"Mas, apa harus saya bilang cinta?"
Kepala Pak Nugra menegak, ia melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Hingga kami saling pandang dalam diam.
"Kamu bilang apa?" tanyanya memecah keheningan.
Gue tersentak, melempar pandang ke samping. Sialan. Bisa-bisanya gue latah ngomong begitu. Gue kembali menatap Pak Nugra. Melepas genggaman tangan besar miliknya yang melingkupi tangan gue. Menarik diri hingga jarak kami kini setengah lengan orang dewasa.
"Hmm saya mau jujur sama, Mas. Dan udah seharusnya saya jujur." Gue menjeda. Membiarkan Pak Nugra menunggu dan menerka-nerka.
"Tentang apa?" seperti dugaan gue dia bertanya penasaran.
"Saya.." lagi-lagi gue menjeda. Menatapnya seakan ragu. Mulut gue sudah terbuka, namun satu katapun urung terucap.
Melihat itu, rasa penasaran Pak Nugra semakin menjadi. Ia mendekat dan menatap gue lekat-lekat. "Kenapa Junia?"
"Sebenarnya saya.."
Cup.
Sebuah kecupan gue daratkan di pipi Pak Nugra. Membuat si empunya terkejut dan menyentuh pipi bekas sentuhan bibir gue.
"Sebenernya saya bohong jiahahahha. Preman itu awalnya megang pundak saya, tapi langsung saya tarik terus saya pelintir itu tangan kurang ajarnya, enak aja mau pegang-pegang sembarangan. Di kira saya baju di patung manekin, yang bisa di pegang, di raba, terus di coba seenak udel."
Pak Nugra tertawa singkat. "Jadi ngga ada drama colek-colek pipi?"
"Ya kali Mas ada preman nyolek-nyolek Junia. Berani colek berarti dia udah order batu nisan." gue membuat gestur seperti sedang menggorok leher dengan lidah terjulur keluar.
Pak Nugra manggut-manggut, tangannya bergerak bergantian menunjuk gue dan pipiya. "Kalau yang ini maksudnya?"
Gue menutup mulut malu, "Itu obat penawar rindu." Gue melipat bibir menahan senyum. "Saya kan udah dapet itu penawarnya, masa Mas ngga saya kasih. Padahal yang rindu berat kan dirimu wahai kakanda." gue tergelak sesudahnya.
Pak Nugra lagi-lagi manggut-manggut. "Ohh jadi, kamu bohongin Mas?" alis Pak Nugra bertaut. "Sudah berani bohong ya sekarang."
Oncom!
Gue lupa Pak Nugra musuhan berat sama yang namanya bohong. Gawat. Siaga satu.
Gue nyengir, mengesot mundur ke belakang. "Ngga gitu, maksud saya tadi.." kalimat gue menggantung karena bingung. Mata gue bergerak ke kanan dan ke kiri mencari alasan.
"Coba sini Mas lihat jidatnya." Pak Nugra menyatukan telunjuk dan jempolnya, lalu memposisikannya di depan mulut melakukan ancang-ancang. "Kamu sekali-kali memang harus di kasih pelajaran ya." katanya manis tapi mengandung racun.
Sialan. Bisa benjol jidat gue di sentil Manug.
Gue menebar senyum perdamaian. Mengangkat tangan membentuk tanda V. "Kayaknya saya mesti siap-siap deh, mau ke kampus." dalih gue, lalu bangkit perlahan dengan cengiran bodoh.
Tanpa di sangka, tangan gue di tarik hingga gue terduduk kembali. Punggung gue membentur dada Pak Nugra dan sebelah lengan meriamnya memerangkap tubuh gue. Tentu saja hal itu membuat gue terjerit kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
General FictionNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...