mentang-mentang calon mantu sama calon besan datang, anaknya sendiri diabaikan. Dikira gue gumpalan upil yang lengket di pipi kali ya, ngga kelihatan. Gue bediri disini dari tadi sama sekali ngga ke toleh. Terlalu kau Ma Pa.
Gue memang baru balik dari ruang tamu. Setelah tadi bukain pintu untuk calon kakak ipar yang ternyata PS sendiri. Bude Aida dan Pak Nugra masuk lebih dulu, sementara gue termenung cukup lama di depan. Memikirkan nasib gue kedepannya yang sepertinya jauh dari kata beruntung. Nanti setelah Papa Mama tau kalo Pak Nugra PS gue, habis lah gue.
Gue masih berdiri di partisi penghubung antara ruang keluarga dan ruang makan. Melipat kedua tangan di dada, sembari bahu sebelah kanan menyender di tembok sebagai tumpuan. Mata fokus menatap sosok makhluk astral yang tetiba muncul di depan rumah dan mengaku sebagai Nunug calon mantu kebanggaan Papa Mama. Kok bisa gitu ada kebetulan begini banget. Pak Nugra yang dulu gue panggil si ganteng itu tiba-tiba jadi PS, eh tiba-tiba lagi jadi kakak ipar. Besok tiba-tiba jadi apalagi?
Di detik seratus dua puluh satu hitungan gue, mereka masih tak menyadari absennya gue di ruang makan. Semuanya asik terlibat dalam percakapan cukup seru. Lihat saja keseriusan percakapan antara Papa dan Pak Nugra. Mana sempat mereka mikirin gue.
"Giliran Nunug nya ada malah Ivy nya yang tidak ada" Mama tampak mengambilkan nasi ke piring Papa.
"Ndak papa Uni, saya dan Nunug bisa ngerti. Ivy kan sekretaris, wajar dia sering keluar kota ikut bosnya" Bude Aida mengangsurkan piringnya ke Mama untuk diisi nasi.
"Kamu tidak masalah Nug, nanti kalau sudah menikah Ivy sering dinas luar seperti ini?" tanya Papa mengintrogasi.
"Saya bukan tipe pria yang suka mengekang Om" Jawab Pak Nugra tegas. "Jikalau setelah menikah Ivy tetap bekerja, itu tidak masalah. Asal pekerjaannya tidak mengganggu kewajibannya sebagai seorang istri"
Papa manggut-manggut paham. "Mungkin ini sedikit lucu, kalian mau menikah tinggal hitungan minggu tapi bertemu pun belum pernah. Hanya dulu ketika kecil saja, itupun saya yakin kamu sudah lupa wajahnya." Papa tampak menimbang-nimbang pikirannya.
"Sekali lagi Om tanya Nug, kamu benar menerima perjodohan ini. Karena jika kamu sudah berkata iya, tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran lagi"
Pak Nugra terdiam sesaat. Sebelah tangannya memegang tangan Bude Aida, lalu ia menatap Bude Aida sayang dan berujar. "Saya yakin Om. Saya percaya cinta bisa datang seiring berjalannya waktu dan kebersamaan kami nanti. Saya yakin pilihan ibu saya adalah yang terbaik dari semua opsi yang ada" jawab Pak Nugra tanpa keragu-raguan.
Ululuh sok suiiiit... Preet. Kalo cewek lain sih mungkin dengar jawaban Pak Nugra tadi pasti langsung luluh. Sorry sorry to say ya, kalo gue sih kaga. Gue akui Pak Nugra emang ganteng, mapan, berpendidikan, seksai lagi, tapi kalo dia masih menjabat sebagai PS gue. Sama aja bokong eh bohong. Yang ada dia jadi perantara gue ke neraka bukan ke sorga.
Dengan menahan senyum remeh gue nyusul mereka ke meja makan. Gue yakin sampe pagi pun gue berdiri disitu ngga akan ada yang sadar. Gue mengambil tempat di kursi kosong sebelah Mama.
"kamu dari mana saja? Orang sudah mau makan, kamu baru datang" tanya Mama dengan suara pelan tanpa noleh ke gue.
Gue yang bukain pintu calon mantu kebanggaan Mama, kalo Mama lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Ficção GeralNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...