Gue sampe di kamar inap Mama waktu yang punya lagi enak-enaknya tidur. Ditelaah dari suara ngoroknya yang naik beberapa oktaf, dengan ketukan naik turun yang teratur dan irama yang syahdu di dengar. Terkadang ada beberapa cengkok melayu yang Mama selipkan pula. Ngga butuh menghadirkan saksi ahli untuk mengetahui kalo Mama sedang berlayar dilautan mimpi.
"Ini nih biang keroknya"
Gue lempar paperbag dan kantong kresek obat Mama ke kursi. Gue pandangi Mama dengan kedua tangan bersedekap di dada. Mama masih tidur, dengan helaan nafas teratur.
"Model begini tidur orang yang abis syok berat? Ck Ma, bangun Ma" Mama mengigau ngga jelas lalu mengunyah-nguyah dalam tidurnya. Menggaruk-garuk ketek dan kembali tidur.
Buset dah. Sampe ayam bertelor bebek juga Mama ngga akan bangun. Berbeda dengan Papa yang kalo sudah kebangun susah buat tidur lagi, Mama malah kebalikannya. Mama kalo udah tidur susah buat bangun lagi.
Gue berpikir sejenak. Cara apa yang ampuh buat bangunin Mama. Di detik ke dua puluh lima setelahnya gue mendekat ke Mama sedikit membungkuk, kedua tangan membentuk corong di depan mulut.
"MAMAAAAAA!! ADA BARRY PRIMA LEWAT CUMA PAKE KANCUT!!" teriak gue membahana.
Gdebak gdebuk grasak grusuk plentang plentung brakk
"Mana? Mana? DIMANA??" macam orang kesetanan Mama langsung bangun, turun dari tempat tidur. Membuka pintu brutal. Berdiri limbung di depan pintu melongok-longokkan kepala keluar mencari sosok Barry Prima berkancut.
FYI guys. Selain bang Haji Rhoma Irama, Barry Prima adalah aktor idola Mama. Itu sebabnya kenapa waktu gue sebut Barry Prima berkancut Mama langsung bangun jumpalitan.
"Di... Dalam mimpi bruakakak" gue tergelak bangsat.
Mama menengok ke dalam. Matanya merah mukanya kelipat tiga, emosi. Berjalan mendekat dan tanpa babibu melayangkan cubitan merconnya ke paha gue yang polos.
"Mangicuah taruih, mangicuah taruih kau yo" racau Mama sembari melayangkan serangan-serangannya. (Bohong terus, bohong terus kamu ya)
"Wadohhh ampun Ma. Stop stop. Nyebut Ma nyebut" gue mengaduh kesakitan waktu jempol dan jari telunjuk Mama yang bantet mendarat di paha gue ganas.
Mama menghentikan serangannya. Menarik nafas ngos-ngosan lalu terduduk di ranjang.
"Nganiaya anak aja nomer wahid" cibir gue.
"Kamu kurang kerjaan. Barry Prima gundulmu" ucap Mama sembari menyambar gelas di nakas.
"Makanya tidur jangan kayak orang mati. Emang enak dikibulin" mata gue bergulir dari atas ke bawah menscan Mama "Udah ngga sakit lagi nih kayaknya?" tanya gue sarkartis.
Gelas minum itu terhenti di udara sebelum berhasil menyentuh bibir Mama. "Masih kok," ucap Mama, meletakkan kembali gelas sebelum berhasil memindahkan isinya ke dalam lambung. "Ini kepala Mama pusing. Aduh duh duh" Mama memegangi kepalanya, membaringkan tubuh di ranjang dengan gerakan super lebay.
"Helah lebay. Udah ngga usah akting-akting lagi. Juni udah tau" ucap gue santai.
"Tau apa?" Mata Mama menyerong ke kiri natap gue intens.
Gue memutar bola mata jengah. "Mama ngibulin Juni"
Mama terkekeh "Ketahuan ya. Tumben langsung tau. Kamu kan ngga pekaan, biasanya paling cepat tiga hari baru tau" Mama kembali duduk bersandar di kepala ranjang.
"Sepandai-pandainya tukang kibul, pasti bakal ketahuan juga. Ini aksi Mama yang ketiga, ngga bakal mempan lagi" ujar gue mengacungkan tiga jari tengah lalu ikut duduk di ujung tempat tidur Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Fiksi UmumNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...