Flashback seminggu sebelumnya
Selayaknya sebuah persidangan di pengadilan. Dengan terdakwa Uni Ivy yang sudah terduduk di kursi pesakitan, siap menunggu tuntutan jaksa penuntut umum dalam kasus ini Bude Aida. Ngga ada penasihat hukum yang membelanya. Gue sendiri hadir duduk di kursi belakang sebagai penonton. Sedang Mama duduk di kursi hakim bersama Papa selaku hakim ketua yang baru saja tiba dua puluh lima menit lalu.
Sidang keluarga di mulai. Diawali dengan keheningan yang menyetubuhi atmosfer ruangan inap Uni. Isakan pilu Uni Ivy masih setia menjadi melodi pengiring persidangan.
"Saya ndak menyangka kalian begitu picik. Memanfaatkan anak saya untuk menutupi aib keluarga. Saya meletakkan kepercayaan besar kepada kalian. Namun dengan sangat kejam kalian membodohi kami. Menginjak-injak harga diri kami" Bude Aida berujar tenang, ekspresinya begitu datar untuk ukuran orang yang habis di tipu mentah-mentah.
Papa memejamkan matanya, tertohok oleh tuduhan yang dilayangkan Bude Aida. Pasrah menerima luapan emosi yang dibaluti rasa kekecewaan yang kental.
Pagi-pagi sekali Mama menelpon Papa, memintanya datang ke rumah sakit tempat Uni di rawat. Mama enggan menyebutkan perihal apa yang terjadi, hanya meminta Papa untuk datang sesegera mungkin. Pukul dua lebih lima belas siang Papa sampai disini dan di sambut dengan kabar kehamilan Uni.
"Sebagai kepala keluarga, orang yang paling bertanggung jawab atas segala yang terjadi akibat perbuatan dari istri dan anak-anak saya, saya mohon maaf dengan sangat pada Mbak Aida. mengecewakan keluarga kalian. Seolah-olah kami sengaja memanfaatkan Nunug. Namun yang sebenar-benarnya tidak demikian" Papa menatap Uni Ivy nanar. Ada mendung yang menyelimuti wajahnya.
"Tidak hanya Mbak Aida yang terkejut mendengar berita ini. Saya orang yang paling terpukul disini. Seorang Ayah mengetahui anak gadis yang ia banggakan melakukan dosa paling hina. Lebih baik saya mati di tikam benda tajam dari pada mati perlahan menanggung malu aib keluarga" kalimat itu ditujukan kepada Bude Aida, namun mata Papa ngga lepas dari Uni Ivy.
"Saya ingin mendengar penjelasan langsung dari mulut Ivy. Ditelaah dari kalimat Uni Farida tadi, Ivy adalah dalang dari permainan yang dibuatnya ini. Tolong nduk, selagi saya masih lembut tolong katakan pada kami yang sebenar-benarnya" tanya Bude Aida to the point.
Uni kembali bungkam. Air matanya kembali merebak menganak sungai di pipi.
"Capek lah Nak, jalehan ka kami sajaleh-jalehnyo. Bia salasai masalah ko" (cepatlah nak jelaskan ke kami sejelas-jelasnya. Biar selesai semua malasah ini) bujuk Papa lembut.
Suasana kembali hening. Isakan Uni Ivy kembali mengudara. Dengan sabar kami menunggui Uni Ivy selesai menangis dan mulai bicara.
"Ivy... sengaja menerima perjodohan ini" diksi yang di pakai Uni Ivy untuk memulai penjelasannya menarik perhatian kami.
"Ivy tidak ingin anak ini terlahir tanpa ayah. Saat Ivy teringat kalau Mama pernah dan masih ingin menjodohkan Ivy dengan Mas Nunug. Maka Ivy langsung menghubungi Mama dan menyetujuinya"
Mama mengebrak meja kecil dihadapannya "Kanciang. Mangicuah kau ka den" (sialan. Bohong kamu ke saya)
"Tanang Farida. Bia Ivy mengecek'an sadonyo" (tenang Farida, biar Ivy bicarakan semuanya)
"Syukurnya sejauh itu semuanya berjalan mulus. Bude Aida menerima Ivy dan kalian menyiapkan segalanya. Sejak pemilihan cincin, fitting gaun pengantin, Ivy sengaja mencari-cari alasan untuk tidak datang. Ivy tidak ingin bertemu Bude dan Mas Nunug. Ivy takut, jika sering bertemu nanti malah ketahuan dan kalian berubah pikiran. Makanya Ivy meminta Juni untuk menggantikan segalanya. Tapi tinggal menghitung hari, semuanya berantakan" ucap Uni Ivy lemah dengan kepala tertunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Fiction généraleNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...